BNPT Harus Perkuat Program Deradikalisasi

Minggu, 27 Mei 2018 - 11:00 WIB
BNPT Harus Perkuat Program Deradikalisasi
BNPT Harus Perkuat Program Deradikalisasi
A A A
JAKARTA - Pascapengesahan Revisi Undang- Undang Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme menjadi UU Antiterorisme, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menjadi leading sector dari upaya pemberantasan terorisme. Namun, selama ini BNPT dinilai masih lemah khususnya dalam program deradikalisasi dan kontraradikalisasi. Padahal, pemberantasan terorisme di Indonesia saat ini dilakukan melalui dua cara, yakni hard approach atau pendekatan hukum serta soft approach berupa program kontraradikalisasi dan dera dikalisasi yang dilakukan oleh BNPT.

"Akar masalah terorisme bisa ditanggulangi dengan deradikalisasi terhadap orang yang sudah terpapar paham radikal," kata Peneliti Lembaga Kajian Terorisme dan Konflik Sosial Universitas Indonesia (UI) Solahudin dalam diskusi Polemik MNC Trijaya FM yang bertajuk “Pemberantasan Terorisme: Legislasi, Tindakan Polisi, dan Deradikalisasi" di Jakarta, Sabtu (26/5/2018).

Untuk hard approach, lanjut dia, kinerja Polri patut diapresiasi lantaran semua kasus terorisme di Indonesia berhasil diungkap. Kasus yang tidak bisa diungkap hanya kasus bom ITC Depok, Jawa Barat. Hampir semua pelaku terorisme bisa ditangkap dan diproses di pengadilan.

Solahudin menambahkan, dalam UU Antiterorisme yang baru ini mengedepankan penegakan hukum yang elegan karena tetap mengedepankan prinsip hak asasi manusia (HAM), di mana jika tidak cukup bukti, terduga bisa dibebaskan. "Tetapi, deradikalisasi juga penting dan kita perlu membantu BNPT yang masih lemah. Program deradikalisasi yang dilakukan BNPT hampir semua kepada orang yang sudah tidak radikal, mereka sudah meninggalkan kekerasan," ujarnya.

Menurut Solahudin, BNPT sangat kurang melakukan deradikalisasi kepada narapidana (napi) yang nonkooperatif atau mereka yang tidak mau dilakukan pembinaan dan tidak mau mengajukan pembebasan bersyarat dengan bersumpah setia kepada NKRI dan menjadi justice collaborator. Tidak ada satu pun program deradikalisasi ke napi yang nonkooperatif atau mantan napi nonkooperatif beserta keluarganya.

"Seharusnya fokus BNPT ditujukan ke napi dan keluarga napi yang nonkooperatif. Suka atau tidak suka (BNPT) akan menghadapi mereka yang radikal. Mayoritas tersangka dan terpidana adalah orang yang terafiliasi dengan ISIS. Mereka adalah orang yang nonkooperatif," sarannya.

Hal senada diungkapkan Ketua Setara Institute Hendardi yang mengatakan bahwa deradikalisasi merupakan salah satu isu yang diperkuat dalam RUU Antiterorisme yang baru. Selain mengatur tentang bagaimana dan objek deradikalisasi, kelembagaan BNPT juga diperkuat sebagai leading sector penanganan terorisme dari hulu ke hilir. "Meski demikian, seperti kritik banyak pihak, deradikalisasi yang dilakukan BNPT masih dianggap belum optimal," kata Hendardi.

Untuk itu, lanjut Hendardi, perlu ada penguatan dan pelibatan banyak pihak untuk memastikan kerja deradikalisasi diperbaiki. "Deradikalisasi dijalankan bukan hanya kepada mereka yang sudah menjadi subjek penegakan hukum, tapi juga masyarakat yang sudah terpapar radikalisme," ucapnya.

Intoleransi Hulu Terorisme
Hendardi juga mengingatkan bahwa hulu dari terorisme adalah intoleransi. Meski demikian, intoleransi tidak bisa ditangani dengan pendekatan yang telah dijalankan oleh Polri dan BNPT selama ini dalam proses deradikalisasi. Intoleransi adalah lingkungan yang kondusif dan sehat bagi inkubasi aktor-aktor baru teroris. "Karena itu persoalan intoleransi harus dipandang sama seriusnya dengan memandang dan mengatasi persoalan terorisme," tegasnya.

Selain itu, Hendardi menambahkan, UU Antiterorisme ini bukan satu-satunya obat mujarab bagi terorisme Tetapi harus diakui bahwa UU baru ini memperluas aparat penegak hukum dan keamanan untuk bisa melakukan upaya pencegahan tindak terorisme. Upaya pencegahan diharapkan bisa efektif dijalankan karena UU ini menjadi payung hukum atas tindakan pretrial detention kepada seseorang yang disebut terduga teroris. Di mana istilah ini tidak dikenal dalam hukum acara pidana, sehingga akan menjadi tantangan baru bagi aparat.

"Bagaimana aparat kepolisian memastikan seluruh tindakan pencegahan yang dilakukan benar-benar presisi dan dapat dipertanggungjawabkan," ujarnya.

Sementara itu, mantan Kepala BNPT Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai mengatakan, yang perlu dipahami adalah bahwa terorisme dan radikalisme tidak bisa ditarik batasan yang tegas karena keduanya saling berkaitan. Dalam UU Antiterorisme yang baru, radikalisme dan provokator bisa dibendung karena mereka adalah korban penyesatan pikiran dengan kedok ajaran agama.

"Pascabom Surabaya, anak-anak Densus 88 sudah berhasil menangkap delapan orang amir JAD (Jamaah Ansharut Daulah) yang kiblatnya ke ISIS dan memprovokasi ke masyarakat dengan ajaran agama, padahal bertentangan dengan ajaran agama," ungkapnya.

Karena itu, para ulama harus bangkit bekerja sama dengan pemerintah melawan ini. "Jadi ini ancaman yang harus kita habisi bersama dengan operasi gabungan dengan menggandeng Kemenag, ormas besar seperti NU, Muhammadiyah, ormas-ormas lainnya, para dai-dai dengan koordinatornya BNPT. Selain itu, BNPT bisa merekrut masyarakat dan difasilitasi oleh negara guna membackup Polri dan TNI," katanya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5446 seconds (0.1#10.140)