Nasionalisme dan Profitabilitas di Freeport-Blok Rokan

Rabu, 08 Agustus 2018 - 09:01 WIB
Nasionalisme dan Profitabilitas...
Nasionalisme dan Profitabilitas di Freeport-Blok Rokan
A A A
Bambang Soesatyo
Ketua DPR RI/ Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia

KEBIJAKSANAAN dan langkah pemerintah menargetkan penguasaan Freeport Indonesia dan ladang minyak Blok Rokan bukan sekadar gagah-gagahan untuk menunjukkan nasionalisme atau pencitraan menuju tahun politik 2019. Keberanian melalui proses yang rumit itu juga harus berpijak pada kalkulasi tentang kesinambungan bisnis dan prospek keuntungan (profitabilitas) bagi negara di kemudian hari.

Bisa dipastikan bahwa pada awalnya segala sesuatunya sangat tidak mudah, sebab keduanya bukan bisnis baru atau masih direncanakan. Pemerintah merumuskan proposal pengusahaan atas kedua entitas bisnis itu ketika PT Freeport Indonesia dan PT Chevron Pacific Indonesia masih dan sedang beroperasi pada ladang bisnis masing-masing.

Maka ketika Freeport McMoran mau memberi komit­men melepaskan posisi mayoritas atau pengendali di Freeport Indonesia sebagaimana tertuang dalam head of agreement (HoA) dengan PT Inalum, pencapaian ini layak diapresiasi. Begitu juga ketika pemerintah dengan yakin dan percaya diri berani menghentikan Chevron Indonesia di Blok Rokan untuk kemudian menyerahkannya kepada Pertamina.

Keduanya bukan pekerjaan gampang, bahkan prosesnya pasti rumit. Pijakan utamanya adalah kepercayaan diri dan keyakinan bahwa perubahan-perubahan yang strategis itu tidak akan mengganggu kesinambungan dua bisnis besar itu. Selain menjaga keberlanjutannya, harus ada keyakinan dan jaminan bahwa perubahan strategis itu tetap mampu memosisikan keduanya sebagai bisnis yang profitable. Tentu saja kalkulasinya menjadi sangat rumit.

Benar bahwa negara memiliki sejumlah perusahaan atau BUMN yang bergerak di sektor pertambangan. Namun, harus diakui bahwa belum ada perusahaan di dalam negeri yang mampu dan berpengalaman mengeksplorasi dan mengelola area pertambangan yang skala dan tingkat kerumitannya sama dengan yang dikelola Freeport Indonesia. Maka itu, perubahan manajemen di tubuh Freeport Indonesia nantinya haruslah bijaksana. Perubahan itu tidak boleh melahirkan risiko sekecil apa pun. Karena alasan itulah, kehadiran Freeport McMoran masih diperlukan, kendati porsi pemilikannya menjadi hanya 49%, dan tidak lagi menyandang status pemegang saham pengendali.

Namun, sebagai pemegang saham di Freeport Indonesia, PT Indonesia Asahan Alu­mu­nium (Inalum) dan Freeport-McMoRan sepakat melanjutkan program jangka panjang. Dengan perpanjangan kontrak hingga 2041, Inalum dan Freeport memproyeksikan setoran dividen sebesar USD60 miliar atau setara Rp861,8 triliun kepada pemerintah Indonesia. Komitmen ini setidaknya menjadi jaminan bahwa potensi area pertambangan di Tembagapura, Papua akan terus dieksplorasi.

Kalkulasi yang kurang lebih sama pun dilakukan pemerintah ­ketika menunjuk PT Pertamina sebagai kontraktor baru Wilayah Kerja (WK) Minyak dan Gas Bumi (Migas) Rokan di Riau menggantikan PT Chevron Pacific Indonesia, terhitung mulai 8 Agustus 2021. Harus ada kepastian bahwa eksplorasi tidak akan terhenti ketika Pertamina menjadi kontraktor di WK Migas tersebut. Selain itu, Pertamina pun ditantang untuk menjanjikan setoran laba yang lebih besar.

Seperti dijelaskan Wakil Menteri ESDM Arcandra Tahar bahwa pemerintah memilih Pertamina semata-mata karena alasan komersial. Jadi bukan gagah-gagahan karena alasan nasionalisme. Chevron tentu juga menawarkan proposal baru, tetapi pemerintah memilih proposal Pertamina karena komitmen keuntungan yang jauh lebih besar.

Menurut Arcandra, dari aspek komersial, Pertamina dalam proposalnya menawarkan bonus tanda tangan sebesar USD784 juta atau sekitar Rp11,3 triliun. Kemudian, komitmen kerja pasti untuk lima tahun sebesar USD500 juta atau sekitar Rp7,2 triliun, ditambah potensi pendapatan negara selama 20 tahun pengelolaan yang akan mencapai USD57 miliar, atau sekitar Rp825 triliun.

Sulit dan Rumit
Dengan demikian, jelas bahwa target penguasaan mayoritas saham pada Freeport Indonesia maupun penyerahan ladang migas Blok Rokan kepada Pertamina bukan semata-mata dilandasi sentimen nasionalisme. Sentimen yang paling diutamakan justru aspek ekonomisnya atau aspek komersialnya. Kalau penguasaan pada dua entitas bisnis itu berujung pada kerugian atau kemerosotan laba untuk negara, diyakini bahwa pemerintah tidak akan gegabah mengajak Freeport McMoran menandatangani HoA itu.

Seperti diketahui, pada 12 Juli 2018, pemerintah mengumumkan penandatanganan HoA antara PT Inalum dan Freeport McMoran sebagai induk dari PT Freeport Indonesia. HoA itu membuka jalan bagi pemerintah cq BUMN mengambil posisi mayoritas untuk pemilikan Freeport Indonesia. Dan akhir Juli 2018, Kementerian ESDM mengumumkan penunjukan PT Pertamina untuk melanjutkan pengelolaan ladang migas Blok Rokan.

Tidak mudah bagi pemerintah mewujudkan dua pencapaian itu, baik dalam kasus Freeport maupun Blok Rokan. Untuk menggantikan posisi dan peran Chevron di blok migas itu, pemerintah tentu saja harus mendapatkan jaminan dari Pertamina. Tentu saja tidak cukup dengan membaca dan memahami proposal yang dibuat Pertamina. Lebih dari itu, pemerintah harus mempelajari kemampuan Pertamina pada aspek eksplorasi dan pengelolaan ladang migas itu. Pada akhirnya, kesulitan pemerintah bisa terbaca saat Kementerian ESDM mendorong Pertamina mencari partner demi kesinambungan eksplorasi dan pengelolaan blok Rokan.

Begitu pula dalam kasus Freeport. Untuk mencegah munculnya masalah serius di kemudian hari, pemerintah pasti berharap kepada para ahli dari Freeport McMoran untuk tetap mengawal eksplorasi di kawasan Tembagapura. Betapa rumitnya proses yang harus dilalui karena saat bersamaan pemerintah memaksa Freeport Mc­Moran melepaskan posisi mayoritas dan statusnya sebagai pengendali di Freeport Indonesia. Namun ketika publik menyimak adanya dokumen HoA yang ditandatangani Inalum dan Freeport McMoran, itu menjadi bukti bahwa ada tahapan kerja keras yang telah dilalui kedua belah pihak.

Realisasi pelepasan itu tidak jarang harus melalui proses sangat keras sebab pelepasan saham atau menyerahkan posisi mayoritas pemilikan itu punya konsekuensi logis berupa tafsir yang beragam. Dari tafsir tentang kepemimpinan yang lemah, ketidakmampuan hingga tafsir tentang potensi bangkrutnya seorang pemegang saham. Maka jangan sederhanakan makna dan fakta tentang HoA PT Inalum-Freeport McMoran itu.

Tidak mudah untuk mengajak atau mendorong Freeport McMoran duduk di sebuah ruang perundingan atau ruang negosiasi dan agenda meminta mereka menjual saham. Orang-orang kaya raya dari Amerika itu, sebagai pemegang saham Freeport McMoran, pasti terkejut. Dahi mereka pun berkerut karena tersinggung. Apakah pemerintah Indonesia menganggap mereka butuh uang sehingga meminta mereka menjual sahamnya di Freeport Indonesia? Mereka pasti menolak karena tidak ingin dipermalukan. Selain itu, kalau menjadi minoritas di Freeport Indonesia, bukan hanya hak pengelolaan yang akan lepas, keuntungan mereka pun akan menyusut.

Untuk mementahkan agenda divestasi saham yang diusulkan pemerintah Indonesia itu, pimpinan Freeport McMoran sempat menggertak. Mereka mengungkap kemungkinan adanya intervensi dari Presiden AS Donald Trump untuk menekan pemerintah Indonesia. Dalam sebuah konferensi pers di Hotel Fairmont, Jakarta, Senin (20 Februari 2017), Presiden dan CEO Freeport McMoran, Richard C Adkerson, mengungkapkan bahwa salah satu pemilik saham Freeport McMoran adalah Carl Icahn, pendiri Icahn Enterprises. Icahn memegang 7% saham Freeport McMoran, dan sempat tercatat sebagai pemegang saham terbesar.

Masih menurut Richard, Icahn menjabat sebagai staf khusus Presiden Trump dan agenda divestasi saham yang diusulkan pemerintah Indonesia tentu saja menjadi perhatian Icahn. Pasalnya, dua orang kepercayaan Icahn mendapatkan posisi di jajaran direksi Freeport McMoran. Namun, Indonesia balik menekan dan hasilnya adalah HoA antara PT Inalum dengan Freeport McMoran itu.

Penguasaan nyaris mutlak Freeport Indonesia atas kandungan emas di Tembagapura adalah kesalahan sejarah. Kesalahan itu kini sedang dalam proses koreksi. Tidak mudah pun tidak murah. Namun, itulah harga yang harus dibayar akibat kekeliruan di masa lalu.
(wib)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0635 seconds (0.1#10.140)