Kontroversi Gaji Pejabat BPIP
A
A
A
Bagong Suyanto
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
TIDAK ada yang membantah bahwa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan lembaga baru yang penting dan memanggul tanggung jawab yang berat. Di tengah indikasi makin memudarnya kohesi sosial dan ancaman intoleransi, radikalisme dan fanatisme yang merongrong integrasi nasional, kehadiran BPIP diharapkan dapat menjadi motor sekaligus konseptor revitalisasi implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara garis besar berikut dua tugas utama BPIP.
Pertama, bertugas membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Kedua, BPIP bertugas memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.
Gaji Selangit
BPIP adalah lembaga baru yang diisi oleh orang-orang penting dan sangat berkompeten. Sebagai ketua Dewan Pengarah ditunjuk Megawati yang berwenang untuk membentuk satuan tugas khusus untuk membantu mengefektifkan pelaksanaan tugas BPIP. Kemudian nama-nama yang masuk dalam anggota Dewan Pengarah adalah KH Said Aqil Siradj, Try Sutrisno, KH Ma’ruf Amin, Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya. Yudi Latif menjabat sebagai kepala BPIP.
Dengan keterlibatan sejumlah tokoh dan elite politik yang terhormat dan memiliki reputasi yang mumpuni, tidaklah keliru jika banyak pihak yakin kinerja lembaga baru ini akan maksimal. Tidak ada yang meragukan kinerja tim elite ini akan mampu memastikan upaya revitalisasi Pancasila berjalan on the track. Cuma, yang kini menjadi kontroversi dan tengah menjadi sorotan masyarakat bukan karena kinerja lembaga ini, tapi karena gaji selangit yang bakal diterima para pengurus.
Megawati Soekarnoputri, yang menjabat sebagai ketua Dewan Pengarah BPIP, misalnya dilaporkan bakal menerima gaji Rp112 juta per bulan atau Rp1,3 miliar per tahun. Sementara itu, anggota Dewan Pengarah BPIP mendapat gaji Rp100,811 juta. Dalam Perpres 42 Tahun 2018 disebutkan, gaji kepala BPIP sebesar Rp76,5 juta. BPIP merupakan organisasi nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi, gaji pengurus BPIP ternyata lebih besar dari penghasilan Presiden Joko Widodo yang hanya Rp62.740.000 per bulan, apalagi gaji Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hanya Rp42.160.000 per bulan.
Bagi masyarakat awam, gaji per bulan pengurus BPIP yang mencapai kisaran seratus juta lebih per bulan tentu menimbulkan tanda tanya tersendiri. Bandingkan, misalnya dengan gaji seorang guru besar yang sudah mengabdi selama 30-40 tahun, maksimal gaji yang diterima tidak akan lebih dari Rp25 juta. Bandingkan pula dengan nasib PNS selama tiga tahun terakhir yang gajinya tidak naik. Membaca berita gaji selangit pengurus BPIP, seperti diberitakan media massa, tentu wajar jika ada pihak yang mempertanyakan aspek keadilan dan dasar pemberian gaji yang sangat besar itu.
Walaupun de facto para pengurus BPIP hingga saat ini belum pernah menerima sepeser pun gaji atas jerih payah mereka, dan keputusan besarnya gaji yang selangit juga baru sebatas peraturan presiden yang belum direalisasikan. Tetapi, di benak masyarakat saat ini sudah terlanjur berkembang rumor dan sejumlah pertanyaan yang membutuhkan kepastian.
Persoalannya di sini bukan apakah para pengurus BPIP yang meminta besarnya gaji itu, atau mereka pantas atau tidak menerima gaji selangit itu. Tetapi, hal yang perlu dikaji ulang sebetulnya apa dampak yang terjadi jika penetapan gaji para pengurus BPIP yang selangit itu benar-benar diberikan. Bukan tidak mungkin, di benak masyarakat berbagai pertanyaan yang muncul kemudian berkembang menjadi pertanyaan yang mempersoalkan legitimasi dan reputasi lembaga BPIP yang notabene lembaga yang mengemban tugas mulia merevitalisasi implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat.
Di mata masyarakat, pemberian gaji yang sedemikian besar, langsung maupun tidak langsung, pasti akan menimbulkan berbagai pertanyaan, keraguan, bahkan gugatan. Ketua MAKI, Boyamin Saiman, misalnya, menyatakan akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung meminta perpres soal besaran gaji untuk pejabat BPIP dibatalkan.
Kesalahpahaman
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menjelaskan bahwa sebenarnya gaji pokok pejabat BPIP bukanlah sebesar yang dikesankan media massa. Gaji pejabat sekelas Megawati hanya Rp5 juta per bulan. Memang bila kemudian ditambah dengan berbagai tunjangan lain, seperti asuransi kesehatan, asuransi kematian, komponen transportasi dan komunikasi, dan tunjangan yang lain, para pejabat BPIP bisa menerima Rp100 hingga Rp112 juta per bulan.
Kalau benar apa yang dikatakan Sri Mulyani, berbagai syakwasangka dan apa yang saat ini berkembang di masyarakat tampaknya hanyalah kesalahpahaman saja. Untuk kepentingan transparansi, memang akan lebih baik jika gaji pejabat BPIP dijelaskan rinciannya, bahwa di luar gaji pokok yang hanya Rp5 juta itu atau berapa pun jumlahnya, besaran tambahan gaji yang lain sebetulnya adalah tunjangan untuk kepentingan lain-lain yang tidak akan dibayarkan jika pejabat yang bersangkutan tidak memanfaatkannya.
Dengan cara memberikan penjelasan yang lebih rinci ini diharapkan kesalahpahaman masyarakat akan dapat dieliminasi, dan berbagai hal yang bisa berdampak kontraproduktif bagi reputasi BPIP akan dapat direduksi. Semoga dengan penjelasan dan transparansi dari pemerintah, polemik soal gaji pejabat BPIP yang selangit dapat diredam dan diluruskan.
Guru Besar FISIP Universitas Airlangga
TIDAK ada yang membantah bahwa Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) merupakan lembaga baru yang penting dan memanggul tanggung jawab yang berat. Di tengah indikasi makin memudarnya kohesi sosial dan ancaman intoleransi, radikalisme dan fanatisme yang merongrong integrasi nasional, kehadiran BPIP diharapkan dapat menjadi motor sekaligus konseptor revitalisasi implementasi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Secara garis besar berikut dua tugas utama BPIP.
Pertama, bertugas membantu presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi Pancasila secara menyeluruh dan berkelanjutan, dan melaksanakan penyusunan standardisasi pendidikan dan pelatihan, menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan.
Kedua, BPIP bertugas memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau regulasi yang bertentangan dengan Pancasila kepada lembaga tinggi negara, kementerian/lembaga, pemerintahan daerah, organisasi sosial politik, dan komponen masyarakat lainnya.
Gaji Selangit
BPIP adalah lembaga baru yang diisi oleh orang-orang penting dan sangat berkompeten. Sebagai ketua Dewan Pengarah ditunjuk Megawati yang berwenang untuk membentuk satuan tugas khusus untuk membantu mengefektifkan pelaksanaan tugas BPIP. Kemudian nama-nama yang masuk dalam anggota Dewan Pengarah adalah KH Said Aqil Siradj, Try Sutrisno, KH Ma’ruf Amin, Ahmad Syafii Ma’arif, Muhammad Mahfud MD, Sudhamek, Andreas Anangguru Yewangoe, dan Wisnu Bawa Tenaya. Yudi Latif menjabat sebagai kepala BPIP.
Dengan keterlibatan sejumlah tokoh dan elite politik yang terhormat dan memiliki reputasi yang mumpuni, tidaklah keliru jika banyak pihak yakin kinerja lembaga baru ini akan maksimal. Tidak ada yang meragukan kinerja tim elite ini akan mampu memastikan upaya revitalisasi Pancasila berjalan on the track. Cuma, yang kini menjadi kontroversi dan tengah menjadi sorotan masyarakat bukan karena kinerja lembaga ini, tapi karena gaji selangit yang bakal diterima para pengurus.
Megawati Soekarnoputri, yang menjabat sebagai ketua Dewan Pengarah BPIP, misalnya dilaporkan bakal menerima gaji Rp112 juta per bulan atau Rp1,3 miliar per tahun. Sementara itu, anggota Dewan Pengarah BPIP mendapat gaji Rp100,811 juta. Dalam Perpres 42 Tahun 2018 disebutkan, gaji kepala BPIP sebesar Rp76,5 juta. BPIP merupakan organisasi nonstruktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada presiden. Tetapi, gaji pengurus BPIP ternyata lebih besar dari penghasilan Presiden Joko Widodo yang hanya Rp62.740.000 per bulan, apalagi gaji Wakil Presiden Jusuf Kalla yang hanya Rp42.160.000 per bulan.
Bagi masyarakat awam, gaji per bulan pengurus BPIP yang mencapai kisaran seratus juta lebih per bulan tentu menimbulkan tanda tanya tersendiri. Bandingkan, misalnya dengan gaji seorang guru besar yang sudah mengabdi selama 30-40 tahun, maksimal gaji yang diterima tidak akan lebih dari Rp25 juta. Bandingkan pula dengan nasib PNS selama tiga tahun terakhir yang gajinya tidak naik. Membaca berita gaji selangit pengurus BPIP, seperti diberitakan media massa, tentu wajar jika ada pihak yang mempertanyakan aspek keadilan dan dasar pemberian gaji yang sangat besar itu.
Walaupun de facto para pengurus BPIP hingga saat ini belum pernah menerima sepeser pun gaji atas jerih payah mereka, dan keputusan besarnya gaji yang selangit juga baru sebatas peraturan presiden yang belum direalisasikan. Tetapi, di benak masyarakat saat ini sudah terlanjur berkembang rumor dan sejumlah pertanyaan yang membutuhkan kepastian.
Persoalannya di sini bukan apakah para pengurus BPIP yang meminta besarnya gaji itu, atau mereka pantas atau tidak menerima gaji selangit itu. Tetapi, hal yang perlu dikaji ulang sebetulnya apa dampak yang terjadi jika penetapan gaji para pengurus BPIP yang selangit itu benar-benar diberikan. Bukan tidak mungkin, di benak masyarakat berbagai pertanyaan yang muncul kemudian berkembang menjadi pertanyaan yang mempersoalkan legitimasi dan reputasi lembaga BPIP yang notabene lembaga yang mengemban tugas mulia merevitalisasi implementasi Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat.
Di mata masyarakat, pemberian gaji yang sedemikian besar, langsung maupun tidak langsung, pasti akan menimbulkan berbagai pertanyaan, keraguan, bahkan gugatan. Ketua MAKI, Boyamin Saiman, misalnya, menyatakan akan melayangkan gugatan ke Mahkamah Agung meminta perpres soal besaran gaji untuk pejabat BPIP dibatalkan.
Kesalahpahaman
Menteri Keuangan Sri Mulyani telah menjelaskan bahwa sebenarnya gaji pokok pejabat BPIP bukanlah sebesar yang dikesankan media massa. Gaji pejabat sekelas Megawati hanya Rp5 juta per bulan. Memang bila kemudian ditambah dengan berbagai tunjangan lain, seperti asuransi kesehatan, asuransi kematian, komponen transportasi dan komunikasi, dan tunjangan yang lain, para pejabat BPIP bisa menerima Rp100 hingga Rp112 juta per bulan.
Kalau benar apa yang dikatakan Sri Mulyani, berbagai syakwasangka dan apa yang saat ini berkembang di masyarakat tampaknya hanyalah kesalahpahaman saja. Untuk kepentingan transparansi, memang akan lebih baik jika gaji pejabat BPIP dijelaskan rinciannya, bahwa di luar gaji pokok yang hanya Rp5 juta itu atau berapa pun jumlahnya, besaran tambahan gaji yang lain sebetulnya adalah tunjangan untuk kepentingan lain-lain yang tidak akan dibayarkan jika pejabat yang bersangkutan tidak memanfaatkannya.
Dengan cara memberikan penjelasan yang lebih rinci ini diharapkan kesalahpahaman masyarakat akan dapat dieliminasi, dan berbagai hal yang bisa berdampak kontraproduktif bagi reputasi BPIP akan dapat direduksi. Semoga dengan penjelasan dan transparansi dari pemerintah, polemik soal gaji pejabat BPIP yang selangit dapat diredam dan diluruskan.
(pur)