Sekali Lagi Tentang Data Pangan
A
A
A
Erizal Jamal
Profesor Riset Kementerian Pertanian
GONJANG-ganjing tentang akurasi data pangan kembali menjadi trending topik berbagai media, termasuk media sosial, dalam beberapa hari terakhir ini. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan seminar “Ketersediaan Pangan, Swasembada vs Impor” oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Senin 21 Mei 2018. Tidak kurang dari Ketua DPR Bambang Soesatyo menyoroti kondisi ini, dan meminta semua pemangku kepentingan untuk menuntaskan masalah data (Koran SINDO, 22 Mei 2018).
Bila dirunut ke belakang, katakanlah sejak 30 tahun terakhir, perdebatan tentang data terkait pangan, utamanya beras, berputar-putar pada isu yang sama, yaitu tudingan bahwa data yang dirilis pemerintah tidak akurat.
Yang tidak rasional, walau data itu dirilis lembaga resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), tetap dianggap tidak valid, karena dalam proses pengumpulan datanya melibatkan kementerian teknis terkait, dalam hal ini Kementerian Pertanian.
Padahal keterlibatan kementerian teknis ini sejalan dengan amanat undang-undang. Ayat 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik menyatakan, “Statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai lingkup tugas dan fungsinya, secara mandiri atau bersama dengan Badan.
Data dan Program
Pertanyaannya sekarang, karena adanya persoalan kepercayaan terhadap data ini, lalu apakah pelaksanaan berbagai program terkait dengan beras kita tunda dulu sampai datanya benar? Sementara pada sisi lain, pemerintah berkewajiban untuk mengamankan ketersediaan bahan pangan utama di mana beras termasuk di dalamnya.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam berbagai pemberitaan paham dengan situasi ini. Sebagai pimpinan institusi yang diberi amanat menggerakkan pembangunan pertanian, dalam jangka pendek pilihan kebijakan yang ada sangat terbatas, terutama yang terkait dengan upaya memacu peningkatan produksi. Untuk beras misalnya, pilihan yang tersedia mengerucut pada upaya peningkatan indeks pertanaman dan produktivitas, perluasan areal tanam pada lahan potensial, di samping upaya pencetakan areal sawah baru.
Karena itu Upaya Khusus (UPSUS) yang berpengaruh langsung pada peningkatan produktivitas, indeks pertanaman dan perluasan areal tanam menjadi prioritas utama untuk memacu peningkatan produksi beras. Perbaikan irigasi, yang pada periode pemerintahan sebelumnya terabaikan, menjadi gerakan pertama yang dilakukan, bersamaan dengan upaya memacu produktivitas tenaga kerja di perdesaan dan mengantisipasi berkurangnya tenaga kerja pertanian, melalui gerakan bantuan alat dan mesin pertanian secara masif.
Untuk menyiasati masalah akurasi data, Kementerian Pertanian melakukan pemetaan permintaan dan penyediaan beberapa bahan pangan utama. Untuk beras misalnya, kalkulasinya secara rerata dibutuhkan sekitar 2,5-2,6 juta ton beras setiap bulannya, sementara produksi telah terpola sejak lama dalam kelompok musim tanam rendeng (Oktober-Maret) dan gadu (April-September) di mana pada kedua musim ini luas areal tanam bervariasi.
Untuk mengamankan ketersediaan beras di atas, dan dengan melihat produktivitas padi yang sudah mendekati rata-rata hampir 6 ton per hektare, maka untuk setiap bulannya harus bisa panen di areal satu juta hektar lahan sawah.
Produksi gabah 5-6 juta ton per bulan bila dikonversi menjadi beras bisa mencapai 3 juta ton. Melalui pendekatan semacam ini, kebutuhan beras dalam negeri bisa diamankan. Kebutuhan untuk menjaga stok dan cadangan dapat diambil dari produksi selama musim tanam rendeng, di mana pada musim tanam ini luas areal tanam sudah dapat dipastikan lebih dari sejuta hektare dalam sebulannya.
Berdasarkan hitung-hitungan di atas, agar dapat panen 1 juta hektare setiap bulannya, di seluruh wilayah Indonesia harus juga terlaksana penanaman padi minimal 1 juta hektare setiap bulannya. Pertanyaan lanjutannya adalah, lalu siapa yang bisa menggerakkan petani agar dapat mewujudkan hal itu? Di tengah menguatnya semangat desentralisasi dan otonomi daerah, upaya membuat gerakan terpusat, semacam BIMAS di masa lalu, merupakan tantangan tersendiri saat ini.
Untuk itu dukungan beragam pihak, termasuk Tentara Nasional Indonesia dan akademisi, merupakan pilihan yang memang harus diambil untuk mendukung terselenggaranya gerakan UPSUS yang terkoordinasi dari pusat. Seluruh sumber daya terbaik di Kementerian Pertanian ditugasi mendampingi petani agar kegiatan budi daya dapat terus berkelanjutan.
Untuk mendukung berbagai upaya yang ada, alokasi anggaran yang bersentuhan langsung dengan kepentingan petani terus ditingkatkan. Upaya membuat efisiensi dan efektivitas anggaran yang ada dilakukan pada semua lini. Porsi anggaran yang langsung bersentuhan dengan kepentingan petani melebihi 80% dari total anggaran yang ada.
Pencapaian Faktual
Hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan Kementerian Pertanian bersama mitra mulai menampakkan hasilnya. Dinamika pembangunan pertanian selama tiga tahun terakhir ini sangat terasa, sampai di pelosok daerah di Indonesia.
Kerja bersama di lapangan dengan petani secara berangsur telah mengembalikan marwah petani dalam posisi yang terhormat. Kegiatan di sawah dan ladang terasa makin bergairah karena produksi petani dihargai secara layak.
Ujung dari semua itu, produksi aneka tanaman menunjukkan kecenderungan peningkatan dari waktu ke waktu. Bila banyak pihak menyangsikan data produksi yang ada, maka adalah sangat naif bila tidak mengakui kecenderungan peningkatan produksi yang terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan secara rutin oleh Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian bersama BPS, selama tahun 2015-2017 periode Oktober-September, luas areal tanam padi secara rerata seluas 15,3 juta hektare, setiap tahunnya.
Bila dibandingkan dengan luas areal tanam pada tahun 2013 dan 2014, jumlah ini meningkat rata-rata 12,47% per tahun. Upaya memacu luas areal tanam, utamanya dilakukan selama musim Gadu (April-September).
Selama tahun 2012-2014, secara rerata luas tanam pada musim gadu sekitar 933.000-945.000 hektare per bulan. Melalui UPSUS padi, luas tanam pada rentang waktu yang sama tahun 2015-2017 dapat ditingkatkan di atas 1 juta hektare menjadi rata-rata 1,1 juta hektare per bulan.
Secara lebih khusus, bulan Juli-September, adalah masa paling rawan karena ancaman kekeringan di banyak lokasi. Pada 2012-2014, rerata luas tanam pada bulan Juli sampai September berkisar 500.000-650.000 hektare. Selama 2015-2017, pada selang waktu ini dapat ditingkatkan rata-rata luas tanam menjadi 876.000 hektare per bulan dengan peningkatan sekitar 43% dari tahun-tahun sebelumnya.
Upaya untuk memacu peningkatan luas tanam dilakukan di semua provinsi, terutama pada wilayah yang potensial untuk terjadinya peningkatan luas tanam. Selama tiga tahun terakhir terjadi peningkatan luas tanam padi di 27 provinsi.
Penurunan luas tanam terjadi di wilayah yang memang selama ini terjadi persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan untuk berbagai penggunaan, seperti di Propinsi Riau yang bersaing dengan pengembangan kelapa sawit, Kepulauan Riau, DKI Jaya; Bali dan Kalimantan Timur yang lahan sawahnya terus terancam karena derasnya pengembangan kegiatan industri, perumahan serta infrastruktur.
Apakah kondisi ini akan berlanjut? Semua tergantung pada kita semua. Bila kecenderungan yang positif ini tidak kita dukung, malahan kita terhambat dengan berbagai cara, baik secara sadar ataupun tidak sadar, maka sulit berharap keberlanjutannya ke arah yang makin positif.
Data, karena memang ada masalah dalam akurasinya, dapat saja tidak kita percayai atau dijadikan kambing hitam untuk menafikan kerja keras yang telah dilakukan banyak pihak selama ini. Namun suara petani adalah suara rakyat kecil, suara golongan yang terpinggirkan selama ini, waktu yang akan membuktikan kebe-naran hasil kerja keras mereka selama ini.
Profesor Riset Kementerian Pertanian
GONJANG-ganjing tentang akurasi data pangan kembali menjadi trending topik berbagai media, termasuk media sosial, dalam beberapa hari terakhir ini. Hal ini terkait dengan penyelenggaraan seminar “Ketersediaan Pangan, Swasembada vs Impor” oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Senin 21 Mei 2018. Tidak kurang dari Ketua DPR Bambang Soesatyo menyoroti kondisi ini, dan meminta semua pemangku kepentingan untuk menuntaskan masalah data (Koran SINDO, 22 Mei 2018).
Bila dirunut ke belakang, katakanlah sejak 30 tahun terakhir, perdebatan tentang data terkait pangan, utamanya beras, berputar-putar pada isu yang sama, yaitu tudingan bahwa data yang dirilis pemerintah tidak akurat.
Yang tidak rasional, walau data itu dirilis lembaga resmi seperti Badan Pusat Statistik (BPS), tetap dianggap tidak valid, karena dalam proses pengumpulan datanya melibatkan kementerian teknis terkait, dalam hal ini Kementerian Pertanian.
Padahal keterlibatan kementerian teknis ini sejalan dengan amanat undang-undang. Ayat 1 Pasal 12 Undang-Undang Nomor 16 tahun 1997 tentang Statistik menyatakan, “Statistik sektoral diselenggarakan oleh instansi pemerintah sesuai lingkup tugas dan fungsinya, secara mandiri atau bersama dengan Badan.
Data dan Program
Pertanyaannya sekarang, karena adanya persoalan kepercayaan terhadap data ini, lalu apakah pelaksanaan berbagai program terkait dengan beras kita tunda dulu sampai datanya benar? Sementara pada sisi lain, pemerintah berkewajiban untuk mengamankan ketersediaan bahan pangan utama di mana beras termasuk di dalamnya.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman dalam berbagai pemberitaan paham dengan situasi ini. Sebagai pimpinan institusi yang diberi amanat menggerakkan pembangunan pertanian, dalam jangka pendek pilihan kebijakan yang ada sangat terbatas, terutama yang terkait dengan upaya memacu peningkatan produksi. Untuk beras misalnya, pilihan yang tersedia mengerucut pada upaya peningkatan indeks pertanaman dan produktivitas, perluasan areal tanam pada lahan potensial, di samping upaya pencetakan areal sawah baru.
Karena itu Upaya Khusus (UPSUS) yang berpengaruh langsung pada peningkatan produktivitas, indeks pertanaman dan perluasan areal tanam menjadi prioritas utama untuk memacu peningkatan produksi beras. Perbaikan irigasi, yang pada periode pemerintahan sebelumnya terabaikan, menjadi gerakan pertama yang dilakukan, bersamaan dengan upaya memacu produktivitas tenaga kerja di perdesaan dan mengantisipasi berkurangnya tenaga kerja pertanian, melalui gerakan bantuan alat dan mesin pertanian secara masif.
Untuk menyiasati masalah akurasi data, Kementerian Pertanian melakukan pemetaan permintaan dan penyediaan beberapa bahan pangan utama. Untuk beras misalnya, kalkulasinya secara rerata dibutuhkan sekitar 2,5-2,6 juta ton beras setiap bulannya, sementara produksi telah terpola sejak lama dalam kelompok musim tanam rendeng (Oktober-Maret) dan gadu (April-September) di mana pada kedua musim ini luas areal tanam bervariasi.
Untuk mengamankan ketersediaan beras di atas, dan dengan melihat produktivitas padi yang sudah mendekati rata-rata hampir 6 ton per hektare, maka untuk setiap bulannya harus bisa panen di areal satu juta hektar lahan sawah.
Produksi gabah 5-6 juta ton per bulan bila dikonversi menjadi beras bisa mencapai 3 juta ton. Melalui pendekatan semacam ini, kebutuhan beras dalam negeri bisa diamankan. Kebutuhan untuk menjaga stok dan cadangan dapat diambil dari produksi selama musim tanam rendeng, di mana pada musim tanam ini luas areal tanam sudah dapat dipastikan lebih dari sejuta hektare dalam sebulannya.
Berdasarkan hitung-hitungan di atas, agar dapat panen 1 juta hektare setiap bulannya, di seluruh wilayah Indonesia harus juga terlaksana penanaman padi minimal 1 juta hektare setiap bulannya. Pertanyaan lanjutannya adalah, lalu siapa yang bisa menggerakkan petani agar dapat mewujudkan hal itu? Di tengah menguatnya semangat desentralisasi dan otonomi daerah, upaya membuat gerakan terpusat, semacam BIMAS di masa lalu, merupakan tantangan tersendiri saat ini.
Untuk itu dukungan beragam pihak, termasuk Tentara Nasional Indonesia dan akademisi, merupakan pilihan yang memang harus diambil untuk mendukung terselenggaranya gerakan UPSUS yang terkoordinasi dari pusat. Seluruh sumber daya terbaik di Kementerian Pertanian ditugasi mendampingi petani agar kegiatan budi daya dapat terus berkelanjutan.
Untuk mendukung berbagai upaya yang ada, alokasi anggaran yang bersentuhan langsung dengan kepentingan petani terus ditingkatkan. Upaya membuat efisiensi dan efektivitas anggaran yang ada dilakukan pada semua lini. Porsi anggaran yang langsung bersentuhan dengan kepentingan petani melebihi 80% dari total anggaran yang ada.
Pencapaian Faktual
Hasil dari berbagai upaya yang telah dilakukan Kementerian Pertanian bersama mitra mulai menampakkan hasilnya. Dinamika pembangunan pertanian selama tiga tahun terakhir ini sangat terasa, sampai di pelosok daerah di Indonesia.
Kerja bersama di lapangan dengan petani secara berangsur telah mengembalikan marwah petani dalam posisi yang terhormat. Kegiatan di sawah dan ladang terasa makin bergairah karena produksi petani dihargai secara layak.
Ujung dari semua itu, produksi aneka tanaman menunjukkan kecenderungan peningkatan dari waktu ke waktu. Bila banyak pihak menyangsikan data produksi yang ada, maka adalah sangat naif bila tidak mengakui kecenderungan peningkatan produksi yang terjadi dalam tiga tahun terakhir.
Berdasarkan pendataan yang dilakukan secara rutin oleh Kementerian Pertanian, Dinas Pertanian bersama BPS, selama tahun 2015-2017 periode Oktober-September, luas areal tanam padi secara rerata seluas 15,3 juta hektare, setiap tahunnya.
Bila dibandingkan dengan luas areal tanam pada tahun 2013 dan 2014, jumlah ini meningkat rata-rata 12,47% per tahun. Upaya memacu luas areal tanam, utamanya dilakukan selama musim Gadu (April-September).
Selama tahun 2012-2014, secara rerata luas tanam pada musim gadu sekitar 933.000-945.000 hektare per bulan. Melalui UPSUS padi, luas tanam pada rentang waktu yang sama tahun 2015-2017 dapat ditingkatkan di atas 1 juta hektare menjadi rata-rata 1,1 juta hektare per bulan.
Secara lebih khusus, bulan Juli-September, adalah masa paling rawan karena ancaman kekeringan di banyak lokasi. Pada 2012-2014, rerata luas tanam pada bulan Juli sampai September berkisar 500.000-650.000 hektare. Selama 2015-2017, pada selang waktu ini dapat ditingkatkan rata-rata luas tanam menjadi 876.000 hektare per bulan dengan peningkatan sekitar 43% dari tahun-tahun sebelumnya.
Upaya untuk memacu peningkatan luas tanam dilakukan di semua provinsi, terutama pada wilayah yang potensial untuk terjadinya peningkatan luas tanam. Selama tiga tahun terakhir terjadi peningkatan luas tanam padi di 27 provinsi.
Penurunan luas tanam terjadi di wilayah yang memang selama ini terjadi persaingan yang ketat dalam pemanfaatan lahan untuk berbagai penggunaan, seperti di Propinsi Riau yang bersaing dengan pengembangan kelapa sawit, Kepulauan Riau, DKI Jaya; Bali dan Kalimantan Timur yang lahan sawahnya terus terancam karena derasnya pengembangan kegiatan industri, perumahan serta infrastruktur.
Apakah kondisi ini akan berlanjut? Semua tergantung pada kita semua. Bila kecenderungan yang positif ini tidak kita dukung, malahan kita terhambat dengan berbagai cara, baik secara sadar ataupun tidak sadar, maka sulit berharap keberlanjutannya ke arah yang makin positif.
Data, karena memang ada masalah dalam akurasinya, dapat saja tidak kita percayai atau dijadikan kambing hitam untuk menafikan kerja keras yang telah dilakukan banyak pihak selama ini. Namun suara petani adalah suara rakyat kecil, suara golongan yang terpinggirkan selama ini, waktu yang akan membuktikan kebe-naran hasil kerja keras mereka selama ini.
(sms)