Reformasi Semu Malaysia
A
A
A
Algooth Putranto
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya
KUNJUNGAN calon pemimpin masa depan Malaysia, Anwar Ibrahim, ke Jakarta pekan ini, tak lama setelah kembalinya Mahathir Muhammad ke singgasana perdana menteri, tentu merupakan hal menarik karena memberikan harapan besar perbaikan hubungan dua negara.
Sekadar mengingatkan, lima tahun lalu pemimpin kelompok oposisi Pakatan Rakyat Malaysia tersebut berkunjung ke Jakarta. Tak hanya sekali, bahkan dua kali pada tahun itu. Pada Juni 2013, pascapemilu, Anwar datang ke Indonesia karena konon diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selain bertemu Presiden SBY, Anwar Ibrahim juga bertemu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat itu. Dalam kunjungan itu dia juga melakukan konferensi pers terkait kekalahannya dalam pemilu. Salah satu janjinya saat itu jika nanti menjadi pemimpin Malaysia adalah memperbaiki hubungan dengan Indonesia.
Kemudian pada November, Anwar Ibrahim kembali ke Jakarta untuk menjadi pembicara tentang demokrasi di Universitas Indonesia. Dalam kunjungan itu dia bertemu sejumlah tokoh dan tak lupa menyampaikan pujiannya terhadap kinerja penanganan korupsi di Indonesia.
Dua kali kunjungan membuat Indonesia menjadi pilihan utama bagi anak Anwar Ibrahim untuk meminta dukungan bagi sang ayah yang dipenjara. Pada April 2015, Nurul Iman dan Nurul Izzah, anak-anak Anwar Ibrahim menggalang petisi gerakan March2Freedom sebagai dukungan pembebasan bagi sang ayah.
Pada sisi lain, kehadiran Anwar Ibrahim ke Indonesia setelah mendapatkan pengampunan penuh dari Raja Malaysia Sultan Muhammad V yang memungkinkan Anwar bisa sepenuhnya berpartisipasi dalam politik hanya menegaskan reformasi yang terjadi di Malaysia saat ini masihlah semu.
Saya menyebut semu karena sejatinya reformasi yang kini disebut terjadi di Malaysia tidak digerakkan oleh rakyat seperti di Indonesia. Sebaliknya, nampak jelas, pergantian kekuasaan terjadi akibat konflik elite tradisional dan elite sipil. Mengapa? Saya akan berpaling ketika bisik-bisik perihal reformasi di Malaysia telah kencang terjadi pada 2008. Saat itu ketidakpuasan elite tradisional Malaysia terhadap elite formal (perdana menteri) mulai memuncak.
Kondisi di Malaysia berbeda dengan latar belakang Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII mendukung gerakan reformasi 1998 yang memang digerakkan masyarakat madani. Dukungan moral dilakukan terhadap aspirasi rakyat yang gerah dengan kondisi politik elite di Jakarta.
Sebaliknya, dalam kasus Malaysia, pada 2008, perlawanan monarki justru secara langsung dilakukan terhadap Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi. Dua sultan yakni Sultan Perlis dan Sultan Terengganu ditambah pemimpin negara bagian Perak dan Selangor.
Saat itu baik Sultan Perlis maupun Terengganu menolak menteri-menteri kepala yang diangkat oleh pemerintah Badawi untuk negara mereka. Dua sultan tersebut menuntut untuk melakukan pemilihan menteri sendiri.
Sementara penguasa Perak menentang permintaan untuk membubarkan majelis negara, sedangkan penguasa negara bagian Selangor yang paling makmur terlibat dalam konflik jangka panjang dengan pemerintah karena menunjuk seorang menteri utama baru.
De-mahathir-isasi
Konflik antara kekuasaan monarki dan pemerintah Ahmad Badawi atau biasa disapa dengan Pak Lah sejatinya mulai meletup sejak 2004. Badawi yang menggantikan Mahathir melakukan proses yang disebut de-Mahathir-isasi. Mulai dari mengubah tim kepemimpinan, meninggalkan proyek-proyek Mahathir, mencoba liberalisasi politik, melonggarkan hubungan simbiosis antara pemerintah dan partai, terutama UMNO, menggeser persinggungan ekonomi politik Malaysia, gerakan madani Islam dan memoderasi wacana yang bermuatan etnis.
Bagi publik Malaysia yang modern, visi Badawi adalah hal menarik. Sebaliknya, bagi kalangan konservatif pendukung Mahathir, Badawi mengganggu kemapanan yang telah ada. Protes bahkan dilancarkan pada 2006 oleh kelompok yang kangen terhadap Mahathir.
Kembali tentang perlawanan kaum ningrat pada 2008, dua sultan dan penguasa negara bagian secara terbuka menentang kebijakan Badawi. Hal ini bukan hal remeh karena secara konstitusi sultan dan pemimpin negara bagian memiliki kekuatan yang teramat vital terhadap sistem pemerintahan Malaysia yang bercorak federasi.
Mungkin tidak banyak di antara kita yang sadar Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem pergiliran kekuasaan di mana jabatan Raja Malaysia atau Yang di-Pertuan Agong dijabat secara giliran setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah Negeri Melayu.
Kekuasaan mutlak Yang di-Pertuan Agong berlaku dalam pemilihan perdana menteri, pembekuan parlemen, dan pertemuan Majelis Raja-Raja. Sesuai sistem Westminster, Yang di-Pertuan Agong akan memilih salah seorang perdana menteri untuk mewakili suara Dewan Rakyat (Parlemen) ke raja.
Bila perdana menteri melakukan pembekuan parlemen, Yang di-Pertuan Agong dapat menolaknya karena termasuk dalam kekuasaan mutlak Yang di-Pertuan Agong. Uniknya, sejarah mencatat pada 1983 Mahathir mengajukan proposal untuk mempreteli pengaruh monarki terhadap pemerintah.
Kembali tentang terpilihnya Najib Razak sebagai perdana menteri pada Pemilu 2013 sebetulnya hanya menegaskan persaingan antarfaksi di tubuh UMNO yakni faksi Mahathir, faksi T Razali, faksi Najib Tun Razak, dan faksi Badawi. Kebijakan Najib Rajak yang sejatinya sebelas dua belas dengan Ahmad Badawi ditambah warisan model pemerintahan tangan besi Mahathir membuat politik di Malaysia justru semakin sengit. Repotnya Najib Razak justru terlibat megakorupsi lembaga investasi 1 Malaysia Development Berhad atau 1MDB.
Siapa yang membuat Razak terjungkal? Bukan lembaga pemerintah yang sudah pasti di bawah kendali perdana menteri, namun lagi-lagi para sultan. Jika Badawi dilawan dua sultan, PM Najib Razak tak bisa main-main. Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya, pada 2015, sembilan sultan sepakat agar dilakukan investigasi terhadap kasus korupsi 1MDB termasuk soal ada duit sejumlah USD700 juta di akun pribadi Perdana Menteri. Hasilnya bisa ditebak.
Suara penguasa tradisional bertemu kepentingan masyarakat, reformasi pun terjadi. Beruntung tidak seperti Indonesia yang rusuh pada 1998, pemilu dipilih menjadi alat reformasi di Malaysia. Sayang, pemimpin yang muncul, Mahathir, adalah stok lawas.
Kini saya hanya bisa menunggu kapan Anwar Ibrahim berkuasa menghadirkan demokrasi yang sebenarnya bagi Malaysia dan memastikan janji memperbaiki hubungan dengan Indonesia yang benci sekaligus butuh.
Pengajar Ilmu Komunikasi Universitas Atma Jaya
KUNJUNGAN calon pemimpin masa depan Malaysia, Anwar Ibrahim, ke Jakarta pekan ini, tak lama setelah kembalinya Mahathir Muhammad ke singgasana perdana menteri, tentu merupakan hal menarik karena memberikan harapan besar perbaikan hubungan dua negara.
Sekadar mengingatkan, lima tahun lalu pemimpin kelompok oposisi Pakatan Rakyat Malaysia tersebut berkunjung ke Jakarta. Tak hanya sekali, bahkan dua kali pada tahun itu. Pada Juni 2013, pascapemilu, Anwar datang ke Indonesia karena konon diundang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Selain bertemu Presiden SBY, Anwar Ibrahim juga bertemu mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) saat itu. Dalam kunjungan itu dia juga melakukan konferensi pers terkait kekalahannya dalam pemilu. Salah satu janjinya saat itu jika nanti menjadi pemimpin Malaysia adalah memperbaiki hubungan dengan Indonesia.
Kemudian pada November, Anwar Ibrahim kembali ke Jakarta untuk menjadi pembicara tentang demokrasi di Universitas Indonesia. Dalam kunjungan itu dia bertemu sejumlah tokoh dan tak lupa menyampaikan pujiannya terhadap kinerja penanganan korupsi di Indonesia.
Dua kali kunjungan membuat Indonesia menjadi pilihan utama bagi anak Anwar Ibrahim untuk meminta dukungan bagi sang ayah yang dipenjara. Pada April 2015, Nurul Iman dan Nurul Izzah, anak-anak Anwar Ibrahim menggalang petisi gerakan March2Freedom sebagai dukungan pembebasan bagi sang ayah.
Pada sisi lain, kehadiran Anwar Ibrahim ke Indonesia setelah mendapatkan pengampunan penuh dari Raja Malaysia Sultan Muhammad V yang memungkinkan Anwar bisa sepenuhnya berpartisipasi dalam politik hanya menegaskan reformasi yang terjadi di Malaysia saat ini masihlah semu.
Saya menyebut semu karena sejatinya reformasi yang kini disebut terjadi di Malaysia tidak digerakkan oleh rakyat seperti di Indonesia. Sebaliknya, nampak jelas, pergantian kekuasaan terjadi akibat konflik elite tradisional dan elite sipil. Mengapa? Saya akan berpaling ketika bisik-bisik perihal reformasi di Malaysia telah kencang terjadi pada 2008. Saat itu ketidakpuasan elite tradisional Malaysia terhadap elite formal (perdana menteri) mulai memuncak.
Kondisi di Malaysia berbeda dengan latar belakang Sultan Hamengku Buwono X dan KGPAA Paku Alam VIII mendukung gerakan reformasi 1998 yang memang digerakkan masyarakat madani. Dukungan moral dilakukan terhadap aspirasi rakyat yang gerah dengan kondisi politik elite di Jakarta.
Sebaliknya, dalam kasus Malaysia, pada 2008, perlawanan monarki justru secara langsung dilakukan terhadap Perdana Menteri Abdullah Ahmad Badawi. Dua sultan yakni Sultan Perlis dan Sultan Terengganu ditambah pemimpin negara bagian Perak dan Selangor.
Saat itu baik Sultan Perlis maupun Terengganu menolak menteri-menteri kepala yang diangkat oleh pemerintah Badawi untuk negara mereka. Dua sultan tersebut menuntut untuk melakukan pemilihan menteri sendiri.
Sementara penguasa Perak menentang permintaan untuk membubarkan majelis negara, sedangkan penguasa negara bagian Selangor yang paling makmur terlibat dalam konflik jangka panjang dengan pemerintah karena menunjuk seorang menteri utama baru.
De-mahathir-isasi
Konflik antara kekuasaan monarki dan pemerintah Ahmad Badawi atau biasa disapa dengan Pak Lah sejatinya mulai meletup sejak 2004. Badawi yang menggantikan Mahathir melakukan proses yang disebut de-Mahathir-isasi. Mulai dari mengubah tim kepemimpinan, meninggalkan proyek-proyek Mahathir, mencoba liberalisasi politik, melonggarkan hubungan simbiosis antara pemerintah dan partai, terutama UMNO, menggeser persinggungan ekonomi politik Malaysia, gerakan madani Islam dan memoderasi wacana yang bermuatan etnis.
Bagi publik Malaysia yang modern, visi Badawi adalah hal menarik. Sebaliknya, bagi kalangan konservatif pendukung Mahathir, Badawi mengganggu kemapanan yang telah ada. Protes bahkan dilancarkan pada 2006 oleh kelompok yang kangen terhadap Mahathir.
Kembali tentang perlawanan kaum ningrat pada 2008, dua sultan dan penguasa negara bagian secara terbuka menentang kebijakan Badawi. Hal ini bukan hal remeh karena secara konstitusi sultan dan pemimpin negara bagian memiliki kekuatan yang teramat vital terhadap sistem pemerintahan Malaysia yang bercorak federasi.
Mungkin tidak banyak di antara kita yang sadar Malaysia merupakan salah satu kerajaan yang menganut sistem pergiliran kekuasaan di mana jabatan Raja Malaysia atau Yang di-Pertuan Agong dijabat secara giliran setiap lima tahun antara sembilan Pemerintah Negeri Melayu.
Kekuasaan mutlak Yang di-Pertuan Agong berlaku dalam pemilihan perdana menteri, pembekuan parlemen, dan pertemuan Majelis Raja-Raja. Sesuai sistem Westminster, Yang di-Pertuan Agong akan memilih salah seorang perdana menteri untuk mewakili suara Dewan Rakyat (Parlemen) ke raja.
Bila perdana menteri melakukan pembekuan parlemen, Yang di-Pertuan Agong dapat menolaknya karena termasuk dalam kekuasaan mutlak Yang di-Pertuan Agong. Uniknya, sejarah mencatat pada 1983 Mahathir mengajukan proposal untuk mempreteli pengaruh monarki terhadap pemerintah.
Kembali tentang terpilihnya Najib Razak sebagai perdana menteri pada Pemilu 2013 sebetulnya hanya menegaskan persaingan antarfaksi di tubuh UMNO yakni faksi Mahathir, faksi T Razali, faksi Najib Tun Razak, dan faksi Badawi. Kebijakan Najib Rajak yang sejatinya sebelas dua belas dengan Ahmad Badawi ditambah warisan model pemerintahan tangan besi Mahathir membuat politik di Malaysia justru semakin sengit. Repotnya Najib Razak justru terlibat megakorupsi lembaga investasi 1 Malaysia Development Berhad atau 1MDB.
Siapa yang membuat Razak terjungkal? Bukan lembaga pemerintah yang sudah pasti di bawah kendali perdana menteri, namun lagi-lagi para sultan. Jika Badawi dilawan dua sultan, PM Najib Razak tak bisa main-main. Sejarah mencatat, untuk pertama kalinya, pada 2015, sembilan sultan sepakat agar dilakukan investigasi terhadap kasus korupsi 1MDB termasuk soal ada duit sejumlah USD700 juta di akun pribadi Perdana Menteri. Hasilnya bisa ditebak.
Suara penguasa tradisional bertemu kepentingan masyarakat, reformasi pun terjadi. Beruntung tidak seperti Indonesia yang rusuh pada 1998, pemilu dipilih menjadi alat reformasi di Malaysia. Sayang, pemimpin yang muncul, Mahathir, adalah stok lawas.
Kini saya hanya bisa menunggu kapan Anwar Ibrahim berkuasa menghadirkan demokrasi yang sebenarnya bagi Malaysia dan memastikan janji memperbaiki hubungan dengan Indonesia yang benci sekaligus butuh.
(pur)