Pemilu di Kamboja

Rabu, 01 Agustus 2018 - 07:51 WIB
Pemilu di Kamboja
Pemilu di Kamboja
A A A
Dinna Wisnu PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

SEBAGIAN negara menghadapi dilema apakah perlu mengakui hasil pemilihan umum di Kamboja yang dilakukan pada Minggu (29/7) atau menolaknya karena tuduhan ada pelanggaran dalam prosesnya. Pemilu Kamboja menarik perhatian karena konteks politik internasional yang sangat dinamis akhir-akhir ini.

Kemenangan Partai Rakyat Kamboja yang merupakan partai berkuasa sejak 1985 telah menimbulkan kontroversi. Di satu sisi sebagian negara menuding bahwa pemilu tersebut cacat karena telah memberangus hak politik dari partai oposisi dan kebebasan berpendapat.

Di sisi lain, ada pula negara-negara yang menyambut baik hasil pemilu tersebut dan tidak mempersoalkan tekanan Pemerintah Kamboja terhadap lawan politiknya. Negara-negara yang menolak umumnya adalah yang menggunakan isu kebebasan sipil sebagai parameter kehidupan bernegara. Mereka yang menerima terutama adalah negara yang memandang bahwa kedaulatan politik dalam negeri adalah prinsip yang harus dijunjung tinggi.

Pro dan kontra hasil pemilu selalu akan menyertai proses demokrasi di negara mana pun. Di Amerika Serikat sekalipun dugaan bahwa Rusia terlibat masih dalam proses penyelidikan di Kongres.

Sistem demokrasi, lembaga pemilihan umum, dan sistem politik memang tidak selalu sempurna dan mewakili kehendak seluruh masyarakat. Sebab itulah, perubahan yang benar-benar tumbuh dari masyarakat itu sendiri yang akan membuat sebuah negara lebih stabil dibandingkan bila suatu perubahan dicangkok oleh pihak luar.

Hal ini juga terjadi di Kamboja. Negara ini telah menyelesaikan proses pemilihan umum Senin lalu.

Penghitungan tidak resmi yang diumumkan oleh pemerintah menyatakan bahwa Partai Rakyat Kamboja kemungkinan menyapu 100 dari 125 kursi di Parlemen. Partai Rakyat Kamboja adalah partai yang dipimpin oleh Hun Sen di mana dia telah berkuasa sebagai perdana menteri sejak 1985.

Kemenangan pemilu ini membawa konsekuensi bahwa Hun Sen akan menjabat lagi sebagai perdana menteri untuk lima tahun ke depan hingga 2023. Dia akan menjadi perdana menteri dengan masa kekuasaan terlama di ASEAN dengan pengecualian Brunei Darussalam yang masih menganut sistem monarki-konstitusional.

Kemenangan itu dikecam karena partai oposisi yang terdepan, yaitu the Cambodian National Rescue Party (CNRP), juga turut dibubarkan oleh Pengadilan Kamboja. CNRP adalah partai politik oposisi terbesar di Kamboja. Pemilu kemarin memang diikuti oleh 20 partai, namun hanya sedikit yang beroposisi kepada pemerintah.

CNRP didirikan pada 2012 sebagai gabungan antara Partai Sam Rainsy dan Partai Hak Asasi Manusia. Ideologi yang disokong oleh partai ini adalah kebebasan hak sipil dan hak asasi manusia. Independensi lembaga pemilihan yang bebas dan adil diyakininya mendukung "integritas nasional" Kamboja. Slogan resminya adalah "menyelamatkan, melayani, melindungi" dan logo untuk CNRP adalah matahari terbit.

Pemerintah menangkap Pemimpin CNRP Kem Sokha pada 3 September 2017. Sokha sebelumnya adalah pemimpin Partai Hak Asasi Manusia. Pemerintah memenjarakan dirinya di pusat penahanan di Provinsi Tboung Khmum setelah penangkapannya.

Tuduhan yang dialamatkan kepadanya adalah pengkhianatan dan bekerja sama dengan pihak-pihak asing untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dan berkuasa, yaitu pemerintahan di bawah Hun Sen. Penangkapan itu kemudian diikuti oleh pembubaran CNRP dan dinyatakan sebagai partai yang terlarang di Kamboja.

Pembubaran partai tersebut secara signifikan menguntungkan Partai Rakyat Kamboja yang berkuasa. Meskipun pemimpin partai CNRP yang tinggal di dalam dan di luar Kamboja menyerukan pemboikotan pemilu, jumlah masyarakat yang berpartisipasi dalam pemilu kemarin tidak menurun secara tajam dibandingkan pelaksanaan pemilu pada 2013.

Tahun tersebut pemilu diikuti oleh 9,6 juta penduduk, sementara pada tahun ini hanya 8,3 juta penduduk. Terjadi penurunan sebesar 1,3 juta suara. Beberapa saluran media massa baik digital maupun elektronik juga sempat diblokir pada masa pencoblosan dengan alasan menghindari seruan boikot dari pihak-pihak asing.

Atas dasar itu, sejumlah negara menolak untuk mengatakan bahwa pemilu di Kamboja berjalan secara bebas dan rahasia. Pemerintah AS mengatakan dan menyesalkan bahwa pemilihan Kamboja itu cacat.

AS akan mempertimbangkan tanggapannya terhadap hasil dan kemunduran lainnya terhadap demokrasi dan hak asasi manusia di Negara Kamboja. AS mungkin akan memperketat dan membatasi pemberian visa kepada para pimpinan elite pemerintahan Kamboja pada Desember.

Uni Eropa juga mengatakan bahwa pemilihan di Kamboja telah memberikan Hun Sen kekuatan yang sangat besar dan kontrol penuh atas parlemen yang tidak memiliki kredibilitas dan mencerminkan kehendak rakyat. Uni Eropa telah menolak untuk bertindak sebagai pengamat dalam pemilu dan menangguhkan bantuan keuangannya kepada pihak KPU Kamboja.

China justru menyatakan dukungannya atas hasil pemilu tersebut. China mengatakan bahwa sebagai tetangga dan sahabat Kamboja yang baik, dengan tulus mereka mengucapkan selamat atas keberhasilan penyelenggaraan pemilihan parlemen dan kemenangan Partai Rakyat Kamboja yang dipimpin Hun Sen. Perwakilan pemantau pemilu dari enam negara, yakni Malaysia, Rusia, Laos, India, Thailand, dan Vietnam, mengatakan bahwa pemilihan nasional Minggu itu bebas, adil, dan transparan.

Dalam gelombang pro dan kontra tersebut terdapat motif atau kepentingan kebijakan politik luar negeri masing-masing negara yang tidak dapat kita pastikan dengan jelas. Setiap negara terutama negara besar seperti AS, Eropa, China, dan Rusia punya agenda memperluas pengaruhnya di berbagai tempat termasuk di Kamboja.

Apa yang menarik bahwa dalam relasi politik internasional adalah kita belajar bahwa urusan ekonomi dapat memengaruhi persepsi politik luar negeri antarnegara. Tidak selalu perbedaan pandangan politik di antara negara-negara akan merusak bidang-bidang kerja sama lain selama hubungan ekonomi atau perdagangannya saling menguntungkan.

Contoh ketika negara-negara Amerika Latin dikuasai oleh pemerintahan militer yang otoriter, negara-negara Barat seperti AS dan EU yang mengedepankan demokrasi dan HAM tidak memberikan sanksi seperti yang mereka berikan kepada negara-negara yang secara ekonomi tidak memiliki hubungan erat dengan mereka. Contoh lain adalah Vietnam dan China. China adalah tujuan ekspor utama dari produk-produk Vietnam, tetapi dalam kasus Laut China Selatan, Vietnam adalah negara yang paling terasa menentang dominasi China di laut tersebut.
Hubungan ekonomi kedua negara tetap berjalan meskipun secara politik mereka saling berkompetisi.

Bagi Indonesia yang menjunjung tinggi kebebasan sipil dan HAM, di satu sisi kita perlu terus terang mengatakan bahwa meskipun kita menghormati hasil pilihan rakyat Kamboja, kita juga mengingatkan masyarakat bahwa praktik-praktik demokrasi perlu menjunjung tinggi kebebasan berekspresi dan berpolitik demi stabilitas politik yang lebih langgeng.

Secara konsisten meskipun juga diplomatis Indonesia perlu mendorong agar di tataran pimpinan di Kamboja terus tumbuh penghargaan atas HAM dan belajar cara-cara yang lebih baik dalam merespons oposisi di era demokrasi. Di sisi lain kita tak patut mengucilkan Kamboja karena rakyat di sana belum cukup punya kekuatan sendiri dan keberanian untuk berbeda pendapat dengan pemerintahan berkuasa.

Dibutuhkan cara-cara positif juga untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat Kamboja demi menghargai pilihan politik yang beragam dari warga negara lainnya.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6159 seconds (0.1#10.140)