Memerdekakan Guru

Sabtu, 18 Agustus 2018 - 08:15 WIB
Memerdekakan Guru
Memerdekakan Guru
A A A
Jejen Musfah
Dosen Magister UIN Jakarta, Pengurus Besar PGRI

INDONESIA telah mer­­deka selama 73 ta­hun, tetapi guru Indonesia belum merdeka. Kamus Besar Bahasa Indonesia mengartikan merde­ka sebagai berikut: bebas dari penghambaan, tidak terkena atau lepas dari tuntutan, atau tidak terikat, tidak tergantung kepada orang atau pihak ter­tentu. Dari definisi ini, guru kita belum merdeka seutuhnya.

Hakikat guru merdeka ada­lah ketika mereka di­muliakan, disejahterakan, di­kem­bang­kan, dibebaskan berpikir, dan “dimudahkan” dalam men­ja­lankan profesinya. Merujuk de­finisi ini, guru merdeka ma­sih jauh panggang dari api. Pa­da­hal, hanya guru merdeka yang mampu menjalankan tu­gas mencerdaskan generasi muda Indonesia sesuai bakat­nya ma­sing-masing.
Membiarkan guru tidak mer­deka, cita-cita pem­ba­ngun­­an generasi emas In­donesia 2045 hanya isapan jempol be­laka. Menggantang asap, ibarat pung­guk merindukan bulan. Bangsa yang merdeka sepa­tu­t­nya me­nempatkan guru se­ba­gai pro­fesi mulia, terhormat, dan mer­deka.
Merdeka Finansial

Guru dikatakan merdeka manakala dalam menjalankan profesinya memiliki ciri-ciri sebagai berikut. Pertama, guru sejahtera sebagaimana di­nya­ta­kan dalam Sistem Pen­di­dik­an Nasional Nomor 20 Tahun 2003 serta Undang-Undang Guru dan Dosen Nomor 14 Ta­hun 2005. Sebagai profesi, se­tiap guru terjamin kebutuhan hidup keluarganya. Seorang guru tidak layak bekerja sam­bilan, apalagi menjadikan m­e­ng­ajar sebagai pekerjaan sampingan.Baru sebagian kecil guru In­do­nesia sejahtera, yaitu guru PNS, guru bersertifikat, dan guru tetap sekolah favorit. Guru honorer dan belum ter­ser­tifi­kasi terpaksa harus me­ngajar di dua sekolah atau lebih, atau be­kerja sampingan demi me­me­nuhi kebutuhan hidupnya.
Guru merdeka secara fi­nan­sial seharusnya menjadi cita-cita setiap pemimpin negeri ini. Jika tidak, adagium “kunci ke­majuan bangsa adalah pen­di­dikan, dan kualitas guru adalah kun­ci ke­ma­juan pendidikan suatu bangsa”, ha­nya­lah jar­gon ko­song. Guru harus dicu­kup­kan ma­t­e­rinya, baru ia akan bisa mengajar dengan baik.Alih-alih me­ng­ang­kat guru honorer men­jadi PNS atau guru te­tap non-PNS, pe­me­rin­tah ke­rap menyin­dir kinerja dan kom­petensi guru. Contoh, ber­ulang kali tun­jangan profesi guru (TPG) disindir Men­te­ri Ke­uangan Sri Mul­yani In­dra­wati, bah­wa sertifikasi guru tidak berdampak pada pe­ning­kat­an kom­petensi guru.Solusi ma­­salah ren­dahnya kom­pe­tensi guru bukan de­ngan menebar wa­cana peng­ha­pusan TPG, tetapi bagai­ma­na pemerataan pe­la­tih­an pe­ning­katan kom­petensi guru ber­ser­tifikat dan non-sergur. Per­bai­k­an pe­rekrutan calon guru ada­lah hal lainnya. Input guru ha­rus di­perhatikan bahkan sejak pe­rekrutan mahasiswa fa­kul­tas keguruan.­Eric A Hanushek dalam buku School Human Capital and Teacher Salary Policies (2016), menyimpulkan hasil risetnya bahwa “Prestasi siswa dan pro­duktivitas sekolah di Amerika Serikat sangat tergantung pada besaran gaji guru”. Katherine Mellon Charron, dalam buku Freedomís Teacher (2011: 242) mengutip penga­lam­an Septima Clark mengajar di Kolombia pada 1930-an, “Not only was I teaching a full schedule and attending teacher training courses and going to civic club meetings of one sort and ano­ther, but I was also going to bridge parties and taking part in other so­cial activities. I was being accepted ”.Guru kita je­las tidak seperti digambarkan Clark tersebut. Guru kita si­buk di se­ko­lah, dan tidak bisa membeli kebaha­gia­an un­­tuk diri dan ke­luar­ganya. Hasil ke­ringatnya hanya cu­kup untuk ma­kan dan sekolah anak-anak. Tidak ada uang untuk me­man­jakan diri di salon, mal, restoran, mem­beli buku, atau ber­langganan internet.

Merdeka Belajar
Kedua, guru pu­nya kesem­pat­an me­ngembangkan diri, seperti semi­nar, lo­kakarya, dan me­­lan­jut­kan stu­di. Beban ker­­ja guru 40 jam di se­kolah per ming­gu me­nyulitkan guru belajar di dalam dan di luar se­kolah. Ma­sih banyak sekolah tidak me­miliki sumber belajar yang m­e­madai. Perpustakaan, internet, labo­ra­torium, dan meja kerja guru tidak tersedia.Guru ibarat katak dalam tem­purung. Kehidupannya ada­­lah siklus rutinitas rumah, se­ko­lah, dan rumah. Sebagian me­reka jarang bahkan tidak per­nah ikut pelatihan. Mereka yang melanjutkan studi S-2 atau S-3 sulit mendapatkan izin atasan, atau kurang mendapatkan dukungan kepala se­kolah. Contoh, penjadwalan dan tugas mereka yang ber­sa­ma­an dengan jadwal kuliah.Guru juga tidak bebas me­ngembangkan diri di luar se­kolah karena ia harus hadir di sekolah sehari penuh (full day school). Ia terbelenggu syarat regulasi sertifikasi guru, beban kerja, dan otoritarianisme ke­pala sekolah atau yayasan. Pe­nu­gasan guru keluar sekolah sering tidak objektif dan di­mo­nopoli kepala sekolah atau guru-guru tertentu saja.Kecuali itu, guru kerap di­si­bukkan pekerjaan ad­mi­nis­tra­tif syarat pencairan TPG, ke­naikan pangkat, dan pe­ng­ajar­an K-13. Malangnya, peker­jaan ini kerap dikerjakan ko­lektif oleh satu orang guru yang me­rangkap operator sekolah. Ala­san­nya, guru gagap tek­no­logi alias tidak bisa komputer. Pa­dahal, penting bagi guru belajar dan mengembangkan ke­il­muan melalui organisasi pro­fesi, Kelompok Kerja Guru (KKG), Musyawarah Guru Ma­ta Pelajaran (MGMP), dan se­ba­gainya.

Merdeka Berpolitik
Ketiga, guru bebas mene­n­tu­kan pilihannya dalam pil­kada. Masalahnya, guru di be­berapa daerah sering secara terbuka mendukung pasangan calon tertentu. Padahal, guru PNS dan non-PNS harus in­de­pen­den dan netral. Ia tidak boleh menjadi tim sukses pa­sangan calon bupati, wali kota atau gubernur tertentu karena bertentangan dengan marwah dan etika guru.Ketika guru sudah ber­pi­hak, melakukan kampanye (ter­selubung atau terang-te­ra­ngan), dan menjadi tim sukses pasangan calon tertentu, maka ia sudah tidak merdeka—ter­be­lenggu politik kepentingan sesaat. Sejatinya guru harus berdiri untuk semua golongan. Mereka mitra pemerintah, sia­pa pun presiden dan kepala dae­rahnya.
Ketika guru sudah terlibat politik praktis dalam bentuk dukungan terhadap salah satu pasangan calon kepala daerah, dia dan guru yang netral pun akan menanggung tulahnya. Tidak heran, guru dan kepala sekolah sering menjadi korban kebijakan kepala daerah baru. Tiba-tiba mereka dimutasi tan­pa alasan yang jelas dan di­gantikan oleh “guru tim sukses” ke­pala daerah terpilih.Guru rentan dimanfaatkan dalam pilkada untuk men­du­lang suara. Guru potensial me­naikkan elektoral pasangan calon tertentu. Meski de­mi­ki­an, guru atau organisasi guru se­baiknya ajek. Mereka menolak dimanfaatkan politisi atau memanfaatkan organisasi untuk kepentingan politik prak­tis. Guru harus merdeka sejak dalam pikiran, termasuk soal pilkada.Pemerintah harus me­nj­a­min guru merdeka secara fi­nan­sial, merdeka untuk belajar, dan merdeka berpolitik. Tugas guru tidak ringan. Di tangan guru, generasi muda dititipkan. Guru yang merdeka bisa melahirkan calon pemimpin yang visioner, dan warga negara yang ber­adab.Dua hal yang selalu kita ri­n­dukan saat mana bicara negara-negara maju di Eropa, Jepang, dan Korea Selatan. Kemajuan bangsa yang dicirikan antara lain kreativitas dan ke­san­tun­an warga, hanya bisa diraih me­lalui pendidikan yang bermutu.Pendidikan bermutu karena guru bermutu. Tidak di­ra­gu­kan lagi. Jika pemerintah me­merdekakan guru, bangsa In­donesia yakin pasti maju.
(whb)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7044 seconds (0.1#10.140)