Din Syamsuddin Hadiri Konferensi Pekabaran Injil 2018 di Berastagi
A
A
A
JAKARTA - Utusan Khusus Presiden RI untuk Dialog Antar Agama dan Peradaban (UKP-DKAAP), Din Syamsuddin menghadiri Konferensi Pekabaran Injil 2018 di Berastagi, Sumatera Utara. Konferensi yang berlangsung pada 29-31 Mei tersebut diselenggarakan oleh Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) bekerja sama dengan Persekutuan Gereja-gereja Pentakosta Indonesia (PGPI) Persekutuan Gereja-gereja dan Lembaga-lembaga Injili Indonesia (PGLII).
Di hadapan lebih dari 300 Pemuka Agama Kristen, Din Syamsuddin mengakui, seringkali umat Muslim tersinggung terhadap perkembangan Misi Kristen di Indonesia. Hal ini karena merasa umatnya digerus.
Ia menyebut, beberapa penelitian menunjukan bahwa annual growth rate Protestan meningkat, terutama di beberapa kantong Muslim seperti Yogyakarta dan Sumatera Barat.
“Data-data seperti ini mengentalkan berkembangnya isu kristenisasi, yang pada gilirannya turut mempengaruhi berkembangnya radikalisme Islam di Indonesia,” ujar Din, Jumat (1/6/2018).
Menurut Din, ekslusivisme, absolutisme, dan monopolistis adalah masalah pemuka agama di Indonesia saat ini. Terutama, ketika pemuka agama menjadikan masyarakat sebagai pasar bebas agama dengan dasar logika kebebasan dan hak azasi.
“Perlu dipahami bahwa misi kerasulan Muhammad SAW adalah menyebarkan rahmat bagi alam semesta. Lil ‘alamin artinya seuruh alam, jadi bukan lil muslimin, atau rahmat hanya untuk seluruh Muslim,” katanya.
Ia pun menuturkan, dalam Muyawarah Besar Pemuka Agama Untuk Kerukunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Kantor UKP-DKAAP di Jakarta pada Februari lalu, para pemuka agama telah membahas bersama dasar relasi hubungan antar agama. Telah disepakati, pondasi relasi tersebut harus bersandar pada persahabatan berdasarkan kemanusiaan sejati. Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa NKRI berdasarkan Pancasila adalah final.
“Takdir kita adalah hidup sebangsa di dalam kemajemukan. Untuk itu kita mengaku bahwa Bersama kita dari Tuhan, untuk Tuhan dan kemanusiaan. Di dalam Islam, ini yang dimaksudkan dengan rahmatan lil alamin. Hasil Mubes ini akan kita sosialisasikan ke wilayah-wilayah,” tutur Din.
Din menggarisbawahi, kerukunan yang diperjuangkan bukan saja berdasarkan kebutuhan bangsa, tetapi juga kebutuhan orang perorang, kelompok per kelompok. Dalam kaitan ini kerukunan tak boleh menghalangi misi dan dakwah. “Sebaliknya juga misi dan dakwah tak boleh mengganggu kerukunan,” tandasnya.
Ia pun menjelaskan bahwa pada dasarnya agama Islam, Kristen, dan Yahudi memiliki lebih banyak persamaan dibandingkan dengan perbedaan. Salah satu contohnya, antara Islam dan Kristen sama-sama menerima Yesus.
Bedanya hanya soal penyebutan gelar kepada Yesus. Islam menerimanya sebagai salah satu rasul yang agung, sementara Kristen mengakuinya sebagai Tuhan. Dalam Qurán penyebutan nama Isa Almasih lebih banyak ketimbang Muhammad.
“Selain itu, agama Islam dan Kristen sama-sama merupakan agama misioner. Kristen menyebutnya misi, sementara Islam menyebutnya dakwah,” tambah Din.
Lebih lanjut Din pun menjelaskan, misi maupun dakwah ada yang berhaluan keras, tetapi juga yang halus. Ada yang membangun pandangan dan tujuan untuk menambah jumlah umat, tetapi juga ada yang hanya mengajak ke jalan Allah.
“Jalan Allah dalam pengertian ini merujuk pada Kebaikan Bersama (Common Good). Di sini semua agama punya persepsi yang sama, sekalipun sebutannya berbeda. Jelas di sini bahwa dakwah itu bukan untuk mengajak orang masuk Islam, tetapi menuntun orang ke jalan yang benar,” tandasnya.
Di hadapan lebih dari 300 Pemuka Agama Kristen, Din Syamsuddin mengakui, seringkali umat Muslim tersinggung terhadap perkembangan Misi Kristen di Indonesia. Hal ini karena merasa umatnya digerus.
Ia menyebut, beberapa penelitian menunjukan bahwa annual growth rate Protestan meningkat, terutama di beberapa kantong Muslim seperti Yogyakarta dan Sumatera Barat.
“Data-data seperti ini mengentalkan berkembangnya isu kristenisasi, yang pada gilirannya turut mempengaruhi berkembangnya radikalisme Islam di Indonesia,” ujar Din, Jumat (1/6/2018).
Menurut Din, ekslusivisme, absolutisme, dan monopolistis adalah masalah pemuka agama di Indonesia saat ini. Terutama, ketika pemuka agama menjadikan masyarakat sebagai pasar bebas agama dengan dasar logika kebebasan dan hak azasi.
“Perlu dipahami bahwa misi kerasulan Muhammad SAW adalah menyebarkan rahmat bagi alam semesta. Lil ‘alamin artinya seuruh alam, jadi bukan lil muslimin, atau rahmat hanya untuk seluruh Muslim,” katanya.
Ia pun menuturkan, dalam Muyawarah Besar Pemuka Agama Untuk Kerukunan Bangsa yang diselenggarakan oleh Kantor UKP-DKAAP di Jakarta pada Februari lalu, para pemuka agama telah membahas bersama dasar relasi hubungan antar agama. Telah disepakati, pondasi relasi tersebut harus bersandar pada persahabatan berdasarkan kemanusiaan sejati. Dalam pertemuan itu juga disepakati bahwa NKRI berdasarkan Pancasila adalah final.
“Takdir kita adalah hidup sebangsa di dalam kemajemukan. Untuk itu kita mengaku bahwa Bersama kita dari Tuhan, untuk Tuhan dan kemanusiaan. Di dalam Islam, ini yang dimaksudkan dengan rahmatan lil alamin. Hasil Mubes ini akan kita sosialisasikan ke wilayah-wilayah,” tutur Din.
Din menggarisbawahi, kerukunan yang diperjuangkan bukan saja berdasarkan kebutuhan bangsa, tetapi juga kebutuhan orang perorang, kelompok per kelompok. Dalam kaitan ini kerukunan tak boleh menghalangi misi dan dakwah. “Sebaliknya juga misi dan dakwah tak boleh mengganggu kerukunan,” tandasnya.
Ia pun menjelaskan bahwa pada dasarnya agama Islam, Kristen, dan Yahudi memiliki lebih banyak persamaan dibandingkan dengan perbedaan. Salah satu contohnya, antara Islam dan Kristen sama-sama menerima Yesus.
Bedanya hanya soal penyebutan gelar kepada Yesus. Islam menerimanya sebagai salah satu rasul yang agung, sementara Kristen mengakuinya sebagai Tuhan. Dalam Qurán penyebutan nama Isa Almasih lebih banyak ketimbang Muhammad.
“Selain itu, agama Islam dan Kristen sama-sama merupakan agama misioner. Kristen menyebutnya misi, sementara Islam menyebutnya dakwah,” tambah Din.
Lebih lanjut Din pun menjelaskan, misi maupun dakwah ada yang berhaluan keras, tetapi juga yang halus. Ada yang membangun pandangan dan tujuan untuk menambah jumlah umat, tetapi juga ada yang hanya mengajak ke jalan Allah.
“Jalan Allah dalam pengertian ini merujuk pada Kebaikan Bersama (Common Good). Di sini semua agama punya persepsi yang sama, sekalipun sebutannya berbeda. Jelas di sini bahwa dakwah itu bukan untuk mengajak orang masuk Islam, tetapi menuntun orang ke jalan yang benar,” tandasnya.
(kri)