Momentum DPD
A
A
A
Mahkamah Konstitusi (MK) awal pekan ini membuat putusan yang melarang pengurus partai politik (parpol) menjadi calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Konsekuensi dari putusan ini adalah setiap pengurus parpol yang telah mendaftarkan diri sebagai calon anggota DPD wajib mundur dari kepengurusan partai, mulai tingkat pusat, daerah, hingga ranting.
Putusan MK ini efektif berlaku sejak Pemilu Legislatif 2019 hingga seterusnya. Putusan tersebut merespons uji materi terhadap Pasal 128 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pandangan MK, anggota parpol yang juga menjadi anggota DPD bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini diambil secara bulat oleh sembilan hakim MK.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons putusan MK ini dengan meminta pengurus parpol yang menjadi calon anggota DPD untuk menyerahkan surat pengunduran diri selambatnya sebelum daftar calon tetap (DCT) ditetapkan pada 20 September 2018.
Putusan MK ini memantik beragam reaksi, terutama dari politisi. Ada yang menyayangkan karena putusan dibuat saat tahapan pemilu tengah berlangsung. Parpol yang paling keberatan dengan putusan ini adalah Hanura.
Sejumlah pengurus Hanura merupakan anggota DPD yang kembali mencalonkan diri pada pemilu yang digelar tahun depan. Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) bahkan merupakan ketua DPD. OSO juga terdaftar sebagai calon anggota DPD periode 2019-2024 dari daerah pemilihan Kalimantan Barat. Ketua DPP Partai Hanura Benny Ramdhani bahkan menyebut putusan MK tersebut politis dan terkesan ingin menjegal pengurus parpol tertentu.
Memang terlihat ada kerancuan jika KPU nanti menjalankan putusan MK ini. Kepengurusan parpol sebelumnya jadi salah satu syarat lolos verifikasi calon peserta Pemilu 2019 oleh KPU. Jika pengurus parpol yang kebetulan menjadi calon anggota DPD diharuskan mundur, sekarang bagaimana keabsahan verifikasi partainya?
Namun, terlepas dari polemik yang muncul, putusan MK ini sesungguhnya baik untuk DPD secara kelembagaan, terlebih lagi bagi rakyat di daerah yang selama ini diwakili oleh 128 senator.
Rakyat diuntungkan karena senator yang mewakilinya bisa lebih fokus memperjuangkan aspirasi daerah. Satu di antara problem klasik yang membebani anggota DPD adalah posisinya yang serbatanggung dalam menjalankan fungsi legislasi.
Posisi sebagai anggota parpol membuat senator terjebak dalam ruang kepentingan parpolnya. Kondisi ini membuat anggota DPD rentan menjadi alat kepentingan politik parpol. Jika itu terjadi, anggota DPD mengingkari kodratnya karena dia merupakan saluran kepentingan daerah.
Ketimbang mempersoalkan putusan MK yang sifatnya mengikat dan harus dijalankan, lebih baik anggota DPD fokus melakukan pembenahan internal. Lebih bijak jika menjadikan ini sebagai momentum perbaikan.
Satu di antaranya berjuang menjadikan lembaga lebih bertaji. Misalnya, dalam menjalankan fungsi legislasi perlu perjuangan bagaimana agar DPD tidak lagi sebagai subordinat DPR. Idealnya, DPD setara dengan DPR dan presiden dalam mengajukan rancangan undang-undang (RUU), terutama yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Belum lagi DPD melalui perubahan UU MD3 awal tahun ini mendapat penambahan tugas. DPD saat ini mempunyai wewenang dan tugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas RUU perda dan perda. Ihwal seperti ini membutuhkan fokus dari para senator.
Dalam beberapa tahun belakang lembaga ini mendapat kritikan karena kerap terlibat konflik perebutan kekuasaan. Publik masih teringat dengan pertarungan keras dua kubu ketua DPD yakni antara OSO dengan Farouk Muhammad yang akhirnya dimenangi OSO. Sudah saatnya DPD membangun dan mengembangkan citra positif. Apalagi, kepercayaan publik terhadap DPD masih cukup rendah.
Berdasarkan survei SMRC yang dirilis pada Juni 2017, DPD hanya menempati urutan kedelapan dari sepuluh lembaga negara yang
dipercaya publik. Posisi DPD hanya unggul tipis dari DPR yang berada di urutan kesembilan, dan partai politik di urutan paling buncit.
Putusan MK ini efektif berlaku sejak Pemilu Legislatif 2019 hingga seterusnya. Putusan tersebut merespons uji materi terhadap Pasal 128 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam pandangan MK, anggota parpol yang juga menjadi anggota DPD bertentangan dengan UUD 1945. Putusan ini diambil secara bulat oleh sembilan hakim MK.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespons putusan MK ini dengan meminta pengurus parpol yang menjadi calon anggota DPD untuk menyerahkan surat pengunduran diri selambatnya sebelum daftar calon tetap (DCT) ditetapkan pada 20 September 2018.
Putusan MK ini memantik beragam reaksi, terutama dari politisi. Ada yang menyayangkan karena putusan dibuat saat tahapan pemilu tengah berlangsung. Parpol yang paling keberatan dengan putusan ini adalah Hanura.
Sejumlah pengurus Hanura merupakan anggota DPD yang kembali mencalonkan diri pada pemilu yang digelar tahun depan. Ketua Umum DPP Partai Hanura Oesman Sapta Odang (OSO) bahkan merupakan ketua DPD. OSO juga terdaftar sebagai calon anggota DPD periode 2019-2024 dari daerah pemilihan Kalimantan Barat. Ketua DPP Partai Hanura Benny Ramdhani bahkan menyebut putusan MK tersebut politis dan terkesan ingin menjegal pengurus parpol tertentu.
Memang terlihat ada kerancuan jika KPU nanti menjalankan putusan MK ini. Kepengurusan parpol sebelumnya jadi salah satu syarat lolos verifikasi calon peserta Pemilu 2019 oleh KPU. Jika pengurus parpol yang kebetulan menjadi calon anggota DPD diharuskan mundur, sekarang bagaimana keabsahan verifikasi partainya?
Namun, terlepas dari polemik yang muncul, putusan MK ini sesungguhnya baik untuk DPD secara kelembagaan, terlebih lagi bagi rakyat di daerah yang selama ini diwakili oleh 128 senator.
Rakyat diuntungkan karena senator yang mewakilinya bisa lebih fokus memperjuangkan aspirasi daerah. Satu di antara problem klasik yang membebani anggota DPD adalah posisinya yang serbatanggung dalam menjalankan fungsi legislasi.
Posisi sebagai anggota parpol membuat senator terjebak dalam ruang kepentingan parpolnya. Kondisi ini membuat anggota DPD rentan menjadi alat kepentingan politik parpol. Jika itu terjadi, anggota DPD mengingkari kodratnya karena dia merupakan saluran kepentingan daerah.
Ketimbang mempersoalkan putusan MK yang sifatnya mengikat dan harus dijalankan, lebih baik anggota DPD fokus melakukan pembenahan internal. Lebih bijak jika menjadikan ini sebagai momentum perbaikan.
Satu di antaranya berjuang menjadikan lembaga lebih bertaji. Misalnya, dalam menjalankan fungsi legislasi perlu perjuangan bagaimana agar DPD tidak lagi sebagai subordinat DPR. Idealnya, DPD setara dengan DPR dan presiden dalam mengajukan rancangan undang-undang (RUU), terutama yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Belum lagi DPD melalui perubahan UU MD3 awal tahun ini mendapat penambahan tugas. DPD saat ini mempunyai wewenang dan tugas melakukan pemantauan dan evaluasi atas RUU perda dan perda. Ihwal seperti ini membutuhkan fokus dari para senator.
Dalam beberapa tahun belakang lembaga ini mendapat kritikan karena kerap terlibat konflik perebutan kekuasaan. Publik masih teringat dengan pertarungan keras dua kubu ketua DPD yakni antara OSO dengan Farouk Muhammad yang akhirnya dimenangi OSO. Sudah saatnya DPD membangun dan mengembangkan citra positif. Apalagi, kepercayaan publik terhadap DPD masih cukup rendah.
Berdasarkan survei SMRC yang dirilis pada Juni 2017, DPD hanya menempati urutan kedelapan dari sepuluh lembaga negara yang
dipercaya publik. Posisi DPD hanya unggul tipis dari DPR yang berada di urutan kesembilan, dan partai politik di urutan paling buncit.
(nag)