Personalisasi Partai Politik
A
A
A
Jamaludin Ghafur
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII, Kandidat Doktor FH UI Jakarta
SALAH satu fenomena yang terjadi dalam pembentukan koalisi Pilpres 2019 adalah begitu kuat dan dominannya peran ketua umum (ketum) parpol. Bahkan dapat dikatakan, ketum adalah penentu segala-galanya dalam parpol termasuk kemana arah koalisi akan dibangun.Figur pemimpin partai seringkali mengidentikkan atau bahkan menyamakan dirinya dengan partai itu sendiri sehingga menihilkan peran anggotanya. Telah terjadi personalisasi dalam tubuh parpol yang seharusnya tidak boleh terjadi di mana seseorang dan sekelompok orang yang menguasai organisasi parpol menganggap partai politik sebagai miliknya sehingga timbul pemikiran tidak adanya pemisahan antara urusan pribadi (personal) dengan organisasi. Maka tidak heran jika penentu utama arah koalisi (salah satunya) sangat ditentukan oleh seberapa besar keutungan yang akan didapat oleh sang ketua umum.Padahal, UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol mendefinisikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pengertian tersebut, parpol semestinya diposisikan sebagai organisasi milik bersama seluruh anggotanya. Dengan demikian, keputusan-keputusan penting tidak boleh dihegemoni dan dimonopoli seorang ketum tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama seluruh anggotanya sesuai dengan nilai-nilai perjuangan yang ada dalam parpol tersebut.Koalisi yang Tak Ideologis Model koalisi yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan perilaku partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua karakter (AA GN Ari Dwipayana: 2011). Pertama, upaya memburu jabatan (office seeking), dimana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet pemerintahan yang akan terbentuk. Kedua, modus pencari suara (vote seeking), di mana elite partai politik dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan.Modus untuk menang itulah yang membuat partai membuka diri pada siapa saja yang ingin masuk (catch all), asal kemenangan dalam pilpres bisa diraih. Dalam logika catch all ini tidak ada alasan bagi partai untuk menolak sekutu yang ingin bergabung untuk mengalahkan kompetitor.Dalam konteks semacam ini, jarak ideologi bukan sesuatu yang penting. Yang paling penting adalah memenangkan pertarungan. Itulah sebabnya, dalam logika vote seeking akan muncul paradoks dalam proses pembentukan koalisi, di mana partai-partai yang memiliki jarak ideologis yang lebar bisa bertemu.Akibatnya, penentuan arah koalisi menjadi sangat pragmatis semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan untuk mendapatkan kekuasaan dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek ideologi partai yang semestinya menjadi hal yang sangat fundamendal. Tanpa dipandu oleh nilai-nilai ideologis, parpol pasti akan kehilangan arah dalam menerjemahkan nilai-nilai perjuangannya.Bila ini yang terjadi, tentu kepentingan masyarakat luas yang akan menjadi taruhannya. Selain itu, pengalaman telah menunjukkan bahwa ikatan koalisi yang semata-semata didasari pada kepentingan yang sangat pragmatis dan bukan atas dasar kesamaan visi dan misi telah menyebabkan tidak solidnya mitra koalisi dengan partai pendukung pemerintah.Sehingga tidak heran jika di tengah jalan banyak sekali “manuver-manuver politik” yang dilakukan oleh mitra koalisi yang mengarah pada menciptakan ketidakstabilan jalannya pemerintahan yang tentu hal ini sangat kontraproduktif dengan semangat awal dibentuknya koalisi yaitu menciptakan stabilitas pemerintahan.
Demokratisasi Internal Parpol
Personalisasi parpol oleh ketua umumnya telah menyebabkan kekuasaan ketum parpol begitu absolut. Padahal Lord Acton sudah mengingatkan kita semua bahwa; “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti akan disalahgunakan.Salah satu munculnya absolutisme kekuasaan ketum disebabkan oleh minimnya keterlibatan para anggota parpol dalam pengambilan keputusan yang bersifat penting dan strategis. Dengan demikian, langkah antisipasinya adalah mendorong parpol untuk melakukan demokratisasi internal (intra-party democracy) dengan melibatkan seluas-luasnya peran serta anggotanya agar dalam setiap pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan deliberatif.Keharusan untuk mengikutsertakan seluruh anggota parpol dalam pengambilan keputusan-keputusan yang bersifat strategis dan penting karena UU Parpol meletakkan kedaulatan parpol ada di tangan seluruh anggota. Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Parpol menyatakan: (1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART. (2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih.
Demokratisasi parpol adalah cara untuk memberi kesempatan kepada para anggota partai menyampaikan aspirasinya dan memastikan parpol akan mendengar dan mengakomodasi aspirasi tersebut. Hal ini bertujuan untuk mendorong terjadinya reformasi di dalam institusi partai ke arah yang lebih demokratis secara lebih luas.Bagaimanapun, dalam sistem politik demokrasi, parpol adalah sarana dan aktor utama kekuasaan politik. Semua kegiatan politik, mulai dari mencari kekuasaan sampai pada penggunaan kekuasaan, melibatkan parpol sebagai aktor. Karena itu parpol secara internal harus demokratis sebab proses politik dalam membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan akan dapat demokratis hanya apabila parpol sebagai aktor secara internal dikelola secara demokratis.
Dosen Hukum Tata Negara dan Peneliti pada Pusat Studi Hukum dan Konstitusi FH UII, Kandidat Doktor FH UI Jakarta
SALAH satu fenomena yang terjadi dalam pembentukan koalisi Pilpres 2019 adalah begitu kuat dan dominannya peran ketua umum (ketum) parpol. Bahkan dapat dikatakan, ketum adalah penentu segala-galanya dalam parpol termasuk kemana arah koalisi akan dibangun.Figur pemimpin partai seringkali mengidentikkan atau bahkan menyamakan dirinya dengan partai itu sendiri sehingga menihilkan peran anggotanya. Telah terjadi personalisasi dalam tubuh parpol yang seharusnya tidak boleh terjadi di mana seseorang dan sekelompok orang yang menguasai organisasi parpol menganggap partai politik sebagai miliknya sehingga timbul pemikiran tidak adanya pemisahan antara urusan pribadi (personal) dengan organisasi. Maka tidak heran jika penentu utama arah koalisi (salah satunya) sangat ditentukan oleh seberapa besar keutungan yang akan didapat oleh sang ketua umum.Padahal, UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Parpol mendefinisikan partai politik sebagai organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan NKRI berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Berdasarkan pengertian tersebut, parpol semestinya diposisikan sebagai organisasi milik bersama seluruh anggotanya. Dengan demikian, keputusan-keputusan penting tidak boleh dihegemoni dan dimonopoli seorang ketum tetapi harus dibicarakan dan diputuskan bersama-sama seluruh anggotanya sesuai dengan nilai-nilai perjuangan yang ada dalam parpol tersebut.Koalisi yang Tak Ideologis Model koalisi yang berkembang dalam sepuluh tahun terakhir menunjukkan perilaku partai dalam meracik menu koalisi dipengaruhi oleh dua karakter (AA GN Ari Dwipayana: 2011). Pertama, upaya memburu jabatan (office seeking), dimana perilaku partai dalam membangun koalisi lebih didasarkan pada kehendak untuk memperbesar peluang dalam memperoleh posisi di kabinet pemerintahan yang akan terbentuk. Kedua, modus pencari suara (vote seeking), di mana elite partai politik dalam membentuk koalisi lebih didasarkan pada upaya memenangkan pemilihan.Modus untuk menang itulah yang membuat partai membuka diri pada siapa saja yang ingin masuk (catch all), asal kemenangan dalam pilpres bisa diraih. Dalam logika catch all ini tidak ada alasan bagi partai untuk menolak sekutu yang ingin bergabung untuk mengalahkan kompetitor.Dalam konteks semacam ini, jarak ideologi bukan sesuatu yang penting. Yang paling penting adalah memenangkan pertarungan. Itulah sebabnya, dalam logika vote seeking akan muncul paradoks dalam proses pembentukan koalisi, di mana partai-partai yang memiliki jarak ideologis yang lebar bisa bertemu.Akibatnya, penentuan arah koalisi menjadi sangat pragmatis semata-mata hanya didasarkan pada pertimbangan untuk mendapatkan kekuasaan dan sama sekali tidak mempertimbangkan aspek ideologi partai yang semestinya menjadi hal yang sangat fundamendal. Tanpa dipandu oleh nilai-nilai ideologis, parpol pasti akan kehilangan arah dalam menerjemahkan nilai-nilai perjuangannya.Bila ini yang terjadi, tentu kepentingan masyarakat luas yang akan menjadi taruhannya. Selain itu, pengalaman telah menunjukkan bahwa ikatan koalisi yang semata-semata didasari pada kepentingan yang sangat pragmatis dan bukan atas dasar kesamaan visi dan misi telah menyebabkan tidak solidnya mitra koalisi dengan partai pendukung pemerintah.Sehingga tidak heran jika di tengah jalan banyak sekali “manuver-manuver politik” yang dilakukan oleh mitra koalisi yang mengarah pada menciptakan ketidakstabilan jalannya pemerintahan yang tentu hal ini sangat kontraproduktif dengan semangat awal dibentuknya koalisi yaitu menciptakan stabilitas pemerintahan.
Demokratisasi Internal Parpol
Personalisasi parpol oleh ketua umumnya telah menyebabkan kekuasaan ketum parpol begitu absolut. Padahal Lord Acton sudah mengingatkan kita semua bahwa; “power tends to corrupt, absolute power corrupt absolutely”, kekuasaan memiliki kecenderungan untuk disalahgunakan, dan kekuasaan yang absolut pasti akan disalahgunakan.Salah satu munculnya absolutisme kekuasaan ketum disebabkan oleh minimnya keterlibatan para anggota parpol dalam pengambilan keputusan yang bersifat penting dan strategis. Dengan demikian, langkah antisipasinya adalah mendorong parpol untuk melakukan demokratisasi internal (intra-party democracy) dengan melibatkan seluas-luasnya peran serta anggotanya agar dalam setiap pengambilan keputusan dilakukan secara terbuka, partisipatif, dan deliberatif.Keharusan untuk mengikutsertakan seluruh anggota parpol dalam pengambilan keputusan-keputusan yang bersifat strategis dan penting karena UU Parpol meletakkan kedaulatan parpol ada di tangan seluruh anggota. Pasal 15 ayat (1) dan (2) UU Parpol menyatakan: (1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan menurut AD dan ART. (2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih.
Demokratisasi parpol adalah cara untuk memberi kesempatan kepada para anggota partai menyampaikan aspirasinya dan memastikan parpol akan mendengar dan mengakomodasi aspirasi tersebut. Hal ini bertujuan untuk mendorong terjadinya reformasi di dalam institusi partai ke arah yang lebih demokratis secara lebih luas.Bagaimanapun, dalam sistem politik demokrasi, parpol adalah sarana dan aktor utama kekuasaan politik. Semua kegiatan politik, mulai dari mencari kekuasaan sampai pada penggunaan kekuasaan, melibatkan parpol sebagai aktor. Karena itu parpol secara internal harus demokratis sebab proses politik dalam membentuk dan menyelenggarakan pemerintahan akan dapat demokratis hanya apabila parpol sebagai aktor secara internal dikelola secara demokratis.
(whb)