Kurban dan Kedermawanan Sejati

Selasa, 21 Agustus 2018 - 08:30 WIB
Kurban dan Kedermawanan Sejati
Kurban dan Kedermawanan Sejati
A A A
Ahmad Sahidah
Dosen Senior Alqur’an dan Hadits Universiti Utara Malaysia

KITA akan menyaksikan hal serupa saban tahun, salat dua rakat berjamaah, takbir bersama, dan penyembelihan hewan kurban. Selain media cetak dan elektronik, media sosial akan dipenuhi dengan gambar orang yang bersembahyang di masjid atau di tanah lapang dan sejumlah orang kaya dan politikus menyumbang seekor sapi atau lebih ke tempat ibadah.

Lalu, sekantong daging diberikan pada orang yang antre. Gambaran ini selalu hadir di hari suci itu. Setelah berlangsung sekian lama, adakah pesan tersirat dari berkurban telah betul-betul merembes ke dalam kesadaran umat?

Betapa damai kita melihat ribuan orang mengagungkan Tuhan dalam suasana syahdu dan khusyuk. Kita pun tersentuh melihat begitu banyak orang bermurah hati, peduli pada kaum fakir miskin. Tak lama kemudian, orang terperangkap dalam rutinitas, seakan-akan gairah religiusitas dan sikap filantropis itu hilang tidak berbekas.

Kesyahduan dan kekhusyukan tidak lagi hadir dalam kehidupan sehari-hari, karena masjid sepi dan hanya segelintir orang tua dan para pensiunan memakmurkan peribadatan. Kedermawanan yang ditujukan pada kesejahteraan orang kebanyakan bertukar pada kepuasaan diri karena telah menunaikan kebajikan. Jadi, jika umat Islam bisa meluangkan waktu berjamaah dan kaum kaya bermurah hati untuk berderma, maka di luar hari lebaran, seeloknya mereka juga bisa melakukan keduanya.

Namun, boleh dikatakan setelah hari tasyriq, masjid dan surau dibekap sepi, dan orang-orang miskin mengais rezeki dalam kesusahan tak terperi dan penganggur menanggung beban berhari-hari. Tak ayal, kebiasaan perayaan itu seakan-akan tidak lebih daripada perbuatan untuk menebus kealpaan beribadah dan keteledoran mengabaikan nasib yang teraniaya selama setahun.

Padahal, jika suasana kebersamaan itu juga hadir pada hari-hari biasa, betapa hidup ini menyenangkan. Sebagai tetangga, kita perlu saling menyapa satu sama lain dalam suasana tenang dan tentram. Dengan meluangkan waktu berjamaah di lingkungan tempat kita tinggal, setiap individu bisa bertegur sapa dengan jiran.

Keterasingan yang merupakan akibat buruk kehidupan modern bisa dikikis dengan kebiasaan seperti ini. Sayangnya, kebanyakan mereka abai. Kalaupun alasannya tak ada waktu karena kesibukan, namun di hari Minggu atau libur tempat ibadah itu pun masih lengang.

Di tengah banyak peternak atau petani membutuhkan sapi untuk dipelihara, orang-orang berduit itu seakan-akan tak melihat, padahal jika sedikit uangnya dibelikan seekor sapi tak akan membuatnya bangkrut. Lalu, kemanakah mereka?

Empati
Dalam wacana antropologi, berkorban (sacrifice) berkait keadaan pelaku sebagai pembawa polusi, dosa atau kesalahan dan persembahan itu dianggap sarana untuk membersihkan tubuh seseorang atau sosial dari noda moral ini (Veena Das, 1983).

Sebagai observasi ilmu sosial, temuan ini tidak salah, karena ia merupakan nilai yang juga menempel pada ibadah kurban. Namun demikian, dalam surah Alhajj (37), darah dan daging itu tidak sampai pada Tuhan, tetapi takwa.

Ketakwaan itu bukan sekadar wujud dari pengabdian diri tetapi juga iman yang murni, yaitu rasa empati pada orang lain. Dengan demikian, ia tidak lagi pemenuhan hasrat diri, tetapi berkorban untuk kebanyakan.

Hanya orang yang mengalami kepenuhan bersedia untuk berbagi dengan orang yang bukan keluarga dan kerabat. Seperti pendonor darah, pelaku adalah orang yang memenuhi syarat dan tak pernah meminta balasan dari orang yang menerima sumbangan.

Dalam Islam, subjek itu adalah orang kaya yang dermawan dan murah hati. Dengan kemurahan hati inilah, mereka juga turut menyucikan batin dari sifat-sifat tercela. Dengan memberi sebagian hartanya, hakikatnya mereka telah merasa cukup dan perasaan inilah yang membuat manusia bersyukur, salah satu kunci kebahagiaan.

Secara otomatis, perintah ini juga mengandaikan pelbagai tingkat keagamaan, yaitu awam, sebatas pemenuhan formal, khawash, kebaikan berbuah ganjaran, dan khawash al-khawash sebagai puncak tertinggi sikap keagamaan, keikhlasan.

Hari raya itu sejatinya tak lebih sebagai momentum untuk merayakan keutamaan berjamaah dan memeriksa kembali apakah solidaritas muslim betul-betul berjalan dengan baik.

Lebaran Haji adalah puncak dari perhimpunan komunitas-komunitas dalam ruang yang lebih besar, selanjutnya masyarakat memelihara kebersamaan dalam lingkungan yang lebih kecil, di tingkat Rukun Tetangga atau tempat kerja misalnya.

Demikian pula, kedermawanan yang dirayakan di ruang terbuka pada hari raya sebagai wujud dari kepedulian yang dipupuk sepanjang tahun. Nabi mengajarkan umatnya untuk peduli pada kaum terpinggir itu tanpa dibatasi oleh perayaan, sebab penderitaan itu ditanggung setiap hari.

Dengan tingkat mobilitas yang tinggi, sepatutnya orang berpunya tak perlu merasakan kesulitan untuk menafkahkan rezekinya melalui lembaga yang mengembangkan amal itu menjadi modal produktivitas.

Hampir semua lembaga tersebut telah menyediakan fasilitas daring (online) untuk mempertanggung jawabkan keuangan dan kerja institusi. Kalaupun mereka ingin melihat amal itu berbuah, bukan sekali dikonsumsi, mereka bisa datang untuk menengok kelompok-kelompok binaan sehingga terjalin silaturahmi yang erat di antara penderma, lembaga dan penerima.

Cara seperti ini akan mendorong pemerataan yang berkelanjutan. Seperti ditegaskan Paul Wachtel (1989) bahwa timbulnya bermacam-macam penyakit sosial karena arah pembangunan yang selalu menekankan pada pertumbuhan (growth), bukan pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil.

Melalui semangat berkurban, ikhtiar meneteskan rezeki ke bawah itu akan terwujud. Jadi, pertumbuhan tidak bisa sepenuhnya dijadikan ukuran untuk melihat kesejahteraan warga.

Evaluasi
Jika banyak orang yang bisa berkurban binatang ternak pada hari raya itu, mengapa kedermawanan itu juga tidak dilakukan di luar hari yang telah ditentukan waktunya dan juga lebih produktif?

Padahal jika hal yang sama dilakukan melalui program penyertaan dalam program desa binaan ternak sapi, kegiatan ini akan mendongrak sektor ekonomi yang lain, seperti ketersedian lapangan kerja, produksi pakan, dan industri kerajinan kulit. Apalagi untuk memenuhi kebutuhan sapi pedaging, Indonesia masih harus mengimpor binatang pemamah biak ini dari Australia dan India, yang tentu saja menggerus devisa negara.

Tentu, pelibatan mereka yang berduit untuk berinvestasi dalam ternak akan menggairahkan ekonomi pedesaan. Pada waktu yang sama, ikhtiar semacam ini menumbuhkan hubungan masyarakat yang saling memercayai, sebagai bagian penting dari modal sosial yang harus dipupuk untuk mendorong kemajuan dalam pelbagai bidang kehidupan.

Memang sebelumnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal) telah melibatkan warga pedesaan untuk beternak sapi, namun sayangnya sebagian mereka menjual hewan tersebut untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Namun, hal ini tidak mencegah perorangan yang berduit untuk memulai usaha yang sama dengan mempekerjakan kaum profesional, termasuk lulusan perguruan tinggi yang berlatang belakang peternakan dan manejemen.

Keberhasilan beberapa institusi dalam mewujudkan desa binaan dalam peternakan sapi patut dilestarikan. Dari kegiatan ini, data kaum miskin terkait pekerjaan, status, surau terdekat tercatat rapi dan bisa diakses publik melalui laman sesawang lembaga, tetapi juga perkembangan, evaluasi dan yang jauh lebih penting hasil audit juga diterakan.

Transparansi semacam ini akan menjadikan lembaga tersebut bisa diperhatikan orang ramai dan sekaligus bisa mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok lain untuk melakukan hal serupa dan pada gilirannya jaringan antarlembaga akan melahirkan kerja sama lebih luas. Semakin banyak lembaga yang melakukan hal sama, semakin banyak orang bekerja dan meraup berkah dari semangat berkurban ini.

Kalau hanya meluangkan waktu berjamaah dan berderma pada hari raya, tindakan ini belum cukup untuk menjalankan pesan berkurban. Kita bukan keledai yang tidak sadar akan jatuh pada lubang yang sama.

Sebagai Sisyphus yang melakukan tradisi berulang-ulang, kita masih bisa menjaga jarak dengan apa yang dilakukan. Nalar kritis tak terpaku pada perulangan, tetapi adakah ia bisa menghadirkan perubahan. Kalau tidak, ini tragedi.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3446 seconds (0.1#10.140)