Parpol dan Caleg Artis

Rabu, 25 Juli 2018 - 09:10 WIB
Parpol dan Caleg Artis
Parpol dan Caleg Artis
A A A
Arifki Chaniago
Staf Ahli DPD RI & Presiden Politico Milenal Club (PM Club)

FENOMENA artis “nyaleg” bukan lagi hal baru dalam dunia politik Indonesia. Tenarnya nama Anang Hermansyah, Eko Patrio, Lucky Hakim dan lainnya, jadi “magnet positif” bagi artis lain untuk mengikuti langkah yang sama.

Berbondong-bondongnya artis mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif pada 4-17 Juli 2018 ke Komisi Pemilihan Umum (KPU) menjadi bukti magnet Anang, Eko, dan Lucky telah menarik rekan-rekannya. Mereka antara lain Krisdayanti, Olla Ramlan, Nafa Urbach, mantan vokalis band Radja, Ian Kasela, Jeffry Waworuntu, Harvey Malaiholo, aktris Kirana Larasati, artis kawakan Chicha Koeswoyo, penyanyi Iis Sugiarto, hingga Angel Karamoy.

Namun, kehadiran artis dalam dunia politik menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Pada satu sisi mereka memiliki popularitas. Sedangkan pada sisi lain persoalan politik bukanlah hiburan, seperti yang mereka tampilkan di sinetron, film dan talk show. Menjamurnya artis yang terjun ke dunia politik praktis menurut penulis dilatari beberapa penyebab.

Pertama, lemahnya sistem pendidikan dan kaderisasi partai untuk melahirkan pemimpin dan tokoh politik dari internal partai. Rendahnya popularitas kader partai disebabkan tidak bekerjanya jejaring partai dari level tertinggi hingga terendah.

Partai kehilangan momentum untuk menciptakan panggung terhadap kader terbaiknya melalui kegiatan-kegiatan di akar rumput karena lemahnya organisasi partai untuk mendukung kader-kader potensial untuk bisa jadi perhatian elektoral.

Permasalahan lain, misalnya, kebiasan partai yang membuka kantornya beberapa bulan menjelang pemilu. Jejaring partai yang seharusnya diperkuat beberapa tahun menjelang pemilu malahan tidak bekerja dengan baik. Oleh karena itu, wajar kalau partai tidak punya mesin partai yang mapan dan stabil.

Di Indonesia sampai detik ini belum ada partai yang serius dalam mengelola partai seperti yang penulis sebutkan, yang organisasinya tetap berjalan meskipun tidak ada pemilu atau kalah pemilu. Umumnya, kantor partai jadi rumah tua yang tidak berpenghuni ketika pemilu telah usai atau kalah pemilu. Pengurusnya sulit dihubungi dan diminta keterangan terkait partainya.

Kedua, dengan mengusung artis sebagai calon legislatif, partai tidak mengeluarkan biaya besar untuk membiayai calegnya agar bisa terpilih. Popularitas yang dimiliki artis adalah modal dari aktivitasnya di dunia hiburan. Semua itu dikapitalisasi partai dengan dipindahkan populeritasnya menjadi elektibilias. Demi mewujudkan hal itu caleg yang berlatarbelakang artis harus “nyaleg”.

Partai berhemat untuk biaya pengenalan caleg ke konstituen. Selanjutnya, partai hanya memperkenalkan sang caleg dengan program kerja. Niscaya pada bagian ini elektoral sulit membedakan antara posisi caleg sebagai artis atau sebagai calon legislator.

Kegelisahan ini tidak berlaku untuk semua artis, karena juga ada artis yang memiliki pendidikan dan pengalaman organisasi dan kepemimpinan. Yang penulis maksud dalam tulisan ini sebagai kegelisahan terhadap artis yang mendaftar sebagai calon anggota legislatif belum teruji secara kompetensi, yang nanti berguna di parlemen dalam memperjuangkan nasib elektoralnya.

Dari pemilu ke pemilu bisa dilihat secara langsung kehadiran anggota DPR yang berlatar belakang artis tidak bisa berbuat banyak dalam memperjuangkan konstituennya. Sebab, hal yang dihadapi ketika proses terpilih dan setelah terpilih adalah hal yang berbeda. Karena, waktu proses terpilih adalah perjuangan agar dilirik oleh pemilih. Namun, pada saat terpilih berhubungan dengan kemampuan dan komitmen memperjuangkan aspirasi masyarakat.

Ketiga, profesi artis dan politisi tidak jauh berbeda karena sama-sama berada dalam kondisi yang dinamis. Setiap periode tertentu akan ada saja artis baru yang mengalahkan ketenaran artis lama. Bahkan hal itu bisa berlangsung lebih cepat dari yang diperkirakan. Begitu pun dengan dunia politik, petahana tiga periode pun bisa dikalahkan penantang baru.

Jadi, fenomena peralihan profesi oleh artis dari dunia hiburan ke politik adalah ibaratnya keluar dari mulut buaya dan masuk ke mulut harimau. Kondisi yang dihadapi relatif sama, terdapat intrik, fitnah dan citra yang bercampur antara kebenaran dengan kebohongan.

Yang terpenting jadi catatan bagi partai dan caleg yang berlatar belakang artis: politik bukan ajang main-main. Merendahkan aspirasi dan amanah rakyat dengan melakukan kapitalasi terhadap harapan dan cita-cita konstituen dengan tidak mendorong figur yang tepat untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat adalah kesalahan.

Fenomena partai yang mengutamakan artis maju di pemilihan legislatif dibandingkan kader ideologis tidak hanya terkait dengan artis baru. Artis yang sudah bergabung dengan salah satu partai pun jadi kutu loncat dengan pindah ke partai lain. Sifat ini tidak hanya dilakukan oleh kader biasa, namun juga artis, yang memilih partai yang lebih menjanjikan materi dan posisi.

Proses perpindahan artis dari satu partai ke partai lain pun terkait dengan pembiayaan kampanye. Salah satu partai, misalnya, membiayai modal kampanye artis yang sudah menjabat sebagai anggota DPR periode 2014-2019 untuk pindah partai dengan maju pada Pileg 2019.

Strategi “mencuri” anggota DPR yang sudah memiliki basis elektoral untuk pindah partainya, persis dengan transfer pemain sepak bola dengan menawarkan gaji yang lebih mahal untuk pindah klub.

Dengan membeli pemain bintang dengan harga yang mahal, maka secara tidak langsung menaikkan rangking dan nilai tawar klub dalam jajaran sepak bola. Partai pun begitu, membajak kader partai A yang sudah punya basis elektoral DPR RI periode 2014-2019. Partai B tinggal menikmati keuntungan elektoral pada Pileg 2019 (periode 2019-2024).
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4351 seconds (0.1#10.140)