PDIP Dukung Surat Edaran KPK Larang Pejabat Terima dan Minta THR
A
A
A
JAKARTA - Ketua DPP PDIP sekaligus Wakil Ketua Komisi III Trimedya Panjaitan memastikan pihaknya mendukung penuh Surat Edaran (SE) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tertanggal 4 Juni 2018 dan laporan gratifikasi yang disampaikan Mendagri Tjahjo Kumolo.
Trimedya Panjaitan menyatakan, semua pihak harus mengapresiasi dan mendukung KPK mengeluarkan surat edaran tertanggal 4 Juni 2018 tentang larangan pejabat negara baik pegawai negeri maupun penyelenggara negara di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan intansi/lembaga negara atau pemerintah termasuk BUMN/BUMD, terkait untuk menerima dan meminta tunjangan hari raya (THR).
Menurut Trimedya, apa yang dilakukan KPK dengan mengeluarkan surat edaran tersebut sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK. Apalagi langkah seperti ini selalu dilakukan KPK setiap tahun.
Dia membeberkan, menjelang hari-hari besar termasuk Idul Fitri (Lebaran) memang sering kali ada pemberian atau penerimaan sesuatu baik berupa barang seperti dalam parcel maupun dalam bentuk uang. Salah satunya sebagai bentuk THR. Dalam konteks tersebut, penerimaan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara maka bisa masuk dalam delik gratifikasi.
"Kita harus dukung apa yang disampaikan KPK itu. Selain KPK menjalankan undang-undang, ya biarkan orang yang tepat yang menerima THR. Kalau anggota DPR kan katanya ada THR, kalau instansi pemerintah kita nggak tahu. Kalau dari pengusaha ya lebih baik diberikan ke karyawannya dong yang mengabdi sama mereka sama perusahaan," tegas Trimedya saat dihubungi KORAN SINDO, Senin (4/6/2018).
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi DPP PDIP ini menggariskan, dalam konteks pelaporan gratifikasi pada 2018 berdasarkan pernyataan KPK ada beberapa pihak yang menyampaikan laporan dengan nilai terbesar. Di antaranya di item pelaporan gratifikasi yang dilaporkan Mendagri Tjahjo Kumolo. Laporan yang disampaikan Tjahjo tersebut, tutur Trimedya, menunjukkan kesadaran Tjahjo sebagai penyelenggara negara dan pimpinan tertinggi di kementeriannya.
"Kalau Mas Tjahjo melakukan itu (menyampaikan laporan gratifikasi ke KPK) kan, itu juga satu bukti bahwa kader PDI Perjuangan yang duduk di eksekutif, beliau (Tjahjo) mengikuti arahan dari Ketua Umum (Megawati Soekarnoputri) tidak melakukan korupsi dan kalau ada pemberian ya dilaporkan ke KPK," tegasnya.
Trimedya melanjutkan, berdasarkan data yang dilansir KPK juga sepanjang 2015 hingga Juni 2018 ada dua orang yang masuk dalam pelapor gratifikasi terbesar yang status gratifikasinya sudah ditetapkan menjadi milik negara.
Kedua orang tersebut yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan nilai Rp58 miliar dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla dengan nilai Rp40 miliar. Bagi Trimedya, Jokowi dan JK sebagai pemimpin negara memang harus memberikan contoh dan teladan bagi semua pihak.
"Contoh itu harus diikuti oleh semua eksekutif. Mulai dari menteri kabinet, pejabat eselon, sampai pejabat-pejabat di BUMN. Kalau semuanya seperti itu (melaporkan seperti Jokowi dan JK) mungkin bisa ratusan miliar. Apalagi BUMN-BUMN itu kan, karena banyak BUMN yang masuk kategori 'gemuk' kan," tandas Trimedya.
Trimedya Panjaitan menyatakan, semua pihak harus mengapresiasi dan mendukung KPK mengeluarkan surat edaran tertanggal 4 Juni 2018 tentang larangan pejabat negara baik pegawai negeri maupun penyelenggara negara di lingkungan eksekutif, legislatif, dan yudikatif dan intansi/lembaga negara atau pemerintah termasuk BUMN/BUMD, terkait untuk menerima dan meminta tunjangan hari raya (THR).
Menurut Trimedya, apa yang dilakukan KPK dengan mengeluarkan surat edaran tersebut sudah menjadi tugas dan kewenangan KPK. Apalagi langkah seperti ini selalu dilakukan KPK setiap tahun.
Dia membeberkan, menjelang hari-hari besar termasuk Idul Fitri (Lebaran) memang sering kali ada pemberian atau penerimaan sesuatu baik berupa barang seperti dalam parcel maupun dalam bentuk uang. Salah satunya sebagai bentuk THR. Dalam konteks tersebut, penerimaan kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara maka bisa masuk dalam delik gratifikasi.
"Kita harus dukung apa yang disampaikan KPK itu. Selain KPK menjalankan undang-undang, ya biarkan orang yang tepat yang menerima THR. Kalau anggota DPR kan katanya ada THR, kalau instansi pemerintah kita nggak tahu. Kalau dari pengusaha ya lebih baik diberikan ke karyawannya dong yang mengabdi sama mereka sama perusahaan," tegas Trimedya saat dihubungi KORAN SINDO, Senin (4/6/2018).
Ketua Bidang Hukum, HAM, dan Advokasi DPP PDIP ini menggariskan, dalam konteks pelaporan gratifikasi pada 2018 berdasarkan pernyataan KPK ada beberapa pihak yang menyampaikan laporan dengan nilai terbesar. Di antaranya di item pelaporan gratifikasi yang dilaporkan Mendagri Tjahjo Kumolo. Laporan yang disampaikan Tjahjo tersebut, tutur Trimedya, menunjukkan kesadaran Tjahjo sebagai penyelenggara negara dan pimpinan tertinggi di kementeriannya.
"Kalau Mas Tjahjo melakukan itu (menyampaikan laporan gratifikasi ke KPK) kan, itu juga satu bukti bahwa kader PDI Perjuangan yang duduk di eksekutif, beliau (Tjahjo) mengikuti arahan dari Ketua Umum (Megawati Soekarnoputri) tidak melakukan korupsi dan kalau ada pemberian ya dilaporkan ke KPK," tegasnya.
Trimedya melanjutkan, berdasarkan data yang dilansir KPK juga sepanjang 2015 hingga Juni 2018 ada dua orang yang masuk dalam pelapor gratifikasi terbesar yang status gratifikasinya sudah ditetapkan menjadi milik negara.
Kedua orang tersebut yakni Presiden Joko Widodo (Jokowi) dengan nilai Rp58 miliar dan Wakil Presiden M Jusuf Kalla dengan nilai Rp40 miliar. Bagi Trimedya, Jokowi dan JK sebagai pemimpin negara memang harus memberikan contoh dan teladan bagi semua pihak.
"Contoh itu harus diikuti oleh semua eksekutif. Mulai dari menteri kabinet, pejabat eselon, sampai pejabat-pejabat di BUMN. Kalau semuanya seperti itu (melaporkan seperti Jokowi dan JK) mungkin bisa ratusan miliar. Apalagi BUMN-BUMN itu kan, karena banyak BUMN yang masuk kategori 'gemuk' kan," tandas Trimedya.
(kri)