Memaknai Kebangkitan Nasional
A
A
A
PADA 20 Mei 1908, anak muda negeri ini mendirikan organisasi Budi Utomo. Organisasi ini menandai bangkitnya kesadaran nasional pemuda bangsa untuk melakukan perlawanan dan memperjuangkan kemerdekaannya. Puncak perjuangan anak muda negeri ini adalah diproklamasikannya kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945.
Kini 110 tahun peristiwa heroik dan bersejarah tersebut berlalu. Seperti halnya di era Budi Utomo, bangsa Indonesia hari ini masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Jika pada zaman pergerakan sasaran perjuangan adalah membebaskan bangsa dari belenggu penjajah, hari ini tantangan yang dihadapi sebagai bangsa jauh lebih kompleks. Bangsa ini memasuki kompetisi antarbangsa di era globalisasi yang menuntut berbagai kesiapan, terutama penguasaan teknologi. Apalagi dunia sedang memasuki revolusi industri 4.0. Era ini ditandai dengan berkembangnya kecerdasan buatan, penerapan teknologi nano di berbagai bidang, dan rekayasa genetis.
Penerapan ketiga bentuk teknologi akan mengubah hidup dan kehidupan karena peran manusia pelan tapi pasti mulai tergantikan oleh komputer yang terhubung dengan mesin produksi. Ini era yang tidak mampu terelakkan dan menuntut kesiapan kita, terutama generasi muda, untuk terlibat dan berperan di dalamnya. Tak pelak pendidikan menjadi kunci untuk menyiapkan sumber daya manusia kita dalam menghadapi era ini. Tantangan pendidikan hari ini bukan lagi sekadar bangkit dari kebodohan dan ketertinggalan, melainkan harus mampu menyiapkan generasi yang adaptif dengan perubahan dunia yang berlari begitu cepat.
Isu yang juga jadi perbincangan dalam beberapa tahun terakhir adalah disrupsi. Ini sebuah era di mana perubahan adalah keniscayaan. Tidak berubah berarti tergilas dan punah. Dampak disrupsi paling banyak dirasakan institusi bisnis. Tidak butuh waktu lama puluhan perusahaan besar yang mapan harus tumbang akibat muncul pesaing baru yang sebelumnya tak pernah terprediksi. Contoh sederhana era disrupsi adalah makin mudahnya kita dalam berbelanja dalam memenuhi kebutuhan. Toko online kini hadir di gawai dan untuk mendapatkan barang yang diinginkan cukup dengan mengetukkan jari di layar smartphone. Untuk bepergian pun kita akan diantar-jemput oleh kendaraan umum berbasis online . Dokter hingga tukang urut pun bisa dengan mudah dipanggil datang ke rumah hanya melalui aplikasi. Semua kemudahan tersebut ada di ujung jari tangan.
Kemudahan ini tentu membawa konsekuensi logis, yakni matinya bisnis konvensional akibat teknologi digital. Itu juga berarti hilangnya lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Lalu bagaimana mengatur perubahan ini agar tidak merugikan salah satu pihak? Belum lagi faktanya bisnis e-commerce ini ternyata masih didominasi asing. Produk impor masih menguasai pangsa pasar perdagangan online dalam negeri, yakni sekitar 60%. Dengan kata lain kita saat ini hanya sebatas pasar untuk produk-produk negara lain.
Lagi-lagi ini tantangan yang harus dijawab bangsa kita hari ini. Bangsa ini harus bangkit mengejar ketertinggalan, tidak keasyikan menjadi konsumen melainkan harus melahirkan lebih banyak perusahaan rintisan (startup ) yang bisa menghasilkan produk unggulan. Kita sudah memiliki empat perusahaan rintisan lokal yang masuk kategori unicorn, yakni Traveloka, Go-Jek, Tokopedia, dan Bukalapak. Ke depan kebangkitan bangsa ini antara lain bisa ditandai dengan makin banyaknya perusahaan sejenis yang mampu berkiprah di persaingan global.
Bersaing di kompetisi global yang begitu ketat tentu tidak mudah. Apalagi tantangan bukan hanya datang dari negara pesaing, melainkan dari dalam negeri sendiri. Iklim politik turut menentukan cepat atau lambat bangsa ini mampu berlari di tengah arus perubahan. Fakta yang ada, tak jarang energi dihabiskan untuk ihwal yang tidak produktif. Sesama anak bangsa bertengkar karena perbedaan pilihan politik.
Demokrasi dijalani masih sebatas prosedural yang antara lain ditandai dengan pemilu setiap lima tahun sekali. Pemimpin yang terpilih datang silih berganti. Namun substansi demokrasi seperti kesiapan menerima perbedaan, kemampuan mengakui kemenangan lawan justru absen di sana. Demokrasi kita pun begitu riuh, bahkan tak jarang gaduh.
Dalam situasi seperti ini, kemajuan sulit dicapai. Bangsa ini mendambakan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Saat ini jalan terang menuju arah itu belum jelas terlihat. Namun optimisme harus tetap dikedepankan. Setitik cahaya terlihat di depan, meski samar. Untuk mencapai era gemilang yang diimpikan, bangsa ini harus terus bangkit. Kerja keras dan kerja sama seluruh komponen bangsa adalah kuncinya.
Kini 110 tahun peristiwa heroik dan bersejarah tersebut berlalu. Seperti halnya di era Budi Utomo, bangsa Indonesia hari ini masih dihadapkan pada sejumlah tantangan. Jika pada zaman pergerakan sasaran perjuangan adalah membebaskan bangsa dari belenggu penjajah, hari ini tantangan yang dihadapi sebagai bangsa jauh lebih kompleks. Bangsa ini memasuki kompetisi antarbangsa di era globalisasi yang menuntut berbagai kesiapan, terutama penguasaan teknologi. Apalagi dunia sedang memasuki revolusi industri 4.0. Era ini ditandai dengan berkembangnya kecerdasan buatan, penerapan teknologi nano di berbagai bidang, dan rekayasa genetis.
Penerapan ketiga bentuk teknologi akan mengubah hidup dan kehidupan karena peran manusia pelan tapi pasti mulai tergantikan oleh komputer yang terhubung dengan mesin produksi. Ini era yang tidak mampu terelakkan dan menuntut kesiapan kita, terutama generasi muda, untuk terlibat dan berperan di dalamnya. Tak pelak pendidikan menjadi kunci untuk menyiapkan sumber daya manusia kita dalam menghadapi era ini. Tantangan pendidikan hari ini bukan lagi sekadar bangkit dari kebodohan dan ketertinggalan, melainkan harus mampu menyiapkan generasi yang adaptif dengan perubahan dunia yang berlari begitu cepat.
Isu yang juga jadi perbincangan dalam beberapa tahun terakhir adalah disrupsi. Ini sebuah era di mana perubahan adalah keniscayaan. Tidak berubah berarti tergilas dan punah. Dampak disrupsi paling banyak dirasakan institusi bisnis. Tidak butuh waktu lama puluhan perusahaan besar yang mapan harus tumbang akibat muncul pesaing baru yang sebelumnya tak pernah terprediksi. Contoh sederhana era disrupsi adalah makin mudahnya kita dalam berbelanja dalam memenuhi kebutuhan. Toko online kini hadir di gawai dan untuk mendapatkan barang yang diinginkan cukup dengan mengetukkan jari di layar smartphone. Untuk bepergian pun kita akan diantar-jemput oleh kendaraan umum berbasis online . Dokter hingga tukang urut pun bisa dengan mudah dipanggil datang ke rumah hanya melalui aplikasi. Semua kemudahan tersebut ada di ujung jari tangan.
Kemudahan ini tentu membawa konsekuensi logis, yakni matinya bisnis konvensional akibat teknologi digital. Itu juga berarti hilangnya lapangan pekerjaan bagi banyak orang. Lalu bagaimana mengatur perubahan ini agar tidak merugikan salah satu pihak? Belum lagi faktanya bisnis e-commerce ini ternyata masih didominasi asing. Produk impor masih menguasai pangsa pasar perdagangan online dalam negeri, yakni sekitar 60%. Dengan kata lain kita saat ini hanya sebatas pasar untuk produk-produk negara lain.
Lagi-lagi ini tantangan yang harus dijawab bangsa kita hari ini. Bangsa ini harus bangkit mengejar ketertinggalan, tidak keasyikan menjadi konsumen melainkan harus melahirkan lebih banyak perusahaan rintisan (startup ) yang bisa menghasilkan produk unggulan. Kita sudah memiliki empat perusahaan rintisan lokal yang masuk kategori unicorn, yakni Traveloka, Go-Jek, Tokopedia, dan Bukalapak. Ke depan kebangkitan bangsa ini antara lain bisa ditandai dengan makin banyaknya perusahaan sejenis yang mampu berkiprah di persaingan global.
Bersaing di kompetisi global yang begitu ketat tentu tidak mudah. Apalagi tantangan bukan hanya datang dari negara pesaing, melainkan dari dalam negeri sendiri. Iklim politik turut menentukan cepat atau lambat bangsa ini mampu berlari di tengah arus perubahan. Fakta yang ada, tak jarang energi dihabiskan untuk ihwal yang tidak produktif. Sesama anak bangsa bertengkar karena perbedaan pilihan politik.
Demokrasi dijalani masih sebatas prosedural yang antara lain ditandai dengan pemilu setiap lima tahun sekali. Pemimpin yang terpilih datang silih berganti. Namun substansi demokrasi seperti kesiapan menerima perbedaan, kemampuan mengakui kemenangan lawan justru absen di sana. Demokrasi kita pun begitu riuh, bahkan tak jarang gaduh.
Dalam situasi seperti ini, kemajuan sulit dicapai. Bangsa ini mendambakan kemajuan dan kesejahteraan rakyatnya. Saat ini jalan terang menuju arah itu belum jelas terlihat. Namun optimisme harus tetap dikedepankan. Setitik cahaya terlihat di depan, meski samar. Untuk mencapai era gemilang yang diimpikan, bangsa ini harus terus bangkit. Kerja keras dan kerja sama seluruh komponen bangsa adalah kuncinya.
(pur)