Minyak Sawit yang Berkelanjutan
A
A
A
Elvia Ivada
Certified Sustainability Reporting Specialist,
Pengajar pada Prodi Pendidikan Akuntansi FKIP UNS,
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB UNS
RESOLUSI parlemen Uni Eropa mengenai palm oil and deforestation of rainforests yang dikeluarkan pada 4 April 2017 ditengarai banyak pihak sebagai suatu mekanisme untuk melakukan pelemahan industri kelapa sawit Indonesia dan upaya monopoli minyak sawit dan produk turunannya di Uni Eropa.
Atau dengan kata lain memaksakan gai rah kapitalisme Uni Eropa atas negara penghasil minyak sawit, dalam hal ini yang paling banyak disebut dalam resolusi itu adalah Indonesia. Dalam pertimbangan umumnya, resolusi tersebut menyebut eksploitasi minyak sawit bukan satu-satunya penyebab deforestasi, tetapi juga meningkatnya aktivitas illegal logging dan tekanan demografis (nomor 4) dan bahwa minyak nabati lain yang di produksi dari kedelai, bunga rapeseed, dan tanaman lain memiliki jejak lingkungan yang bahkan lebih buruk daripada minyak sawit (nomor 5).
Tetap saja layak jika resolusi itu menyentak rasa nasionalisme kita dan menjelmakan keinginan membela kepentingan negara kita. Sebab terdapat salah satu seruan dalam resolusi itu untuk menghentikan penggunaan minyak nabati (termasuk sawit yang sebagian besar di impor dari Indonesia) yang menyebabkan deforestasi sebagai komponen biofuel pada 2020 (rekomendasi nomor 82).
Namun di pihak lain, ada sisi yang perlu kita cermati lebih dalam. Setidaknya ada dua hal yang akan dibahas dalam tulisan ini: sustainability dan mandatory certification.
Sustainability - Keberlanjutan
Pada resolusi tersebut kata sustainability dan sustainable banyak digunakan. Dalam bahasa Indonesia sustainability dan sustainable disebut sebagai keberlanjutan dan berkelanjutan. Berbeda dengan keberlangsungan, kesinambungan, terus-menerus dan kontinuitas, keberlanjutan dimaksudkan sebagai keberlanjutan bagi bumi agar tetap layak menjadi tempat tinggal bagi keturunan kita.
Sustainability adalah suatu konsep kebijakan yang berawal dari sebuah la poran yang dikenal sebagai Brundtland Report. Kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan sosial yang terjadi di bumi menjadi pendorong munculnya Brundtland Report yang adalah suatu laporan yang dikeluarkan pada 1987 oleh The World Commision on Environmental and Development (WCED), salah satu lembaga PBB.
Untuk menjawab kekhawatiran itu, terdapat satu kalimat yang sangat terkenal dalam tulisan tersebut, yaitu tentang pembangunan berkelanjutan: pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Definisi ini menjadi acuan banyak pihak mengenai arti sustanability atau keberlanjutan. Membaca resolusi tersebut, dengan mudah kita bisa menarik simpulan bahwa industri minyak sawit kita dituding tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Bertebaran kata yang berlawanan dengan keberlanjutan (meskipun minyak sawit bukanlah satu-satunya penyebab).
Sebut saja misalnya, perubahan iklim global, alih fungsi lahan, deforestasi, polusi udara, pelanggaran HAM, kematian prematur dan kebakaran hutan, merupakan akibat (yang kebanyakan merupakan dampak tidak langsung) aktivitas produksi minyak sawit.
Mandatory Certification, Sertifikasi Wajib
Salah satu penyelesaian yang ditawarkan dalam resolusi itu adalah adanya sertifikasi yang memastikan bahwa produksi minyak sawit memenuhi kriteria keberlanjutan. Sertifikasi yang sudah dilakukan industri minyak sawit Indonesia seperti Round table Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dipertanyakan integritas ekologis dan sosialnya dan dinilai tidak dapat secara efektif menghentikan kerusakan lingkungan seperti alih fungsi lahan gambut dan hutan menjadi perkebunan sawit.
Sertifikasi tersebut (mereka menyebut bahwa ISPO adalah voluntary atau sukarela, padahal bagi perusahaan minyak sawit Indonesia, ISPO adalah sertifikasi wajib), dinilai membingungkan konsumen. Hal ini karena terdapat beberapa sertifikasi (RSPO, ISPO, dan untuk Malaysia MSPO) dan bukan sertifikasi tunggal.
Untuk itu mereka menye rukan diadakannya audit dan monitoring terhadap skema sertifikasi tersebut sehingga dapat menjamin bahwa minyak sawit yang beredar di Uni Eropa adalah minyak sawit yang memenuhi standar yang mereka tetapkan dan yang berkelanjutan.
Mereka menginginkan bahwa minyak sawit yang mereka konsumsi atau gunakan untuk biofuel adalah minyak sawit yang dalam penanaman, panen, dan produksinya tidak melanggar HAM dan tidak merusak lingkungan. Dalam hal ini sangat ditekankan dalam resolusi itu untuk diadakannya satu sertifikasi wajib yang mengikat seluruh produsen minyak sawit yang dapat meningkatkan visibilitas konsumen atas keberlanjutan produk minyak sawit dan memastikan bahwa skema satu sertifikasi tersebut dapat menjamin minyak sawit yang masuk ke Uni Eropa adalah minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Menyikapi resolusi tersebut, yang bisa dilakukan oleh industri minyak sawit dan pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama, menunjukkan komitmen keberlanjutan dengan mendorong semangat keberlanjutan di setiap tahap dan lini produksi.
Langkah pemerintah dalam mewajibkan sertifikasi ISPO pantas diapresiasi. Hanya saja pelaksanaan ISPO belum seperti yang diharapkan. Forest Watch Indonesia (FWI) pada 2017 melaporkan bahwa dari 11,6 juta hektare lahan perkebunan sawit, baru 13%-nya saja yang menerapkan ISPO. Menunjukkan keseriusannya, pemerintah berencana mengeluarkan perpres mengenai ISPO yang dimaksudkan untuk meningkatkan standar sertifikasi keberlanjutan minyak sawit Indonesia tersebut.
Karena itu, kedua, kekhawatiran yang nyaring terkabar bahwa perpres tersebut akan melemahkan ISPO semestinya tidak terjadi. Semiga benar seperti yang diharapkan bahwa perpres tersebut dapat memperkuat ISPO agar produk sawit diterima pasar internasional. Jika ISPO sung guh diterapkan secara tegas dengan pembuktian menurunnya konflik sosial dan masalah lingkungan, hal ini dapat menunjukkan keseriusan dalam menangani masalah ini dan memperkuat posisi tawar pemerintah dalam memperjuang kan minyak sawit kita.
Ketiga, pemerintah harus meyakinkan bahwa ISPO merupakan mekanisme tepat untuk menjamin keberlanjutan minyak sawit Indonesia. Sangat berbahaya jika Indonesia menyetujui standar tunggal minyak sawit yang disusun Uni Eropa. Jika hal ini terjadi, monopoli bukan lagi berupa sinyal.Untuk itu sekali lagi perlu pembukt ian bahwa ISPO memang sertifikasi mumpuni untuk memastikan keberlanjutan minyak sawit Indonesia. Bukti menurunnya kerusakan lingkungan dan sosial akan menunjukkan ISPO efektif menjamin keberlanjutan minyak sawit Indonesia dan keseriusan kita menangani masalah ini.
Keempat, sustainability reporting (SR) atau laporan keberlanjutan harus disusun oleh perusahaan minyak sawit. Laporan keberlanjutan atau sering pula disebut sebagai laporan CSR adalah suatu laporan yang memuat performa perusahaan dilihat dari tiga aspek triple bottom line: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam SR perusahaan harus melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ditimbulkan aktivitasnya.
Bukan saja dampak positif, tetapi juga dampak negatif harus diungkapkan dalam laporan itu sehingga jejak keberlanjutan suatu produk sawit dapat ditelusuri dengan laporan tersebut. Keempat, upaya tersebut ha rus dilakukan secara bersama-sama dan diperlukan dukungan semua pihak bukan hanya pemerintah dan industri minyak sawit, tetapi juga seluruh masyarakat.
Bukan hanya karena kepentingan bangsa bernama devisa, tapi lebih untuk menjaga bumi kita tetap lestari. Ini saatnya untuk melakukan introspeksi, memperbaiki diri dan menjawab resolusi tersebut, bahwa industri sawit Indonesia punya haluan sama, mendukung keberlanjutan bumi. Karena, seperti pepatah Amerika, kita tidak mewarisi bumi ini dari nenek moyang kita, tapi meminjamnya dari anak cucu kita.
Certified Sustainability Reporting Specialist,
Pengajar pada Prodi Pendidikan Akuntansi FKIP UNS,
Mahasiswa Program Doktor Ilmu Ekonomi FEB UNS
RESOLUSI parlemen Uni Eropa mengenai palm oil and deforestation of rainforests yang dikeluarkan pada 4 April 2017 ditengarai banyak pihak sebagai suatu mekanisme untuk melakukan pelemahan industri kelapa sawit Indonesia dan upaya monopoli minyak sawit dan produk turunannya di Uni Eropa.
Atau dengan kata lain memaksakan gai rah kapitalisme Uni Eropa atas negara penghasil minyak sawit, dalam hal ini yang paling banyak disebut dalam resolusi itu adalah Indonesia. Dalam pertimbangan umumnya, resolusi tersebut menyebut eksploitasi minyak sawit bukan satu-satunya penyebab deforestasi, tetapi juga meningkatnya aktivitas illegal logging dan tekanan demografis (nomor 4) dan bahwa minyak nabati lain yang di produksi dari kedelai, bunga rapeseed, dan tanaman lain memiliki jejak lingkungan yang bahkan lebih buruk daripada minyak sawit (nomor 5).
Tetap saja layak jika resolusi itu menyentak rasa nasionalisme kita dan menjelmakan keinginan membela kepentingan negara kita. Sebab terdapat salah satu seruan dalam resolusi itu untuk menghentikan penggunaan minyak nabati (termasuk sawit yang sebagian besar di impor dari Indonesia) yang menyebabkan deforestasi sebagai komponen biofuel pada 2020 (rekomendasi nomor 82).
Namun di pihak lain, ada sisi yang perlu kita cermati lebih dalam. Setidaknya ada dua hal yang akan dibahas dalam tulisan ini: sustainability dan mandatory certification.
Sustainability - Keberlanjutan
Pada resolusi tersebut kata sustainability dan sustainable banyak digunakan. Dalam bahasa Indonesia sustainability dan sustainable disebut sebagai keberlanjutan dan berkelanjutan. Berbeda dengan keberlangsungan, kesinambungan, terus-menerus dan kontinuitas, keberlanjutan dimaksudkan sebagai keberlanjutan bagi bumi agar tetap layak menjadi tempat tinggal bagi keturunan kita.
Sustainability adalah suatu konsep kebijakan yang berawal dari sebuah la poran yang dikenal sebagai Brundtland Report. Kekhawatiran akan kerusakan lingkungan dan sosial yang terjadi di bumi menjadi pendorong munculnya Brundtland Report yang adalah suatu laporan yang dikeluarkan pada 1987 oleh The World Commision on Environmental and Development (WCED), salah satu lembaga PBB.
Untuk menjawab kekhawatiran itu, terdapat satu kalimat yang sangat terkenal dalam tulisan tersebut, yaitu tentang pembangunan berkelanjutan: pembangunan yang memenuhi kebutuhan masa sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Definisi ini menjadi acuan banyak pihak mengenai arti sustanability atau keberlanjutan. Membaca resolusi tersebut, dengan mudah kita bisa menarik simpulan bahwa industri minyak sawit kita dituding tidak sejalan dengan prinsip keberlanjutan. Bertebaran kata yang berlawanan dengan keberlanjutan (meskipun minyak sawit bukanlah satu-satunya penyebab).
Sebut saja misalnya, perubahan iklim global, alih fungsi lahan, deforestasi, polusi udara, pelanggaran HAM, kematian prematur dan kebakaran hutan, merupakan akibat (yang kebanyakan merupakan dampak tidak langsung) aktivitas produksi minyak sawit.
Mandatory Certification, Sertifikasi Wajib
Salah satu penyelesaian yang ditawarkan dalam resolusi itu adalah adanya sertifikasi yang memastikan bahwa produksi minyak sawit memenuhi kriteria keberlanjutan. Sertifikasi yang sudah dilakukan industri minyak sawit Indonesia seperti Round table Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dipertanyakan integritas ekologis dan sosialnya dan dinilai tidak dapat secara efektif menghentikan kerusakan lingkungan seperti alih fungsi lahan gambut dan hutan menjadi perkebunan sawit.
Sertifikasi tersebut (mereka menyebut bahwa ISPO adalah voluntary atau sukarela, padahal bagi perusahaan minyak sawit Indonesia, ISPO adalah sertifikasi wajib), dinilai membingungkan konsumen. Hal ini karena terdapat beberapa sertifikasi (RSPO, ISPO, dan untuk Malaysia MSPO) dan bukan sertifikasi tunggal.
Untuk itu mereka menye rukan diadakannya audit dan monitoring terhadap skema sertifikasi tersebut sehingga dapat menjamin bahwa minyak sawit yang beredar di Uni Eropa adalah minyak sawit yang memenuhi standar yang mereka tetapkan dan yang berkelanjutan.
Mereka menginginkan bahwa minyak sawit yang mereka konsumsi atau gunakan untuk biofuel adalah minyak sawit yang dalam penanaman, panen, dan produksinya tidak melanggar HAM dan tidak merusak lingkungan. Dalam hal ini sangat ditekankan dalam resolusi itu untuk diadakannya satu sertifikasi wajib yang mengikat seluruh produsen minyak sawit yang dapat meningkatkan visibilitas konsumen atas keberlanjutan produk minyak sawit dan memastikan bahwa skema satu sertifikasi tersebut dapat menjamin minyak sawit yang masuk ke Uni Eropa adalah minyak sawit yang diproduksi secara berkelanjutan.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Menyikapi resolusi tersebut, yang bisa dilakukan oleh industri minyak sawit dan pemerintah adalah sebagai berikut. Pertama, menunjukkan komitmen keberlanjutan dengan mendorong semangat keberlanjutan di setiap tahap dan lini produksi.
Langkah pemerintah dalam mewajibkan sertifikasi ISPO pantas diapresiasi. Hanya saja pelaksanaan ISPO belum seperti yang diharapkan. Forest Watch Indonesia (FWI) pada 2017 melaporkan bahwa dari 11,6 juta hektare lahan perkebunan sawit, baru 13%-nya saja yang menerapkan ISPO. Menunjukkan keseriusannya, pemerintah berencana mengeluarkan perpres mengenai ISPO yang dimaksudkan untuk meningkatkan standar sertifikasi keberlanjutan minyak sawit Indonesia tersebut.
Karena itu, kedua, kekhawatiran yang nyaring terkabar bahwa perpres tersebut akan melemahkan ISPO semestinya tidak terjadi. Semiga benar seperti yang diharapkan bahwa perpres tersebut dapat memperkuat ISPO agar produk sawit diterima pasar internasional. Jika ISPO sung guh diterapkan secara tegas dengan pembuktian menurunnya konflik sosial dan masalah lingkungan, hal ini dapat menunjukkan keseriusan dalam menangani masalah ini dan memperkuat posisi tawar pemerintah dalam memperjuang kan minyak sawit kita.
Ketiga, pemerintah harus meyakinkan bahwa ISPO merupakan mekanisme tepat untuk menjamin keberlanjutan minyak sawit Indonesia. Sangat berbahaya jika Indonesia menyetujui standar tunggal minyak sawit yang disusun Uni Eropa. Jika hal ini terjadi, monopoli bukan lagi berupa sinyal.Untuk itu sekali lagi perlu pembukt ian bahwa ISPO memang sertifikasi mumpuni untuk memastikan keberlanjutan minyak sawit Indonesia. Bukti menurunnya kerusakan lingkungan dan sosial akan menunjukkan ISPO efektif menjamin keberlanjutan minyak sawit Indonesia dan keseriusan kita menangani masalah ini.
Keempat, sustainability reporting (SR) atau laporan keberlanjutan harus disusun oleh perusahaan minyak sawit. Laporan keberlanjutan atau sering pula disebut sebagai laporan CSR adalah suatu laporan yang memuat performa perusahaan dilihat dari tiga aspek triple bottom line: ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam SR perusahaan harus melaporkan dampak ekonomi, sosial, dan lingkungan yang ditimbulkan aktivitasnya.
Bukan saja dampak positif, tetapi juga dampak negatif harus diungkapkan dalam laporan itu sehingga jejak keberlanjutan suatu produk sawit dapat ditelusuri dengan laporan tersebut. Keempat, upaya tersebut ha rus dilakukan secara bersama-sama dan diperlukan dukungan semua pihak bukan hanya pemerintah dan industri minyak sawit, tetapi juga seluruh masyarakat.
Bukan hanya karena kepentingan bangsa bernama devisa, tapi lebih untuk menjaga bumi kita tetap lestari. Ini saatnya untuk melakukan introspeksi, memperbaiki diri dan menjawab resolusi tersebut, bahwa industri sawit Indonesia punya haluan sama, mendukung keberlanjutan bumi. Karena, seperti pepatah Amerika, kita tidak mewarisi bumi ini dari nenek moyang kita, tapi meminjamnya dari anak cucu kita.
(kri)