Menyatukan Keragaman, Pancasila dan Piagam Jakarta Sejiwa

Jum'at, 24 Agustus 2018 - 10:27 WIB
Menyatukan Keragaman, Pancasila dan Piagam Jakarta Sejiwa
Menyatukan Keragaman, Pancasila dan Piagam Jakarta Sejiwa
A A A
JAKARTA - Pancasila adalah ideologi final dan terbaik bangsa Indonesia. Terbukti, Pancasila dengan lima sila mampu menyatukan berbagai keragaman dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Apalagi, Pancasila satu jiwa dengan Piagam Jakarta dan Piagam Madinah yang tujuannya sama, yaitu menyatukan berbagai perbedaan.

“Piagam Jakarta, bentuk lain dari Pancasila karena sila pertama yang terdiri atas kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluk-pemeluknya itu, kemudian disederhanakan diringkas menjadi Ketuhanan yang Maha Esa,” tutur Wakil Sekretaris Komisi Kerukunan Antarumat Beragama, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Abdul Moqsith Ghazali di Jakarta, Kamis 23 Agustus 2018.

Dia menjelaskan, ketika Presiden Soekarno mengeluarkan Dekrit 1959 berkeyakinan Piagam Jakarta tertanggal 22 Juli 1945 menjadi jiwa dalam konstitusi menjadi satu kesatuan yang menjiwai UUD 45.

Dengan demikian, tidak perlu ada istilah dikhianati tetapi ditampung dalam jiwa yang lebih substantif ke dalam UUD 45. Apalagi, dalam pembukaan UUD 45 telah disebutkan bahwa dasar negara adalah Pancasila.

Menurut dia, dalam Pancasila telah jelas disebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Karena kalau eksplisit disebutkan sebagai kewajiban menjalankan syarat Islam bagi pemeluk-pemeluknya, itu tidak mudah untuk dipraktikkan dalam konteks warga negara Indonesia yang sangat prural.

“Indonesia bukanlah Brunei Darussalam, bukan Malaysia, bukan seperti di negara Afrika Utara yang jumlah penduduknya yang kecil, seperti Maroko dan Tunisia. Mereka relatif homogen seperti Arab Saudi, makanya Arab Saudi tidak mungkin punya Pancasila, tidak mungkin punya UUD 45,” tutur Moqsith.

Dia menguraikan bangsa Indonesia ditakdirkan oleh Allah SWT sudah ada lebih dulu sebelum Islam menjadi agama mayoritas. Sebelum Islam masuk, di Indonesia sudah pernah tumbuh agama, yaitu Hindu, Budha dengan kerajaannya yang besar seperti Kutai, Sriwijaya dan Majapahit.

Menurut dia, hal itu tidak bisa dinafikan sebagai sebuah fakta historis. Oleh karena itu, pilihan para pendiri negara, tidak menjadikan Indonesia sebagai negara Islam walaupun faktanya kemudian umat Islam adalah mayoritas.

“Tapi tidak dapat dipungkiri umat Islam mendapatkan sejumlah keuntungan dengan adanya UU Zakat, UU Haji, UU Peradilan Agama, ada Kementerian Agama. Kementerian agama dananya cukup besar sekali dan kalau kita kalkulasi mungkin 80% untuk melayani kebutuhan umat Islam, ada Direktorat Jenderal Pendidikan Islam yang di dalamnya ada Madrasah, perguruan tinggi dan ada pesantren,” tutur Moqsith.

Dia tidak menampik ada sebagian umat Islam yang masih ingin kembali ke Piagam Jakarta awal, ingin mendirikan Khilafah Islamiyah, ingin mendirikan negara Islam Indonesia. Namun itu sekarang sudah tidak penting lagi, karena Pancasila terbukti yang terbaik di Bumi Indonesia.

“Indonesia ini sudah cukup sebenarnya sebagai negeri yang didasarkan kepada nilai-nilai pokok di dalam Islam. Apalagi sejumlah syariat sudah diakomodasi dalam bentuk UU. Ada UU Peradilan Agama, ada kompilasi hukum Islam Inpres Nomor 1 Tahun 1991 yang mengatur soal perkawinan” ungkapnya.

Muqsit menilai organisasi seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah lebih realistis dengan menegaskan Pancasila sebagai keputusan final.

Min huna nabda' (dari sini kita mulai) UUD 45 pada pembukaannya tidak bisa diubah. Dari sini kita mulai Indonesia ke arah peradaban yang lebih maju. Kita sudah 73 tahun merdeka, masih bicara pada hal-hal yang seperti ini, kapan kita mulai membangun, makanya realistis saja,” tuturnya.

(dam)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5342 seconds (0.1#10.140)