Ketika Korea Utara Jumpa Amerika Serikat

Rabu, 13 Juni 2018 - 03:40 WIB
Ketika Korea Utara Jumpa Amerika Serikat
Ketika Korea Utara Jumpa Amerika Serikat
A A A
Dinna Wisnu, PhD
Pengamat Hubungan Internasional
@dinnawisnu

KEMARIN Presiden AS Donald Trump berjumpa dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un di Singapura dan ditutup dengan pengumuman bahwa telah ada kesepakatan untuk memulai proses denuklirisasi (menghapus senjata nuklir) di Korea Utara.

Dari liputan menit per menit di media massa, nampak bahwa Kim Jong Un awalnya berwajah cukup tegang saat pertama bersalaman dengan Trump. Sementara Trump berkali-kali menepuk punggung Kim dan mengarahkan langkah Kim, khususnya ketika menuju ruang pertemuan tertutup. Kondisi terlihat cair saat penandatanganan terjadi. Keduanya terlihat rileks bahkan saling memuji.

Trump mengatakan bahwa kesepakatan tersebut bersifat “komprehensif” dan fantastis. Kim mengatakan bahwa “pertemuan kami bersifat historis dan kami memutuskan untuk meninggalkan masa lalu di belakang…dunia akan melihat perubahan besar”.

Belum ada detail kesepakatan (yang terbuka) antara AS dengan Korea Utara selain tiga hal ini. Pertama, AS berkomitmen menyediakan jaminan perlindungan keamanan pada Korea Utara sementara Korea Utara mengkonfirmasi komitmenya menghapus senjata nuklir dari Semenanjung Korea.

Kedua, AS dan Korea Utara akan segera melakukan tindak lanjut di level menteri untuk mengimplementasikan kesepakatan hari itu. Ketiga, kedua negara akan bekerja sama membangun rezim yang stabil dan berkelanjutan di Semenanjung Korea, termasuk kemungkinan perjanjian damai antara Korea Utara dengan Korea Selatan.

Kesan pertama yang muncul dalam pikiran saya melihat pertemuan kedua negara yang secara ideologis ekstrem perbedaannya adalah bahwa mereka mengambil pendekatan realis dan pragmatis. Realis dalam arti lebih melihat hubungan negara sebagai sebuah proses untuk menemukan titik keseimbangan di antara dua atau lebih kekuatan agar tujuan atau strategi yang lebih besar bisa berjalan; pragmatis dalam konteks lebih mementingkan capaian jangka pendek.

Bagaimana kemudian Indonesia harus bersikap dengan dampak yang akan lahir dari kedekatan antara AS dan Korut? Apa yang perlu menjadi perhatian bersama?

Pertama, terkait waktu (timing) mengapa AS dan Korea Utara memilih untuk duduk bersama meskipun kecurigaan di antara keduanya tidak bisa dikatakan sepenuhnya hilang. Saya melihat kedua belah pihak sama-sama didorong oleh kebutuhan di dalam negeri untuk mempertahankan arah kebijakan yang diyakini wajib dijalankan, mencerminkan kekuatan jati diri pemimpinnya, bahkan membuktikan kemampuan si pemimpin dalam menarik perhatian dunia.

Di sisi AS kebutuhan pembuktian kemampuan ini cukup nyata. Trump konsisten berupaya menerapkan semua janji kampanyenya sementara publik di AS terbilang sulit diyakinkan. Popularitas Trump masih di kisaran 40-45% dengan kubu anti Trump yang makin mengental. Sebagai pebisnis, Trump kukuh dengan program “America First” Trump yang proteksionis di bidang ekonomi.

Ia tetap pada pendiriannya bahwa AS banyak dirugikan oleh kesepakatan berkumpul dengan sejumlah negara. Nampak betul emosi beliau ketika berhadapan dengan negara-negara G-7 sehingga ia tak sungkan menarik dukungan pada pernyataan bersama G-7 meskipun dikecam keras dan “dihukum” balasan tarif tinggi karena menerapkan tarif baru untuk besi baja dan aluminium.

Trump mengatakan bahwa negara lain tidak bisa memaksa AS di luar kehendaknya. Trump juga menarik diri dari kesepakatan-kesepakatan yang dibuat sebelumnya oleh AS seperti Trans-Pacific Partnership, Kesepakatan Nuklir Iran, Kesepakatan Paris untuk perubahan iklim, bahkan mempertimbangkan menarik pasukan dari Suriah, Korea Selatan, Jepang bahkan dari wilayah Asia secara umum. Pertimbangan Trump adalah faktor biaya dan keuntungan langsung dari keterlibatan AS di seluruh dunia.

Sementara itu di sisi Korea Utara, Kim Jong Un sebagai seorang pemimpin muda (usia 33 tahun) butuh legitimasi jangka panjang sebagai pemimpin di negara yang kinerja ekonominya jauh di bawah rata-rata dunia. Meskipun Korea Utara kerap menjadi buah bibir dunia karena program senjata nuklirnya, jumlah dan kecanggihan senjata nuklir Korea Utara bukanlah yang terbanyak dan terbaik di dunia. Rusia tetap
yang terbanyak memiliki senjata nuklir aktif, diikuti oleh AS.

Selain itu penggunaan senjata nuklir juga perlu dibarengi dengan daya serang pertama (first strike) yang besar atau daya balas yang ampuh. Kedua hal ini tidak dimiliki Korea Utara tingkat kemiskinan penduduknya lebih merata daripada kemampuan militer ataupun anggaran pertahanannya. Anggaran pertahanan AS berkisar 25 kali lipat keseluruhan nilai transaksi ekonomi di Korea Utara.

Pendapatan per kapita penduduk di Korea Utara hanya di kisaran 1,000 dollar, jauh di bawah AS yang di kisaran 58,000 dollar. Membalas ancaman percobaan senjata Korea Utara dengan serangan sungguhan justru akan menuai kecaman dunia karena buruknya kondisi
kemanusiaan di negara sasaran.

Kesepakatan antara Trump dan Kim menjanjikan titik temu kebutuhan kedua kepala negara. Keduanya mendapatkan perhatian dunia sebagai modal legitimasi di dalam negeri. Di AS kestabilan di Semenanjung Korea punya nilai diplomasi yang tinggi.

Faktor lain yang menambah kepercayaan diri Kim kemungkinan besar adalah Tiongkok karena selama ini mitra dagang terbesar Korea Utara adalah Tiongkok. Tertutupnya Korea Utara tidak memungkinkan kita tahu persis apa yang terjadi antara Korea Utara dengan Tiongkok tetapi mustahil kita mengabaikan hubungan antara Tiongkok dengan AS sebagai faktor penentu juga dalam pertemuan tersebut.

Kedua, pendekatan bilateral di level kepala negara lebih menjanjikan perubahan kebijakan yang diharapkan ketimbang cara-cara multilateral. Cara ini membutuhkan kemauan politik yang kuat dari level kepala negara untuk menghayati potensi masing-masing pihak saat bertatap muka.

Dalam kasus AS dan Korea Utara kedua kepala negara memang sangat mengandalkan kemampuan pribadi masing- masing kepala negara sebagai wujud dari keinginan negara masing-masing pada negara lain. Pendekatan bilateral ini mengemuka lagi sebagai titik balik dari penguatan pendekatan multilateral yang berjaya sejak akhir Perang Dunia II.

Masih banyak negara, termasuk Indonesia, yang sangat memercayai pendekatan multilateral sebagai pendekatan yang lebih efektif dalam menyelesaikan permasalahan dunia. Negara-negara ini membentuk kaukus, pertemuan informal, menggerakkan organisasi-organisasi
internasional agar mengarah pada kesepakatan yang bisa diterima oleh mereka di dalam negeri.

Pendekatan ini secara historis terbukti memberi kestabilan politik di tingkat global yang cukup panjang; tidak hanya mencegah perang dan menghentikan ketegangan antar negara, menjamin perlucutan senjata tetapi yang terutama menjamin perluasan kesempatan pembangunan ekonomi dan perlindungan atas hak asasi manusia.

Keterbatasan pendekatan multilateral makin terasa di era tahun 2000-an di saat sejumlah negara memilih pemimpin-pemimpin yang berfigur kuat. Para pemimpin ini memainkan pendekatan bilateral yang personal, kadang tidak terduga, untuk bergerak ke arah tertentu.

Di era politik global yang multipolar, di mana kekuatan dunia kini terbagi antara AS, negara-negara Eropa, Tiongkok, dan kaukus-kaukus politik yang dibentuk oleh negara-negara middle power seperti Australia, Indonesia, Turki, Rusia dan India, maka tak lain pilihan Indonesia adalah memperkuat gerakan bersama, memperluas jaringan negara yang sepaham untuk kemudian mendesak kepala-kepala negara yang belum sepaham dengan lebih efektif di tataran bilateral.
(poe)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.3974 seconds (0.1#10.140)