Keterbukaan Media Sosial
A
A
A
MEDIA sosial di negara-negara Eropa dan Amerika Serikat (AS) mulai stagnan atau tak bergerak. Di Asia, para pengguna media sosial (medsos) masih cukup tinggi. Namun, gejala di Eropa dan AS bisa jadi merambat ke Asia. Toh selama ini tren di Asia cenderung meniru Eropa dan AS. Kapan stagnasi media sosial akan merambat ke Asia, tentu akan sulit memprediksi. Banyak faktor yang menentukan di antaranya karakter masyarakat dan dinamika media sosial sendiri mengatasi kekurangan-kekurangan yang selama ini ada.
Stagnasi media sosial di Eropa dan AS disebabkan para pengguna kini mulai sadar bahwa medsos dituding sebagai salah satu platform penyebar berita palsu.
Indikator stagnannya pertumbuhan medsos bisa dilihat dari data pengguna aktif harian (PAH) Facebook di Amerika Utara yang sepanjang tahun ini tetap 185 juta. Di Eropa, PAH Facebook bahkan turun dari sebelumnya 282 juta menjadi 279 juta. Di Asia, pengguna bulanan Facebook masih tinggi. Akhir tahun lalu tercatat sebanyak 499 juta, naik dibandingkan tahun sebelumnya, 396 juta pengguna.
Selain pertumbuhan pengguna aktif yang cenderung stagnan, harga saham perusahaan Facebook juga anjlok ke titik terendah sehingga mengurangi nilai pasarnya senilai USD119 miliar.
Twitter setali tiga uang dengan Facebook . Media sosial berlogo burung ini juga terpaksa cuci gudang dan menghapus lebih dari 70 juta akun palsu. Pengguna aktif bulanan Twitter saat ini mencapai 335 juta di seluruh dunia. Sekitar 1 juta pengguna aktif bulanan telah meninggalkan Twitter di AS. Padahal, setahun sebelumnya jumlah pengguna aktif bulanan Twitter melonjak sebanyak 6 juta. Peningkatan itu diyakini berkat ada teknologi dan fitur baru.
Stagnasi jumlah pengguna media sosial Facebook dan Twitter itu tidak lepas dari skandal kebocoran data, perubahan privasi, dan berita palsu yang kerap muncul di situs pertemanan itu. Kebebasan yang diberikan media sosial seolah menjadi bumerang. Kesenangan yang mereka berikan kepada pengguna justru menjadi penghalang yang harus mereka hadapi. Kebebasan yang selama ini menjadi kelebihan justru tidak bisa dikontrol. Akibatnya, munculnya akun palsu hingga fake news dan hoaks yang menjadi momok bagi media sosial.
Inilah konsekuensi digitalisasi teknologi. Keterbukaan, kecepatan, dan egalitarian adalah ciri dari teknologi ini. Semua masyarakat bisa mengakses informasi dari mana saja dengan cepat. Batasan atau strata yang dulu muncul bisa dihapus. Rakyat biasa bisa berteman dengan pejabat setingkat presiden. Mereka bisa menyalurkan pikirannya kepada individu atau organisasi tanpa ada sekat lagi dan lebih cepat. Kehadiran medsos menjadikan tatanan sosial semakin dinamis.
Sayang, keterbukaan, kecepatan, dan egalitarian tampaknya belum bisa diimbangi kedewasaan masyarakat. Ketika teknologi berubah dan bisa mengubah tatanan sosial, sikap dan perilaku masyarakat tidak bisa menyesuaikan. Ketika teknologi bisa naik kelas, justru perilaku masyarakat tidak naik kelas. Yang terjadi kebebasan di dunia digital justru kebablasan. Keterbukaan dan kecepatan justru tidak diimbangi kemampuan memilah informasi. Ketika semua serbadimudahkan, masyarakat menjadi terlena. Tatanan atau norma sosial justru ditabrak dan menimbulkan gejolak sosial.
Lalu, apakah masyarakat yang sepenuhnya salah? Tentu tidak. Mereka yang menciptakan harus mempunyai tanggung jawab untuk bisa mengatasi ini. Mereka tidak bisa berdiam diri dan membiarkan kebablasan yang saat ini terjadi. Harus ada cara bagaimana tatanan sosial di media digital juga bisa selaras dengan kehidupan bermasyarakat sebelumnya. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi penggerak digitalisasi teknologi. Jika tidak, masyarakat yang akan menghukumnya. Toh masyarakat lama kelamaan akan melek dan tahu mana yang bermanfaat buat mereka.
Fenomena ini juga harus menjadi pelajaran bagi kita untuk justru lebih pintar memilah informasi dan bersikap lebih santun meski keterbukaan dan egalitarian muncul. Digitalisasi teknologi adalah membantu kehidupan sosial kita, bukan menggantikan kehidupan sosial kita. Jika membantu, artinya media sosial ditempatkan di belakang kehidupan sosial. Jika media sosial ditempatkan di depan, berarti menggantikan kehidupan sosial kita. Dan, jika ini yang terjadi, konflik sosial akan terus terjadi. Kita tidak mau ada konflik, yang kita inginkan tentu harmonisasi sosial.
Stagnasi media sosial di Eropa dan AS disebabkan para pengguna kini mulai sadar bahwa medsos dituding sebagai salah satu platform penyebar berita palsu.
Indikator stagnannya pertumbuhan medsos bisa dilihat dari data pengguna aktif harian (PAH) Facebook di Amerika Utara yang sepanjang tahun ini tetap 185 juta. Di Eropa, PAH Facebook bahkan turun dari sebelumnya 282 juta menjadi 279 juta. Di Asia, pengguna bulanan Facebook masih tinggi. Akhir tahun lalu tercatat sebanyak 499 juta, naik dibandingkan tahun sebelumnya, 396 juta pengguna.
Selain pertumbuhan pengguna aktif yang cenderung stagnan, harga saham perusahaan Facebook juga anjlok ke titik terendah sehingga mengurangi nilai pasarnya senilai USD119 miliar.
Twitter setali tiga uang dengan Facebook . Media sosial berlogo burung ini juga terpaksa cuci gudang dan menghapus lebih dari 70 juta akun palsu. Pengguna aktif bulanan Twitter saat ini mencapai 335 juta di seluruh dunia. Sekitar 1 juta pengguna aktif bulanan telah meninggalkan Twitter di AS. Padahal, setahun sebelumnya jumlah pengguna aktif bulanan Twitter melonjak sebanyak 6 juta. Peningkatan itu diyakini berkat ada teknologi dan fitur baru.
Stagnasi jumlah pengguna media sosial Facebook dan Twitter itu tidak lepas dari skandal kebocoran data, perubahan privasi, dan berita palsu yang kerap muncul di situs pertemanan itu. Kebebasan yang diberikan media sosial seolah menjadi bumerang. Kesenangan yang mereka berikan kepada pengguna justru menjadi penghalang yang harus mereka hadapi. Kebebasan yang selama ini menjadi kelebihan justru tidak bisa dikontrol. Akibatnya, munculnya akun palsu hingga fake news dan hoaks yang menjadi momok bagi media sosial.
Inilah konsekuensi digitalisasi teknologi. Keterbukaan, kecepatan, dan egalitarian adalah ciri dari teknologi ini. Semua masyarakat bisa mengakses informasi dari mana saja dengan cepat. Batasan atau strata yang dulu muncul bisa dihapus. Rakyat biasa bisa berteman dengan pejabat setingkat presiden. Mereka bisa menyalurkan pikirannya kepada individu atau organisasi tanpa ada sekat lagi dan lebih cepat. Kehadiran medsos menjadikan tatanan sosial semakin dinamis.
Sayang, keterbukaan, kecepatan, dan egalitarian tampaknya belum bisa diimbangi kedewasaan masyarakat. Ketika teknologi berubah dan bisa mengubah tatanan sosial, sikap dan perilaku masyarakat tidak bisa menyesuaikan. Ketika teknologi bisa naik kelas, justru perilaku masyarakat tidak naik kelas. Yang terjadi kebebasan di dunia digital justru kebablasan. Keterbukaan dan kecepatan justru tidak diimbangi kemampuan memilah informasi. Ketika semua serbadimudahkan, masyarakat menjadi terlena. Tatanan atau norma sosial justru ditabrak dan menimbulkan gejolak sosial.
Lalu, apakah masyarakat yang sepenuhnya salah? Tentu tidak. Mereka yang menciptakan harus mempunyai tanggung jawab untuk bisa mengatasi ini. Mereka tidak bisa berdiam diri dan membiarkan kebablasan yang saat ini terjadi. Harus ada cara bagaimana tatanan sosial di media digital juga bisa selaras dengan kehidupan bermasyarakat sebelumnya. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi penggerak digitalisasi teknologi. Jika tidak, masyarakat yang akan menghukumnya. Toh masyarakat lama kelamaan akan melek dan tahu mana yang bermanfaat buat mereka.
Fenomena ini juga harus menjadi pelajaran bagi kita untuk justru lebih pintar memilah informasi dan bersikap lebih santun meski keterbukaan dan egalitarian muncul. Digitalisasi teknologi adalah membantu kehidupan sosial kita, bukan menggantikan kehidupan sosial kita. Jika membantu, artinya media sosial ditempatkan di belakang kehidupan sosial. Jika media sosial ditempatkan di depan, berarti menggantikan kehidupan sosial kita. Dan, jika ini yang terjadi, konflik sosial akan terus terjadi. Kita tidak mau ada konflik, yang kita inginkan tentu harmonisasi sosial.
(wib)