Elite Lokal vs Kritik Sosial
A
A
A
Riza Multazam Luthfy
Peneliti Desa, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta
LANTARAN diduga melakukan penyimpangan dana desa, Kepala Desa (Kades) Doyong, Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah ditahan Kejaksaan Negeri Sragen. Penahanan terhadap pemimpin lokal tersebut dilakukan setelah ia dinilai merugikan negara Rp70 juta. Ia ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan aduan tokoh masyarakat setempat.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa sebagian pamong desa bersifat pragmatis, bahkan oportunistis. Individualisme membimbing mereka dalam menjalankan fungsinya sehingga cenderung mementingkan diri sendiri ketimbang memperhatikan urusan publik. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat yang diusung Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa.
Aji Mumpung
Tidak selalu orang-orang yang didapuk menjadi perangkat desa menjalankan perannya dengan baik. Ada yang justru menangkap peluang dengan menganggap posisinya dalam jejaring kekuasaan lokal sebagai aji mumpung.Di salah satu desa Bojonegoro, Jawa Timur, seorang modin (petugas pencatat administrasi di desa ) memosisikan diri selaku makelar bagi warga yang ingin mendapat pelayanan. Ia menawarkan jasa membuat kartu tanda pengenal, kartu keluarga, dan sebagainya dengan harga yang telah dipatok. Celakanya, setelah menerima “komisi”, ia menikmati hasil tanpa mau memenuhi janji. Akhirnya warga merasa dikhianati.
Carik di desa tersebut juga terbiasa memanfaatkan kedudukan guna mengelabui warga. Berdalih meringankan beban siapa saja yang membutuhkan, ia justru meminta upah dari apa yang telah diperbuat.
Track record-nya yang negatif diketahui oleh sebagian warga dan menyebabkan kewibawaannya merosot drastis. Tentu hal ini berimbas pada citra pamong desa lainnya yang meskipun jujur tetap dianggap suka menipu.Keberadaan orang-orang “bermasalah” dalam jajaran perangkat desa rentan menjadikan kinerja pemerintah di tingkat lokal kurang maksimal. Tanpa mengantongi kepercayaan masyarakat, pemerintah desa sulit melaksanakan setiap program, terutama yang berhubungan dengan layanan publik. Padahal dukungan semua stakeholder diperlukan agar setiap kebijakan di tingkat lokal dapat terwujud.
Dalam taraf tertentu, muncul kecenderungan bahwa kinerja perangkat desa kurang transparan dan akuntabel. Terutama mengenai pemasukan dan pengeluaran desa, mereka cenderung kurang terbuka.Urusan keuangan membuat mereka selalu berhati-hati dan waspada. Lantaran khawatir direcoki sejumlah pihak, mereka enggan menyajikan laporan keuangan pemerintahan desa. Karena itu besarnya anggaran dana desa (ADD) dan dana desa (DD) serta penyalurannya tidak pernah diketahui publik. Berbagai anggaran yang berasal dari pemerintah pusat juga sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi manfaatnya kurang dirasakan masyarakat.
Balance of Power
Saat elite lokal merasa “berada di atas angin”, publik tentu kehilangan akses dan kontrol. Keadaan ini menyebabkan pemerintahan desa berjalan sesuai dengan hasrat para pemangkunya. Dengan demikian kasus-kasus penyelewengan kerap bermula dari malapraktik pemerintahan desa. Dalam konteks inilah perlawanan pasif maupun aktif menemukan relevansinya. Ikhtiar melawan superioritas dan dominasi elite lokal bisa dilakukan dengan melancarkan kritik sosial dalam berbagai bentuk.
Pada masyarakat Bali tradisional terdapat mekanisme kritik sosial yang cukup halus dan samar. Kritik biasanya disajikan oleh orang-orang Bali dalam wujud pertunjukan kesenian semisal bondres, wayang kulit, atau drama gong.Selain terhindar dari kesan agresif, kritik mesti meniscayakan kesantunan, bersifat membangun, serta disampaikan dalam plesetan atau senda gurau yang menertawakan diri sendiri. Hanya saja, substansi kritik kurang berarti lantaran didominasi senda gurau (Heru Cahyono ed, 2005: 268).
Ada pula yang melempar kritik terhadap kinerja pemerintahan desa secara langsung, baik dengan mendekati perangkat desa maupun berbicara dalam forum publik. Kritik ini merupakan bentuk balance of power meski dalam kenyataannya antara kekuatan pengkritik dan yang dikritik kurang seimbang. Terdapat kecenderungan bahwa elite lokal selalu punya kekuatan lebih besar daripada siapa pun yang bermukim di desa itu.Meskipun demikian apa yang dilakukannya bernilai positif karena merupakan counter response terhadap kepemimpinan lokal. Maka dalam kehidupan komunitas berbasis ruang tersebut berlangsung proses dialektika yang ditandai dengan adanya komunikasi dua arah yang bercorak populis dan demokratis.
Orang seperti ini biasanya memiliki tingkat keberanian yang tinggi dan menolak berbagai kompromi. Ia berani menghadapi risiko-risiko yang akan muncul di kemudian hari. Ia tidak khawatir jika kenekatannya membuat urusan yang berhubungan dengan “surat-menyurat” atau keperluan administratif lainnya dipersulit.
Bagaimanapun para elite lokal merupakan aktor politik yang kenyang dengan pengalaman. Dalam menjawab bermacam bentuk masukan, protes, atau perlawanan, mereka dibekali dengan beragam intrik. Bagi mereka, mendiamkan suara-suara kritis merupakan hal yang mudah. Selain menguasai berbagai sumber daya di desa yang dapat dimanfaatkan setiap waktu, mereka juga mampu mengakses jaringan suprastruktur dan para pemodal.
Peneliti Desa, Mahasiswa Program Doktor Ilmu Hukum UII Yogyakarta
LANTARAN diduga melakukan penyimpangan dana desa, Kepala Desa (Kades) Doyong, Miri, Kabupaten Sragen, Jawa Tengah ditahan Kejaksaan Negeri Sragen. Penahanan terhadap pemimpin lokal tersebut dilakukan setelah ia dinilai merugikan negara Rp70 juta. Ia ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan aduan tokoh masyarakat setempat.
Fenomena di atas menggambarkan bahwa sebagian pamong desa bersifat pragmatis, bahkan oportunistis. Individualisme membimbing mereka dalam menjalankan fungsinya sehingga cenderung mementingkan diri sendiri ketimbang memperhatikan urusan publik. Hal ini tentu bertentangan dengan semangat yang diusung Undang-Undang Nomor 6/2014 tentang Desa.
Aji Mumpung
Tidak selalu orang-orang yang didapuk menjadi perangkat desa menjalankan perannya dengan baik. Ada yang justru menangkap peluang dengan menganggap posisinya dalam jejaring kekuasaan lokal sebagai aji mumpung.Di salah satu desa Bojonegoro, Jawa Timur, seorang modin (petugas pencatat administrasi di desa ) memosisikan diri selaku makelar bagi warga yang ingin mendapat pelayanan. Ia menawarkan jasa membuat kartu tanda pengenal, kartu keluarga, dan sebagainya dengan harga yang telah dipatok. Celakanya, setelah menerima “komisi”, ia menikmati hasil tanpa mau memenuhi janji. Akhirnya warga merasa dikhianati.
Carik di desa tersebut juga terbiasa memanfaatkan kedudukan guna mengelabui warga. Berdalih meringankan beban siapa saja yang membutuhkan, ia justru meminta upah dari apa yang telah diperbuat.
Track record-nya yang negatif diketahui oleh sebagian warga dan menyebabkan kewibawaannya merosot drastis. Tentu hal ini berimbas pada citra pamong desa lainnya yang meskipun jujur tetap dianggap suka menipu.Keberadaan orang-orang “bermasalah” dalam jajaran perangkat desa rentan menjadikan kinerja pemerintah di tingkat lokal kurang maksimal. Tanpa mengantongi kepercayaan masyarakat, pemerintah desa sulit melaksanakan setiap program, terutama yang berhubungan dengan layanan publik. Padahal dukungan semua stakeholder diperlukan agar setiap kebijakan di tingkat lokal dapat terwujud.
Dalam taraf tertentu, muncul kecenderungan bahwa kinerja perangkat desa kurang transparan dan akuntabel. Terutama mengenai pemasukan dan pengeluaran desa, mereka cenderung kurang terbuka.Urusan keuangan membuat mereka selalu berhati-hati dan waspada. Lantaran khawatir direcoki sejumlah pihak, mereka enggan menyajikan laporan keuangan pemerintahan desa. Karena itu besarnya anggaran dana desa (ADD) dan dana desa (DD) serta penyalurannya tidak pernah diketahui publik. Berbagai anggaran yang berasal dari pemerintah pusat juga sering kali akuntabel di atas kertas, tetapi manfaatnya kurang dirasakan masyarakat.
Balance of Power
Saat elite lokal merasa “berada di atas angin”, publik tentu kehilangan akses dan kontrol. Keadaan ini menyebabkan pemerintahan desa berjalan sesuai dengan hasrat para pemangkunya. Dengan demikian kasus-kasus penyelewengan kerap bermula dari malapraktik pemerintahan desa. Dalam konteks inilah perlawanan pasif maupun aktif menemukan relevansinya. Ikhtiar melawan superioritas dan dominasi elite lokal bisa dilakukan dengan melancarkan kritik sosial dalam berbagai bentuk.
Pada masyarakat Bali tradisional terdapat mekanisme kritik sosial yang cukup halus dan samar. Kritik biasanya disajikan oleh orang-orang Bali dalam wujud pertunjukan kesenian semisal bondres, wayang kulit, atau drama gong.Selain terhindar dari kesan agresif, kritik mesti meniscayakan kesantunan, bersifat membangun, serta disampaikan dalam plesetan atau senda gurau yang menertawakan diri sendiri. Hanya saja, substansi kritik kurang berarti lantaran didominasi senda gurau (Heru Cahyono ed, 2005: 268).
Ada pula yang melempar kritik terhadap kinerja pemerintahan desa secara langsung, baik dengan mendekati perangkat desa maupun berbicara dalam forum publik. Kritik ini merupakan bentuk balance of power meski dalam kenyataannya antara kekuatan pengkritik dan yang dikritik kurang seimbang. Terdapat kecenderungan bahwa elite lokal selalu punya kekuatan lebih besar daripada siapa pun yang bermukim di desa itu.Meskipun demikian apa yang dilakukannya bernilai positif karena merupakan counter response terhadap kepemimpinan lokal. Maka dalam kehidupan komunitas berbasis ruang tersebut berlangsung proses dialektika yang ditandai dengan adanya komunikasi dua arah yang bercorak populis dan demokratis.
Orang seperti ini biasanya memiliki tingkat keberanian yang tinggi dan menolak berbagai kompromi. Ia berani menghadapi risiko-risiko yang akan muncul di kemudian hari. Ia tidak khawatir jika kenekatannya membuat urusan yang berhubungan dengan “surat-menyurat” atau keperluan administratif lainnya dipersulit.
Bagaimanapun para elite lokal merupakan aktor politik yang kenyang dengan pengalaman. Dalam menjawab bermacam bentuk masukan, protes, atau perlawanan, mereka dibekali dengan beragam intrik. Bagi mereka, mendiamkan suara-suara kritis merupakan hal yang mudah. Selain menguasai berbagai sumber daya di desa yang dapat dimanfaatkan setiap waktu, mereka juga mampu mengakses jaringan suprastruktur dan para pemodal.
(whb)