Pekerjaan Rumah

Rabu, 01 Agustus 2018 - 08:00 WIB
Pekerjaan Rumah
Pekerjaan Rumah
A A A
BAGI sebagian orang tua murid, pekerjaan rumah atau PR ba­gi siswa menjadi beban mereka. Ya, bukan beban si sis­wa, justru menjadi beban bagi orang tua karena acap­kali orang tualah yang menggarap PR tersebut. Se­­lain itu, bagi sebagian orang tua murid lainnya, PR justru men­ja­di se­suatu yang membuat siswa tertekan atau stres dalam men­ja­l­ani pen­di­dikan sehingga PR bak hantu yang menakutkan.Ten­tu itu pen­da­pat orang tua yang tidak mempunyai waktu lebih un­tuk men­dam­pingi anak-anaknya belajar. Kondisi ini sering di­ala­mi orang tua yang hidup di wilayah perkotaan atau masyarakat ur­ban. Lalu, apa­kah orang tua yang bisa menyisihkan waktunya un­tuk membantu m­em­buat PR bagi anaknya juga jauh dari t­e­kanan? Ter­nyata tidak. Ka­dang orang tua menyerah untuk bisa me­nye­le­sai­kan PR anaknya. Ba­gi kelompok masyarakat seperti ini, PR benar-benar menjadi be­ban atau bahkan menjadi “hantu” yang le­bih baik dihindari.Namun, bagi sebagian orang tua lainnya, PR akan me­mun­cul­kan krea­tivitas bagi anaknya dalam mengenyam pen­didikan. Bagi me­­re­k­a, PR akan memberikan pelajaran tambahan se­hingga ke­mam­­pu­an si anak akan semakin terasah. PR dianggap akan mem­bantu men­dong­krak prestasi akademis si siswa se­hingga PR ada­lah hal yang ha­­rus diberikan. Jika tidak, maka se­olah seorang sis­wa tidak belajar.Polemik tentang PR pun terjadi dalam menentukan kebijakan. Be­­be­rapa daerah seperti Blitar dan Kota Depok meminta semua se­ko­lah di daerahnya tidak memberikan PR bagi siswanya. Se­be­lum­nya Kabupaten Purwakarta sudah menerapkan kebijakan itu te­r­le­bih dahulu. Beberapa daerah itu beranggapan bahwa PR justru mem­be­rikan beban pendidikan yang lebih bagi siswa. Hasilnya, siswa jus­tru malas untuk meraih prestasi lebih karena sudah merasa pen­di­dik­an menjadi beban, bukan sesuatu yang menyenangkan.Di sisi lain, ada beberapa daerah termasuk Provinsi DKI Jakarta dan Kota So­lo yang belum menerapkan kebijakan ini. Dua daerah tersebut (dan masih banyak daerah lain tentunya) menganggap PR masih di­per­lukan untuk menggenjot prestasi siswa. Muaranya tentu pe­n­di­dik­an di daerah tersebut akan semakin maju.Lalu, bagaimana dengan pemerintah pusat? Hingga saat ini be­lum ada kebijakan untuk mengharuskan untuk memberikan PR ke­pa­da siswa atau tidak. Seiring semangat otonomi daerah, tentu hal itu memang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Setiap dae­rah bisa memberikan kebijakan masing-masing tentu sesuai dengan pe­r­soalan dan potensi yang ada di daerah tersebut. Bukan berarti pe­me­rintah pusat lepas tangan dengan persoalan tersebut karena dam­pak pemberian PR kepada siswa perlu kajian men­dalam.Bukan se­buah kebijakan yang parsial dan akan gam­pang diim­ple­men­ta­si­kan. Pun, semua daerah yang mengusung oto­nomi daerah tidak bisa di-gebyah uyah (sama ratakan) dalam me­nentukan kebijakan ini. Ja­di, memang akan lebih tepat ke­bijakan ini diberikan kepada pe­me­rin­tah daerah saja karena me­mang daerah yang mempunyai ke­we­nang­an sesuai dengan se­ma­ngat otonomi daerah.Beberapa negara pun tidak serentak mengatakan PR itu mem­be­­bani atau tidak. Finlandia yang terkenal dengan dunia pen­di­dik­an­nya memiliki kebijakan tidak memberi PR bagi siswa. Bah­kan jam ­se­ko­lah mereka tidak banyak. Namun, output pendidikan me­reka cu­kup baik. Begitu juga dengan Korea Selatan yang me­la­rang sekolah mem­berikan PR. Sedangkan di Amerika Serikat (AS) cu­kup mo­de­rat. Ada negara bagian di AS yang hanya memberikan be­ban PR 10 me­nit untuk siswa SD, 20 menit untuk siswa SMP, dan dua jam untuk sis­wa SMA. Tapi, bagaimana mengukurnya juga men­jadi persoalan be­rikutnya. Sedangkan di China banyak se­ko­lah memberikan PR ke­pa­da siswa, bahkan hingga 14 jam.Tentu di Indonesia ini juga membingungkan bagi orang tua mu­­rid. Ke­bijakan mana yang akan diikuti. Sebenarnya, orang tua ti­dak per­lu bi­ngung ketika banyak pilihan sekolah baik negeri dan swas­ta yang me­nyediakan pendidikan. Jika anaknya tidak terlalu ter­bebani PR, ba­nyak sekolah yang mempunyai kebijakan ini. Be­gi­tu juga de­ngan orang tua yang menginginkan anaknya men­da­pat PR. Banyak se­ko­lah yang melakukan. Saat ini akan lebih baik jika orang tua yang me­mi­lih sesuai kondisi riil di rumahnya. Mana yang lebih baik, tentu pi­hak yang pro-kontra mempunya argumen sen­diri. Namun, jika sis­wa me­r­asa bahagia mengenyam pend­i­dik­an, maka akan melahirkan ­si­s­wa yang pintar, bukan hanya ­ten­tang hard skill, tapi juga soft skill. *
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7037 seconds (0.1#10.140)