Lolos Ujian Pertama
A
A
A
INDONESIA kembali berhasil melewati satu fase krusial dalam perjalanannya membangun demokrasi. Pilkada 2018 yang dilaksanakan serentak di 171 daerah pada 27 Juni lalu berjalan lancar, tertib, dan aman. Situasi keamanan dan ketertiban, khususnya pada daerah yang menggelar pemilihan relatif kondusif. Tidak terjadi gejolak atau gesekan di masyarakat yang mengarah ke konflik horizontal. Memang ada ketegangan antarpendukung di sejumlah daerah setelah penghitungan suara, tapi semua bisa ditangani dengan profesional dan proporsional oleh aparat berwajibTerlepas dari beberapa catatan minus terkait proses penyelenggaraan, misalnya aparat yang dilaporkan tidak netral, praktik politik uang, intimidasi, politisasi PNS, dan penggelembungan suara, pilkada kali ini tetap memberikan catatan manis. Betapa tidak, sebelum pelaksanaan pemungutan suara berbagai kekhawatiran muncul. Sejumlah daerah dilaporkan memiliki kerawanan keamanan tinggi sehingga perlu perhatian khusus.
Beberapa daerah bahkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai sangat rawan dalam indeks kerawanan pemilu (IPK) karena praktik politik identitas, salah satunya Pilgub Jawa Barat. Namun faktanya, berbagai kekhawatiran tidak terbukti.
Apresiasi layak diberikan kepada 152 juta pemilih yang terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT) di pilkada serentak kali ini. Penggunaan hak pilih di 17 pilkada provinsi, 39 pilkada kota, dan 115 pilkada kabupaten berjalan lancar. Partisipasi pemilih pun tergolong tinggi, yakni 73,24%, meskipun tidak mencapai target yang ditetapkan Komisi Pemiluhan Umum (KPU) sebesar 77,5%. Publik juga terlihat antusias mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Justru tantangan pascapilkada dihadapi KPU selaku penyelenggara. Salah satu fokus sorotan publik adalah proses yang terjadi di Pilkada Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Di daerah ini terjadi kejutan besar ketika pasangan calon tunggal, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) dikalahkan kotak kosong berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) lembaga survei. Kolom kosong mendapatkan dukungan 53,47%, sedangkan pasangan calon tunggal 46,53%.
Pascapencoblosan KPU Makassar mendapat beragam sorotan karena beberapa alasan. Misalnya, mereka melakukan proses rekapitulasi penghitungan suara secara tertutup bagi media. Ini kejadian langka karena proses rekapitulasi suara selama ini selalu berlangsung terbuka dan bisa diakses wartawan. Pertanyaannya, atas dasar apa KPU setempat melakukan itu atau atas perintah siapa?
Selain itu, sorotan diberikan karena terdapat perbedaan data perolehan suara pada form C1 dengan data yang diunggah di laman KPU. Ditemukan belasan TPS di Makassar yang memiliki data rekapitulasi berbeda dengan ter-input di situs real count KPU atau Sistem Informasi Penghitungan (Situng). Menurut Versi Situng KPU yang dilaporkan tersebut, kotak kosong mengalami pengurangan jumlah suara signifikan, sebaliknya pasangan calon tunggal mendapatkan tambahan suara.
Kasus Pilkada Makassar seyogianya mendapat perhatian dari KPU Pusat. Peretasan yang diduga terjadi dan berakibat pada perubahan data harus bisa diatasi dengan baik. Jangan sampai suara rakyat direkayasa untuk kepentingan kelompok tertentu. Langkah KPU Pusat mengambil alih masalah di Kota Makasar ini sangat tepat karena menunjukkan komitmen kuat untuk mengamankan suara rakyat dari potensi manipulasi. KPU memang perlu membuktikan bahwa proses pilkada di seluruh daerah pada 27 Juni lalu berlangsung jujur dan adil, terutama di daerah yang mendapat perhatian nasional, termasuk Pilkada Kota Makassar. Penanganan yang tepat atas setiap masalah oleh KPU, juga Bawaslu beserta jajarannya dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan hasil pilkada. Itu sekaligus bisa meminimalisasi potensi konflik di masyarakat karena lebih percaya akan legitimasi hasil pilkada.
Pemenang pilkada serentak di 171 daerah berdasarkan hasil quick count ataupun real count tentu hanya gambaran atau sekadar menjadi data perbandingan, bukan hasil sesungguhnya. Untuk mengetahui siapa pemenang pilkada yang sah dan resmi di tiap daerah, semua pihak tetap harus menunggu proses rekapitulasi secara berjenjang yang dilakukan KPU.
Namun, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, penyelenggaraan pilkada serentak tahap III ini bisa dikatakan berhasil, baik dari sisi kelancaran pemungutan suara maupun partisipasi pemilih. Momentum ini seyogianya membangkitkan semangat segenap elemen bangsa untuk menyukseskan acara politik yang lebih besar tahun depan, yakni Pemilu 2019.
Beberapa daerah bahkan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dinilai sangat rawan dalam indeks kerawanan pemilu (IPK) karena praktik politik identitas, salah satunya Pilgub Jawa Barat. Namun faktanya, berbagai kekhawatiran tidak terbukti.
Apresiasi layak diberikan kepada 152 juta pemilih yang terdaftar di daftar pemilih tetap (DPT) di pilkada serentak kali ini. Penggunaan hak pilih di 17 pilkada provinsi, 39 pilkada kota, dan 115 pilkada kabupaten berjalan lancar. Partisipasi pemilih pun tergolong tinggi, yakni 73,24%, meskipun tidak mencapai target yang ditetapkan Komisi Pemiluhan Umum (KPU) sebesar 77,5%. Publik juga terlihat antusias mendatangi TPS untuk menggunakan hak pilihnya.
Justru tantangan pascapilkada dihadapi KPU selaku penyelenggara. Salah satu fokus sorotan publik adalah proses yang terjadi di Pilkada Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Di daerah ini terjadi kejutan besar ketika pasangan calon tunggal, yakni Munafri Arifuddin-Andi Rachmatika Dewi (Appi-Cicu) dikalahkan kotak kosong berdasarkan hasil hitung cepat (quick count) lembaga survei. Kolom kosong mendapatkan dukungan 53,47%, sedangkan pasangan calon tunggal 46,53%.
Pascapencoblosan KPU Makassar mendapat beragam sorotan karena beberapa alasan. Misalnya, mereka melakukan proses rekapitulasi penghitungan suara secara tertutup bagi media. Ini kejadian langka karena proses rekapitulasi suara selama ini selalu berlangsung terbuka dan bisa diakses wartawan. Pertanyaannya, atas dasar apa KPU setempat melakukan itu atau atas perintah siapa?
Selain itu, sorotan diberikan karena terdapat perbedaan data perolehan suara pada form C1 dengan data yang diunggah di laman KPU. Ditemukan belasan TPS di Makassar yang memiliki data rekapitulasi berbeda dengan ter-input di situs real count KPU atau Sistem Informasi Penghitungan (Situng). Menurut Versi Situng KPU yang dilaporkan tersebut, kotak kosong mengalami pengurangan jumlah suara signifikan, sebaliknya pasangan calon tunggal mendapatkan tambahan suara.
Kasus Pilkada Makassar seyogianya mendapat perhatian dari KPU Pusat. Peretasan yang diduga terjadi dan berakibat pada perubahan data harus bisa diatasi dengan baik. Jangan sampai suara rakyat direkayasa untuk kepentingan kelompok tertentu. Langkah KPU Pusat mengambil alih masalah di Kota Makasar ini sangat tepat karena menunjukkan komitmen kuat untuk mengamankan suara rakyat dari potensi manipulasi. KPU memang perlu membuktikan bahwa proses pilkada di seluruh daerah pada 27 Juni lalu berlangsung jujur dan adil, terutama di daerah yang mendapat perhatian nasional, termasuk Pilkada Kota Makassar. Penanganan yang tepat atas setiap masalah oleh KPU, juga Bawaslu beserta jajarannya dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat akan hasil pilkada. Itu sekaligus bisa meminimalisasi potensi konflik di masyarakat karena lebih percaya akan legitimasi hasil pilkada.
Pemenang pilkada serentak di 171 daerah berdasarkan hasil quick count ataupun real count tentu hanya gambaran atau sekadar menjadi data perbandingan, bukan hasil sesungguhnya. Untuk mengetahui siapa pemenang pilkada yang sah dan resmi di tiap daerah, semua pihak tetap harus menunggu proses rekapitulasi secara berjenjang yang dilakukan KPU.
Namun, terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada, penyelenggaraan pilkada serentak tahap III ini bisa dikatakan berhasil, baik dari sisi kelancaran pemungutan suara maupun partisipasi pemilih. Momentum ini seyogianya membangkitkan semangat segenap elemen bangsa untuk menyukseskan acara politik yang lebih besar tahun depan, yakni Pemilu 2019.
(mhd)