Membaca Peluang Gatot Nurmantyo Jadi Cawapres Jokowi-Prabowo
A
A
A
JAKARTA - Pilpres 2019 tampaknya akan menyajikan rematch antara Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto. Hal ini karena peluang munculnya poros ketiga semakin kecil, terutama jika judicial review Presidential Thereshold 20% syarat capres yang tengah digugat sejumlah aktivis kalah di Mahkamah Konstitusi (MK).
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono mengatakan pertimbangan lainnya tidak adanya nama kuat selevel Jokowi dan Prabowo mengakibatkan banyak parpol cenderung bermain aman agar tidak kalah. Dia melihat pertarungan sengit justru terjadi di posisi cawapres dimana hingga kini sejumlah nama terus dibahas para elite kedua kubu.
"Salah satu nama yang disinyalir memiliki peluang, salah satunya Gatot Nurmantyo. Namanya kerap di posisi tiga besar tiga capres, atau (merujuk sejumlah survei) berada di peringkat satu kalau untuk Cawapres Jokowi. Meski demikian, langkah Gatot tidak mudah," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Sabtu (23/6/2018).
Alasannya, pertama, di internal Jokowi untuk nama-nama profesional selain Gatot masih ada nama Moeldoko, Mahfud MD, Susi Pudjiastuti atau Sri Mulyani. Keempatnya bukan nama sembarangan, karena memiliki rekam jejak mentereng.
"Moeldoko adalah mantan panglima TNI, dan sekarang ketua Kantor Staf Presiden (KSP). Mahfud MD memiliki pengalaman di birokrasi, selain akademisi. Susi dikenal sebagai menteri berprestasi, sementara Sri Mulyani terakhir meraih gelar sebagai menteri keuangan terbaik di dunia," jelas Zaenal.
Kedua, selain nama-nama dari internal Jokowi, koalisi parpol pendukung juga menyuguhkan nama-nama kuat. Mulai dari Muhaimin Iskandar, Romahurmuzy hingga Airlangga Hartarto. Bila pertimbangannya untuk perimbangan kekuatan politik dan memperkuat elektabilitas, dia berpandangan Jokowi cenderung akan memilih calon dari parpol yang sudah memiliki basis.
"Jika demikian, bagaimana peluang Gatot di kubu Prabowo? Sulit membayangkan pasangan Prabowo-Gatot, karena keduanya memiliki latar belakang yang sama, yaitu militer. Pengalaman 2014, Prabowo yang berpasangan dengan sipil (Hatta Rajasa) justru hanya kalah tipis dari Jokowi–JK. Mempertahankan momentum 2014 menjadi penting bagi Prabowo, dan dalam upaya ke sana, ia membutuhkan sosok sipil yang mumpuni," tandasnya.
Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia ini menambahkan, partner Gerindra, PKS sendiri sejauh ini belum secara terang mendorong Gatot. Mereka lebih fokus mendukung sembilan nama dari internal PKS yang juga untuk kepentingan Pileg mendatang.
"Satu-satunya peluang adalah mengharapkan poros ketiga mencalonkan Gatot sebagai Capres. Tapi sekali lagi peluangnya sangat kecil, karena Partai Demokrat juga memiliki calon tak kalah menarik pada diri AHY," tutupnya.
Direktur Eksekutif Developing Countries Studies Center (DCSC), Zaenal A Budiyono mengatakan pertimbangan lainnya tidak adanya nama kuat selevel Jokowi dan Prabowo mengakibatkan banyak parpol cenderung bermain aman agar tidak kalah. Dia melihat pertarungan sengit justru terjadi di posisi cawapres dimana hingga kini sejumlah nama terus dibahas para elite kedua kubu.
"Salah satu nama yang disinyalir memiliki peluang, salah satunya Gatot Nurmantyo. Namanya kerap di posisi tiga besar tiga capres, atau (merujuk sejumlah survei) berada di peringkat satu kalau untuk Cawapres Jokowi. Meski demikian, langkah Gatot tidak mudah," ujarnya melalui rilis yang diterima SINDOnews, Sabtu (23/6/2018).
Alasannya, pertama, di internal Jokowi untuk nama-nama profesional selain Gatot masih ada nama Moeldoko, Mahfud MD, Susi Pudjiastuti atau Sri Mulyani. Keempatnya bukan nama sembarangan, karena memiliki rekam jejak mentereng.
"Moeldoko adalah mantan panglima TNI, dan sekarang ketua Kantor Staf Presiden (KSP). Mahfud MD memiliki pengalaman di birokrasi, selain akademisi. Susi dikenal sebagai menteri berprestasi, sementara Sri Mulyani terakhir meraih gelar sebagai menteri keuangan terbaik di dunia," jelas Zaenal.
Kedua, selain nama-nama dari internal Jokowi, koalisi parpol pendukung juga menyuguhkan nama-nama kuat. Mulai dari Muhaimin Iskandar, Romahurmuzy hingga Airlangga Hartarto. Bila pertimbangannya untuk perimbangan kekuatan politik dan memperkuat elektabilitas, dia berpandangan Jokowi cenderung akan memilih calon dari parpol yang sudah memiliki basis.
"Jika demikian, bagaimana peluang Gatot di kubu Prabowo? Sulit membayangkan pasangan Prabowo-Gatot, karena keduanya memiliki latar belakang yang sama, yaitu militer. Pengalaman 2014, Prabowo yang berpasangan dengan sipil (Hatta Rajasa) justru hanya kalah tipis dari Jokowi–JK. Mempertahankan momentum 2014 menjadi penting bagi Prabowo, dan dalam upaya ke sana, ia membutuhkan sosok sipil yang mumpuni," tandasnya.
Dosen FISIP Universitas Al Azhar Indonesia ini menambahkan, partner Gerindra, PKS sendiri sejauh ini belum secara terang mendorong Gatot. Mereka lebih fokus mendukung sembilan nama dari internal PKS yang juga untuk kepentingan Pileg mendatang.
"Satu-satunya peluang adalah mengharapkan poros ketiga mencalonkan Gatot sebagai Capres. Tapi sekali lagi peluangnya sangat kecil, karena Partai Demokrat juga memiliki calon tak kalah menarik pada diri AHY," tutupnya.
(kri)