Kasus BLBI: Penghapusan Utang Petani Tambak Atas Dasar Keamanan

Jum'at, 17 Agustus 2018 - 18:33 WIB
Kasus BLBI: Penghapusan Utang Petani Tambak Atas Dasar Keamanan
Kasus BLBI: Penghapusan Utang Petani Tambak Atas Dasar Keamanan
A A A
JAKARTA - Mantan Sekretaris Kabinet Prof. Bambang Kesowo mengakui bahwa keputusan penghapusan utang petani tambak udang di bank beku operasi (BBO) Bank BDNI diambil pada saat sidang kabinet terbatas 11 Februari 2004 yang dipimpin oleh Presiden Megawati Soekarnoputri.

Namun, menurut dia, sidang itu diagendakan bukan atas permintaan Komite Kebijakan Sektor Keungan (KKSK) dan bukan dalam rangka penyelesaian kewajiban BLBI BDNI, tapi atas usulan aparat keamanan sebagai antisipasi untuk menjaga tidak meluasnya gejolak sosial saat itu.

“Perlu saya tekankan, rapat terbatas saat itu diagendakan bukan atas usulan KKSK, tapi oleh aparat keamanan dan intelijen,” kata Bambang dalam kesaksiannya di sidang lanjutan SKL dengan terdakwa Ketua BPPN Syafrudin Arsyad Temenggung (SAT) di Pengadian Tipikor Jakarta, Kamis (16/8/2018).

Dalam penjelasannya, Bambang mengatakan, pada saat itu petani tambak sedang mengalami kesulitan berat, sehingga mereka tidak mampu membayar kewajiban cicilan kredit mereka ke bank. Di sisi lain, kewajiban itu terus membengkak karena suku bunga terus berjalan. Inilah membuat pertani resah, dan berpotensi menimbulkan kerusuhan sosial ekonomi secara lebih luas.

Atas pertimbangan itulah, kemudian aparat keamanan meminta ada sidang kabinet untuk membahas masalah kredit petani tambak ini. “Jadi rapat itu tidak ada kaitannya dengan penyelesaian BLBI, tapi lebih pada kepentingan dan pertimbangan keamanan,” kata Bambang.

Penghapusan utang petani itu menjadi masing-masing Rp 100 juta per orang berdasarkan perhitungan bahwa utang pokok Rp20 juta dan utang untuk modal kerja baru Rp80 juta per orang. Inilah yang diputuskan dalam rapat KKSK pada 13 Februari 2004.

Dalam kaitan itu, dalam rapat tersebut juga dibahas jalan keluar untuk mengatasi masalah utang sekitar 110.000 orang petani tambak ini. Disadari, bahwa beban petani sudah sangat berat, maka untuk itu dicarikan jalan keluar untuk mengurangi bebannya. Caranya adalah dengan penghapusbukuan sebagian kewajiban utang petani tersebut, sehingga kewajibannya pada saat itu dari Rp 3,9 triliun menjadi Rp 1,1 triliun atau masing-masing menjadi Rp 100 juta per orang.

Menurut Bambang, sesuai dengan kewenangannya, BPPN sebagai badan khusus bisa langsung melakukan write-off aset-aset atau kredit bank yang telah dilimpahkannya kepada lembaga itu yaitu bank beko operasi (BBO), bank take over (BTO) dan bank dalam likuidasi. Namun dalam hal petani tambak ini, keputusan write-off diambil dalam sidang kabinet, antara lain karena didasari kebutuhan menghindari gejolak sosial yang lebih luas.

Menjawab pertanyaan penasehat hukum terdakwa Yusri Ihza Mahendra tentang apakah Presiden Megawati pada saat itu menyetujui keputusan write-off utang petani tambak ini, Bambang mengatakan, dalam pemahamannya yang hadir dalam rapat itu, presiden menyetujui. “Pada saat itu, Presiden Megawati melontarkan kalimat “silakan dilanjutkan,” dan menurut saya itu adalah satu persetujuan,” kata Bambang.
(pur)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 1.5752 seconds (0.1#10.140)