Pekerjaan Rumah
A
A
A
BAGI sebagian orang tua murid, pekerjaan rumah atau PR bagi siswa menjadi beban mereka. Ya, bukan beban si siswa, justru menjadi beban bagi orang tua karena acapkali orang tualah yang menggarap PR tersebut. Selain itu, bagi sebagian orang tua murid lainnya, PR justru menjadi sesuatu yang membuat siswa tertekan atau stres dalam menjalani pendidikan sehingga PR bak hantu yang menakutkan.Tentu itu pendapat orang tua yang tidak mempunyai waktu lebih untuk mendampingi anak-anaknya belajar. Kondisi ini sering dialami orang tua yang hidup di wilayah perkotaan atau masyarakat urban. Lalu, apakah orang tua yang bisa menyisihkan waktunya untuk membantu membuat PR bagi anaknya juga jauh dari tekanan? Ternyata tidak. Kadang orang tua menyerah untuk bisa menyelesaikan PR anaknya. Bagi kelompok masyarakat seperti ini, PR benar-benar menjadi beban atau bahkan menjadi “hantu” yang lebih baik dihindari.Namun, bagi sebagian orang tua lainnya, PR akan memunculkan kreativitas bagi anaknya dalam mengenyam pendidikan. Bagi mereka, PR akan memberikan pelajaran tambahan sehingga kemampuan si anak akan semakin terasah. PR dianggap akan membantu mendongkrak prestasi akademis si siswa sehingga PR adalah hal yang harus diberikan. Jika tidak, maka seolah seorang siswa tidak belajar.Polemik tentang PR pun terjadi dalam menentukan kebijakan. Beberapa daerah seperti Blitar dan Kota Depok meminta semua sekolah di daerahnya tidak memberikan PR bagi siswanya. Sebelumnya Kabupaten Purwakarta sudah menerapkan kebijakan itu terlebih dahulu. Beberapa daerah itu beranggapan bahwa PR justru memberikan beban pendidikan yang lebih bagi siswa. Hasilnya, siswa justru malas untuk meraih prestasi lebih karena sudah merasa pendidikan menjadi beban, bukan sesuatu yang menyenangkan.Di sisi lain, ada beberapa daerah termasuk Provinsi DKI Jakarta dan Kota Solo yang belum menerapkan kebijakan ini. Dua daerah tersebut (dan masih banyak daerah lain tentunya) menganggap PR masih diperlukan untuk menggenjot prestasi siswa. Muaranya tentu pendidikan di daerah tersebut akan semakin maju.Lalu, bagaimana dengan pemerintah pusat? Hingga saat ini belum ada kebijakan untuk mengharuskan untuk memberikan PR kepada siswa atau tidak. Seiring semangat otonomi daerah, tentu hal itu memang menjadi kewenangan pemerintah daerah. Setiap daerah bisa memberikan kebijakan masing-masing tentu sesuai dengan persoalan dan potensi yang ada di daerah tersebut. Bukan berarti pemerintah pusat lepas tangan dengan persoalan tersebut karena dampak pemberian PR kepada siswa perlu kajian mendalam.Bukan sebuah kebijakan yang parsial dan akan gampang diimplementasikan. Pun, semua daerah yang mengusung otonomi daerah tidak bisa di-gebyah uyah (sama ratakan) dalam menentukan kebijakan ini. Jadi, memang akan lebih tepat kebijakan ini diberikan kepada pemerintah daerah saja karena memang daerah yang mempunyai kewenangan sesuai dengan semangat otonomi daerah.Beberapa negara pun tidak serentak mengatakan PR itu membebani atau tidak. Finlandia yang terkenal dengan dunia pendidikannya memiliki kebijakan tidak memberi PR bagi siswa. Bahkan jam sekolah mereka tidak banyak. Namun, output pendidikan mereka cukup baik. Begitu juga dengan Korea Selatan yang melarang sekolah memberikan PR. Sedangkan di Amerika Serikat (AS) cukup moderat. Ada negara bagian di AS yang hanya memberikan beban PR 10 menit untuk siswa SD, 20 menit untuk siswa SMP, dan dua jam untuk siswa SMA. Tapi, bagaimana mengukurnya juga menjadi persoalan berikutnya. Sedangkan di China banyak sekolah memberikan PR kepada siswa, bahkan hingga 14 jam.Tentu di Indonesia ini juga membingungkan bagi orang tua murid. Kebijakan mana yang akan diikuti. Sebenarnya, orang tua tidak perlu bingung ketika banyak pilihan sekolah baik negeri dan swasta yang menyediakan pendidikan. Jika anaknya tidak terlalu terbebani PR, banyak sekolah yang mempunyai kebijakan ini. Begitu juga dengan orang tua yang menginginkan anaknya mendapat PR. Banyak sekolah yang melakukan. Saat ini akan lebih baik jika orang tua yang memilih sesuai kondisi riil di rumahnya. Mana yang lebih baik, tentu pihak yang pro-kontra mempunya argumen sendiri. Namun, jika siswa merasa bahagia mengenyam pendidikan, maka akan melahirkan siswa yang pintar, bukan hanya tentang hard skill, tapi juga soft skill. *
(amm)