Kampanye Hitam dan Generasi Dotcom
A
A
A
Edy Purwo Saputro
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
REMATCH antara Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019 menjadi sejarah baru di kehidupan demokrasi republik ini. Betapa tidak, pada 2014 lalu dengan modal pencitraan mobil esemka dan gaya kampanye blusukan ternyata Jokowi menang. Dan, pada 2019 dengan model blusukan yang menyasar anak muda-generasi dotcom dan model tebar pesona bagi-bagi sepeda, ternyata Jokowi siap bertarung ulang dengan Prabowo.
Di sisi lain, Prabowo kali ini bertarung bersanding dengan Sandiaga Uno yang mewakili karakteristik anak muda, pengusaha, islami, dan santun. Artinya benar adanya jika kemenangan pada Pilpres 2019 akan sangat bergantung dengan bagaimana tim sukses-pemenangan kedua kandidat bisa merebut simpati kaum muda yang juga disebut generasi dotcom. Target menyasar generasi dotcom yang melek teknologi, gadget mania, dan terkoneksi internet memang menjadi ancaman terhadap maraknya kampanye hitam dan ujaran kebencian-SARA.
Kerisauan maraknya kampanye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung memicu sentimen negatif bagi pendewasaan kehidupan demokrasi. Padahal, di era digitalisasi ini seharusnya kehidupan demokrasi lebih santun. Ironisnya, di dunia nyata sampah politik masih bertebaran dan diperparah oleh maraknya sampah politik di dunia maya. Paling tidak, sampah politik di dunia nyata pasti akan terlihat banyaknya pemasangan atribut kampanye dari kedua kandidat yang akan bertarung di Pilpres 2019 nanti, yaitu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Ironisnya, pemasangan itu banyak yang tidak tepat tempat sehingga merusak tatanan sosial dan merusak pemandangan.
Harus Cerdas
Fakta lain yang juga ironis adalah semakin maraknya sampah politik di dunia maya, dan hal ini kemudian berkembang menjadi kampanye hitam. Identifikasi kampanye hitam di dunia maya dapat terlihat dalam dua bentuk, yaitu sindiran yang menjurus ke individu capres-cawapres tertentu dan juga foto-figur yang secara terang-terangan menunjuk ke individu capres-cawapres. Bahkan, tidak jarang muncul juga kampanye hitam yang melibatkan tim sukses dari pasangan capres-cawapres.
Yang lebih runyam kampanye hitam semakin mengarah ke SARA. Oleh karena itu, ke depan seharusnya kampanye di jejaring sosial bisa dilakukan lebih santun dan mungkin perlu ada regulasi yang menjadi fondasi menjerat semua kandidat dengan menggunakan modus kampanye hitam dengan dalih menjatuhkan pesaingnya dan merebut simpati publik.
Maraknya kampanye hitam di jejaring sosial tentu juga bukan tanpa alasan. Fenomena perkembangan jejaring sosial yang didukung tarif internet yang semakin murah dan era gadget yang semakin merakyat digenggam tangan memang memungkinkan semuanya kini berselancar di dunia maya. Artinya, dengan jangkauan yang lebih luas dan sekejap tersampaikan maksud dan tujuan kampanye maka kampanye dan visualisasi di jejaring sosial semakin marak dilakukan, tidak hanya di pileg, tapi juga di pilpres. Fenomena ini juga didukung oleh perkembangan global information society di mana masing-masing individu kini tidak lagi hanya menjadi objek pemberitaan semata tapi juga bisa menjadi subjek pemberitaan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika fenomena ini kemudian membangkitkan generasi dotcom yaitu generasi yang familier dengan internet dan juga jejaring sosial serta melek teknologi gadget. Jumlah generasi dotcom ini cukup fantastis dan cenderung berkembang sementara di sisi lain mereka adalah calon pemilih potensial yang cenderung bersikap mengambang dan menjadi target pemenangan di Pilpres 2019.
Realitas dari perkembangan generasi dotcom adalah eksistensi mereka sebagai pemilih pemula dan ini menjadi target yang sangat potensial bagi capres-cawapres untuk bisa meraih simpati mereka. Ironisnya, apa yang dilakukan oleh semua tim sukses cenderung salah kaprah karena mereka memandang bahwa menarik simpati generasi dotcom hanya bisa dilakukan dengan kampanye hitam melalui jejaring sosial. Padahal, jika dicermati, perilaku kampanye hitam ini justru semakin menyuburkan kebencian terhadap individu-individu tertentu. Sayangnya, justru ini menjadi komoditi untuk bisa menyebarkan virus kebencian kepada individu dengan tujuan utama mengalahkan mereka di pilpres 2019.
Konsekuensi maraknya kampanye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung justru memperkeruh komitmen terhadap NKRI. Padahal, siapa pun yang menang dalam pilpres nanti tetap harus mengemban misi persatuan dan kesatuan. Artinya kalau sedari awal di masa kampanye saja sudah menebar virus konflik melalui kampanye hitam maka tentu ini menjadi indikasi buruk terhadap semangat persatuan dan kesatuan, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan komitmen terhadap NKRI sebagai harga mati untuk menjaga nilai-nilai luhur kemerderkaan dan kebangsaan. Oleh karena itu, semua tim sukses perlu juga untuk memahami asas kesantunan dan kepatutan terhadap semua materi kampanye baik yang dilakukan di dunia nyata ataupun di dunia maya.
Komitmen
Mengacu fenomena maraknya kampanye hitam di jejaring sosial, maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan; pertama, pemilih pemula di era generasi dotcom adalah pemilih cerdas. Artinya, mereka tidak dengan mudah dikibuli dengan kampanye hitam di jejaring sosial karena mereka akan dengan mudah membandingkan validitas muatan kampanye hitam dengan fakta yang sebenarnya. Hal ini bisa dilakukan dengan diskusi secara daring atau di berbagai grup yang dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu, hampir dipastikan bahwa kampanye hitam justru merugikan pihak penyerangnya. Jadi menebar kesantunan dan prestasi dari kandidat justru akan lebih positif dibanding menyebar ujaran kebencian dan konten bermuatan SARA yang mengarah ke pesaing.
Kedua, maraknya kampanye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung menunjukkan kepongahan dari tim sukses yang melakukan. Dunia maya memang bisa dengan mudah diutak-atik, namun mindset masing-masing individu tentunya tidak bisa dengan mudah diakali dan dikibuli dengan berbagai tayangan visual dan tulisan yang menjurus kepada kampanye hitam dengan mendiskreditkan individu. Ketiga, jika model kampanye hitam tidak secepatnya dibenahi maka justru menjukan kepongahan demokrasi kita. Artinya, sistem karbitan berbagai caleg kemarin yang mengebiri kaderisasi partai justru semakin diperparah oleh kepongahan dengan menghalalkan cara untuk dapat memenangkan pesta demokrasi dengan dalih kekuasaan melalui kampanye hitam.
Keempat, alam juga mengajarkan bahwa tidak akan ada yang menang dengan cara-cara curang. Berbagai kasus korupsi di media telah membuktikan. Oleh karena itu, perilaku kampanye hitam di jejaring sosial media memang harus secepatnya dihentikan. Kelima, mendulang suara simpatisan pemilih pemula yang cerdas di era generasi dotcom harus dilakukan dengan cara cerdas dan kampanye hitam pada dasarnya perilaku bodoh.
Dosen Pascasarjana Universitas Muhammadiyah Solo
REMATCH antara Jokowi dan Prabowo di Pilpres 2019 menjadi sejarah baru di kehidupan demokrasi republik ini. Betapa tidak, pada 2014 lalu dengan modal pencitraan mobil esemka dan gaya kampanye blusukan ternyata Jokowi menang. Dan, pada 2019 dengan model blusukan yang menyasar anak muda-generasi dotcom dan model tebar pesona bagi-bagi sepeda, ternyata Jokowi siap bertarung ulang dengan Prabowo.
Di sisi lain, Prabowo kali ini bertarung bersanding dengan Sandiaga Uno yang mewakili karakteristik anak muda, pengusaha, islami, dan santun. Artinya benar adanya jika kemenangan pada Pilpres 2019 akan sangat bergantung dengan bagaimana tim sukses-pemenangan kedua kandidat bisa merebut simpati kaum muda yang juga disebut generasi dotcom. Target menyasar generasi dotcom yang melek teknologi, gadget mania, dan terkoneksi internet memang menjadi ancaman terhadap maraknya kampanye hitam dan ujaran kebencian-SARA.
Kerisauan maraknya kampanye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung memicu sentimen negatif bagi pendewasaan kehidupan demokrasi. Padahal, di era digitalisasi ini seharusnya kehidupan demokrasi lebih santun. Ironisnya, di dunia nyata sampah politik masih bertebaran dan diperparah oleh maraknya sampah politik di dunia maya. Paling tidak, sampah politik di dunia nyata pasti akan terlihat banyaknya pemasangan atribut kampanye dari kedua kandidat yang akan bertarung di Pilpres 2019 nanti, yaitu Jokowi-Ma’ruf Amin dan Prabowo-Sandiaga Uno. Ironisnya, pemasangan itu banyak yang tidak tepat tempat sehingga merusak tatanan sosial dan merusak pemandangan.
Harus Cerdas
Fakta lain yang juga ironis adalah semakin maraknya sampah politik di dunia maya, dan hal ini kemudian berkembang menjadi kampanye hitam. Identifikasi kampanye hitam di dunia maya dapat terlihat dalam dua bentuk, yaitu sindiran yang menjurus ke individu capres-cawapres tertentu dan juga foto-figur yang secara terang-terangan menunjuk ke individu capres-cawapres. Bahkan, tidak jarang muncul juga kampanye hitam yang melibatkan tim sukses dari pasangan capres-cawapres.
Yang lebih runyam kampanye hitam semakin mengarah ke SARA. Oleh karena itu, ke depan seharusnya kampanye di jejaring sosial bisa dilakukan lebih santun dan mungkin perlu ada regulasi yang menjadi fondasi menjerat semua kandidat dengan menggunakan modus kampanye hitam dengan dalih menjatuhkan pesaingnya dan merebut simpati publik.
Maraknya kampanye hitam di jejaring sosial tentu juga bukan tanpa alasan. Fenomena perkembangan jejaring sosial yang didukung tarif internet yang semakin murah dan era gadget yang semakin merakyat digenggam tangan memang memungkinkan semuanya kini berselancar di dunia maya. Artinya, dengan jangkauan yang lebih luas dan sekejap tersampaikan maksud dan tujuan kampanye maka kampanye dan visualisasi di jejaring sosial semakin marak dilakukan, tidak hanya di pileg, tapi juga di pilpres. Fenomena ini juga didukung oleh perkembangan global information society di mana masing-masing individu kini tidak lagi hanya menjadi objek pemberitaan semata tapi juga bisa menjadi subjek pemberitaan.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika fenomena ini kemudian membangkitkan generasi dotcom yaitu generasi yang familier dengan internet dan juga jejaring sosial serta melek teknologi gadget. Jumlah generasi dotcom ini cukup fantastis dan cenderung berkembang sementara di sisi lain mereka adalah calon pemilih potensial yang cenderung bersikap mengambang dan menjadi target pemenangan di Pilpres 2019.
Realitas dari perkembangan generasi dotcom adalah eksistensi mereka sebagai pemilih pemula dan ini menjadi target yang sangat potensial bagi capres-cawapres untuk bisa meraih simpati mereka. Ironisnya, apa yang dilakukan oleh semua tim sukses cenderung salah kaprah karena mereka memandang bahwa menarik simpati generasi dotcom hanya bisa dilakukan dengan kampanye hitam melalui jejaring sosial. Padahal, jika dicermati, perilaku kampanye hitam ini justru semakin menyuburkan kebencian terhadap individu-individu tertentu. Sayangnya, justru ini menjadi komoditi untuk bisa menyebarkan virus kebencian kepada individu dengan tujuan utama mengalahkan mereka di pilpres 2019.
Konsekuensi maraknya kampanye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung justru memperkeruh komitmen terhadap NKRI. Padahal, siapa pun yang menang dalam pilpres nanti tetap harus mengemban misi persatuan dan kesatuan. Artinya kalau sedari awal di masa kampanye saja sudah menebar virus konflik melalui kampanye hitam maka tentu ini menjadi indikasi buruk terhadap semangat persatuan dan kesatuan, apalagi jika hal ini dikaitkan dengan komitmen terhadap NKRI sebagai harga mati untuk menjaga nilai-nilai luhur kemerderkaan dan kebangsaan. Oleh karena itu, semua tim sukses perlu juga untuk memahami asas kesantunan dan kepatutan terhadap semua materi kampanye baik yang dilakukan di dunia nyata ataupun di dunia maya.
Komitmen
Mengacu fenomena maraknya kampanye hitam di jejaring sosial, maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan; pertama, pemilih pemula di era generasi dotcom adalah pemilih cerdas. Artinya, mereka tidak dengan mudah dikibuli dengan kampanye hitam di jejaring sosial karena mereka akan dengan mudah membandingkan validitas muatan kampanye hitam dengan fakta yang sebenarnya. Hal ini bisa dilakukan dengan diskusi secara daring atau di berbagai grup yang dapat dilakukan dengan mudah. Oleh karena itu, hampir dipastikan bahwa kampanye hitam justru merugikan pihak penyerangnya. Jadi menebar kesantunan dan prestasi dari kandidat justru akan lebih positif dibanding menyebar ujaran kebencian dan konten bermuatan SARA yang mengarah ke pesaing.
Kedua, maraknya kampanye hitam di jejaring sosial secara tidak langsung menunjukkan kepongahan dari tim sukses yang melakukan. Dunia maya memang bisa dengan mudah diutak-atik, namun mindset masing-masing individu tentunya tidak bisa dengan mudah diakali dan dikibuli dengan berbagai tayangan visual dan tulisan yang menjurus kepada kampanye hitam dengan mendiskreditkan individu. Ketiga, jika model kampanye hitam tidak secepatnya dibenahi maka justru menjukan kepongahan demokrasi kita. Artinya, sistem karbitan berbagai caleg kemarin yang mengebiri kaderisasi partai justru semakin diperparah oleh kepongahan dengan menghalalkan cara untuk dapat memenangkan pesta demokrasi dengan dalih kekuasaan melalui kampanye hitam.
Keempat, alam juga mengajarkan bahwa tidak akan ada yang menang dengan cara-cara curang. Berbagai kasus korupsi di media telah membuktikan. Oleh karena itu, perilaku kampanye hitam di jejaring sosial media memang harus secepatnya dihentikan. Kelima, mendulang suara simpatisan pemilih pemula yang cerdas di era generasi dotcom harus dilakukan dengan cara cerdas dan kampanye hitam pada dasarnya perilaku bodoh.
(kri)