Kampanye Hitam dan Generasi Dotcom

Selasa, 28 Agustus 2018 - 07:39 WIB
Kampanye Hitam dan Generasi...
Kampanye Hitam dan Generasi Dotcom
A A A
Edy Purwo Saputro

Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo

REMATCH antara Jokowi dan Pra­bowo di Pilpres 2019 men­­­­­jadi sejarah baru di kehidupan demokrasi republik ini. Betapa tidak, pada 2014 lalu dengan modal pen­citraan mobil esemka dan gaya kam­panye blusukan ternyata Jokowi me­nang. Dan, pada 2019 dengan model blusukan yang menyasar anak muda-generasi dotcom dan model tebar pesona bagi-bagi sepeda, ternyata Jokowi siap ber­tarung ulang dengan Prabowo.

Di sisi lain, Prabowo kali ini bertarung bersanding dengan Sandiaga Uno yang mewakili karakteristik anak muda, pengusaha, islami, dan santun. Artinya benar adanya jika kemenangan pada Pilpres 2019 akan sangat bergantung dengan bagaimana tim sukses-pemenangan kedua kandidat bisa merebut simpati kaum muda yang juga disebut gene­rasi dotcom. Target menyasar generasi dotcom yang melek teknologi, gadget mania, dan terkoneksi internet memang menjadi ancaman terhadap maraknya kampanye hitam dan ujaran kebencian-SARA.

Kerisauan maraknya kam­pa­nye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung memicu sentimen negatif bagi pen­dewasaan kehidupan demo­krasi. Padahal, di era digital­isasi ini seharusnya kehidupan de­mo­krasi lebih santun. Iro­nis­nya, di dunia nyata sampah politik masih bertebaran dan diperparah oleh maraknya sampah politik di dunia maya. Paling tidak, sampah politik di dunia nyata pasti akan terlihat banyaknya pemasangan atribut kampanye dari kedua kandidat yang akan bertarung di Pilpres 2019 nanti, yaitu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Ironis­nya, pe­masangan itu banyak yang tidak tepat tempat sehingga merusak tatanan sosial dan merusak pemandangan.

Harus Cerdas

Fakta lain yang juga ironis adalah semakin ma­raknya sam­pah politik di dunia maya, dan hal ini kemudian berkem­bang menjadi kam­panye hitam. Iden­tifikasi kam­panye hitam di dunia maya dapat terlihat da­lam dua bentuk, yaitu sindiran yang men­jurus ke individu capres-cawapres tertentu dan juga foto-figur yang secara terang-terangan menunjuk ke individu capres-cawapres. Bahkan, tidak jarang muncul juga kampanye hitam yang melibatkan tim sukses dari pasangan capres-cawapres.

Yang lebih runyam kampanye hitam semakin meng­­arah ke SARA. Oleh karena itu, ke depan seharusnya kam­panye di jejaring sosial bisa dilakukan lebih santun dan mungkin perlu ada regulasi yang menjadi fondasi menjerat se­mua kandidat dengan meng­gun­akan modus kampanye hitam dengan dalih men­jatuh­kan pesaingnya dan merebut simpati publik.

Maraknya kampanye hitam di jejaring sosial tentu juga bukan tanpa alasan. Fenomena perkembangan jejaring sosial yang didukung tarif internet yang semakin murah dan era gadget yang semakin merakyat digenggam tangan memang memungkinkan semuanya kini berselancar di dunia maya. Artinya, dengan jangkauan yang lebih luas dan sekejap tersampaikan maksud dan tuju­an kampanye maka kam­panye dan visualisasi di jejaring sosial semakin marak dilaku­kan, tidak hanya di pileg, tapi juga di pilpres. Fenomena ini juga didukung oleh perkem­bang­an global information society di mana masing-masing individu kini tidak lagi hanya menjadi objek pemberitaan semata tapi juga bisa menjadi subjek pemberitaan.

Oleh ka­rena itu, tidak mengherankan jika fenomena ini kemudian membangkitkan generasi dotcom yaitu generasi yang familier dengan internet dan juga jejaring sosial serta melek teknologi gadget. Jumlah generasi dotcom ini cukup fan­tastis dan cenderung ber­kem­bang sementara di sisi lain me­reka adalah calon pe­milih poten­sial yang cende­rung ber­sikap me­ngambang dan men­jadi target peme­nangan di Pil­pres 2019.

Realitas dari perkem­bang­an generasi dotcom adalah eksis­tensi mereka sebagai pe­milih pemula dan ini menjadi target yang sangat potensial bagi capres-cawapres untuk bisa me­raih simpati mereka. Ironisnya, apa yang dilakukan oleh semua tim sukses cende­rung salah kap­rah karena me­reka meman­dang bahwa me­narik simpati ge­ne­rasi dotcom hanya bisa dilaku­kan dengan kam­panye hi­tam me­lalui je­jaring sosial. Padahal, jika dicermati, perilaku kampa­nye hitam ini justru se­makin me­nyu­burkan ke­ben­ci­an ter­ha­dap individu-individu ter­tentu. Sayangnya, justru ini menjadi komoditi untuk bisa menyebarkan virus kebencian kepada individu dengan tujuan utama me­ngalah­kan mereka di pilpres 2019.

Konse­kuensi maraknya kampanye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung justru memperkeruh komit­men terhadap NKRI. Padahal, siapa pun yang menang dalam pilpres nanti tetap harus mengemban misi persatuan dan kesatuan. Artinya kalau sedari awal di masa kampanye saja sudah menebar virus kon­flik melalui kampanye hitam maka tentu ini menjadi indi­kasi buruk terhadap semangat per­satuan dan kesatuan, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan ko­mitmen terhadap NKRI sebagai harga mati untuk menjaga nilai-nilai luhur ke­merder­kaan dan kebangsaan. Oleh karena itu, semua tim sukses perlu juga un­tuk me­mahami asas kesan­tun­an dan kepatutan terhadap semua materi kampanye baik yang di­lakukan di dunia nyata atau­pun di dunia maya.

Komitmen

Mengacu fenomena marak­nya kampanye hitam di jejaring sosial, maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan; pertama, pemilih pemula di era generasi dotcom adalah pe­milih cerdas. Artinya, mereka tidak dengan mudah dikibuli dengan kampanye hitam di jejaring sosial karena mereka akan dengan mudah mem­ban­d­ing­kan validitas muatan kam­panye hitam dengan fakta yang sebenarnya. Hal ini bisa dilaku­kan dengan diskusi secara daring atau di berbagai grup yang dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu, ham­pir dipastikan bahwa kam­panye hitam justru merugikan pihak penyerang­nya. Jadi menebar kesantunan dan prestasi dari kandidat jus­tru akan lebih positif dibanding menyebar ujaran kebencian dan konten bermuatan SARA yang meng­arah ke pesaing.

Kedua, maraknya kampa­nye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung menunjukkan kepongahan dari tim sukses yang melakukan. Dunia maya memang bisa dengan mudah diutak-atik, namun mindset masing-masing individu ten­tu­nya tidak bisa dengan mudah diakali dan dikibuli dengan berbagai tayangan visual dan tulisan yang menjurus kepada kampanye hitam dengan men­diskreditkan individu. Ketiga, jika model kampanye hitam tidak secepatnya dibenahi maka justru menjukan ke­pongahan demokrasi kita. Artinya, sistem karbitan berbagai caleg kema­rin yang mengebiri kaderisasi partai justru semakin diper­parah oleh kepongahan dengan menghalalkan cara untuk da­pat memenangkan pesta de­mokrasi dengan dalih kekuasa­an melalui kampanye hitam.

Keempat, alam juga menga­jarkan bahwa tidak akan ada yang menang dengan cara-cara curang. Berbagai kasus korupsi di media telah membuktikan. Oleh karena itu, perilaku kam­panye hitam di jejaring sosial media memang harus secepat­nya dihentikan. Kelima, men­dulang suara simpatisan pe­milih pemula yang cerdas di era generasi dotcom harus dilaku­kan dengan cara cerdas dan kampanye hitam pada dasarnya perilaku bodoh.
(kri)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.0429 seconds (0.1#10.140)