Ini Dalil Belasan Pakar dan Akademisi Gugat Ambang Batas Nyapres
A
A
A
JAKARTA - Sejumlah pakar dan akademisi kembali mengajukan uji materi Pasal 222 Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum, terkait ambang batas calon presiden dan wakil presiden ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Meski uji materi ini pernah ditolak MK, para pemohon mengklaim memiliki alasan berbeda dalam permohonannya. Perwakilan pemohon, Hadar Nafis Gumay mengungkapkan, permohonan yang diajukan berbeda dari materi yang diajukan sejumlah pihak sebelumnya.
Antara lain, Pasal 222 UU 7/2017 mengatur "syarat" capres dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan "tata cara".
"Pengaturan delegasi 'syarat' capres ke UU ada pada Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur 'syarat' capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945," kata Hadar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Menurutnya, pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan 'Pemilu anggota DPR sebelumnya', sehingga Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
Selain itu Hadar memandang, syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
"Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945," ucap dia.
Mantan Komisioner KPU pusat ini menganggap, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Menurut dia, presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
Kata dia, jika Pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, namun potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
"Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena melanggar Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5), Pasal 22E Ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945," pungkasnya.
Meski uji materi ini pernah ditolak MK, para pemohon mengklaim memiliki alasan berbeda dalam permohonannya. Perwakilan pemohon, Hadar Nafis Gumay mengungkapkan, permohonan yang diajukan berbeda dari materi yang diajukan sejumlah pihak sebelumnya.
Antara lain, Pasal 222 UU 7/2017 mengatur "syarat" capres dan karenanya bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (5) UUD 1945 yang hanya mendelegasikan pengaturan "tata cara".
"Pengaturan delegasi 'syarat' capres ke UU ada pada Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945 dan tidak terkait pengusulan oleh parpol, sehingga Pasal 222 UU 7/2017 yang mengatur 'syarat' capres oleh parpol bertentangan dengan Pasal 6 Ayat (2) UUD 1945," kata Hadar di Gedung MK, Jakarta, Kamis (21/6/2018).
Menurutnya, pengusulan capres dilakukan oleh parpol peserta pemilu yang akan berlangsung bukan 'Pemilu anggota DPR sebelumnya', sehingga Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
Selain itu Hadar memandang, syarat pengusulan capres oleh parpol seharusnya adalah close legal policy bukan open legal policy, sehingga Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.
"Penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya adalah irasional dan karenanya Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (2) UUD 1945," ucap dia.
Mantan Komisioner KPU pusat ini menganggap, penghitungan presidential threshold berdasarkan hasil pemilu DPR sebelumnya telah menghilangkan esensi pelaksanaan pemilu dan karenanya Pasal 222 UU 7/2017 bertentangan dengan Pasal 22E Ayat (1) dan (2) UUD 1945.
Menurut dia, presidential threshold menghilangkan esensi pemilihan presiden karena lebih berpotensi menghadirkan capres tunggal, sehingga bertentangan dengan Pasal 6A Ayat (1), (3), dan (4) UUD 1945.
Kata dia, jika Pasal 222 UU 7/2017 dianggap tidak langsung bertentangan dengan konstitusi, quod non, namun potensi pelanggaran konstitusi sekecil apapun yang disebabkan pasal tersebut harus diantisipasi Mahkamah agar tidak muncul ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945.
"Pasal 222 UU 7/2017 bukanlah constitutional engineering, tetapi justru adalah constitutional breaching, karena melanggar Pasal 6 Ayat (2), Pasal 6A Ayat (1), Ayat (2), Ayat (3), Ayat (4), dan Ayat (5), Pasal 22E Ayat (1) dan (2), serta Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945," pungkasnya.
(maf)