Ramadhan dan Jihad Melawan Teror

Jum'at, 18 Mei 2018 - 09:01 WIB
Ramadhan dan Jihad Melawan...
Ramadhan dan Jihad Melawan Teror
A A A
Muhbib Abdul Wahab
Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah dan UMJ

UMAT Islam kembali memasuki bulan suci Ramadhan. Se­pekan men­jelang Ramadhan, publik Tanah Air dikejutkan dengan adanya aksi teror beruntun: teror Mako Brimob Depok, ledakan bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya, di Sidoarjo, dan di Mapolrestabes Surabaya.

Aksi biadab ini setidaknya mereng­gut nyawa 25 orang, baik dari pelaku maupun polisi dan masyarakat di lokasi kejadian. Keamanan dan kenyamanan warga menjadi terusik dan di­liputi kabut pekat rasa ke­takut­an, padahal dalam beribadah Ramadan sangat diperlukan kedamaian, ketenangan, dan kekhusyukan.

Mengapa aksi keji yang tidak berperikemanusiaan itu terjadi lagi? Mengapa kejahatan ke­manusiaan itu menghantui dan menakuti warga masyarakat dan bangsa menjelang bulan suci Ramadhan? Bagaimana kita semua bersatu padu berjihad melawan aksi teror dan teror­isme hingga ke akar-akarnya sekaligus mengungkap motif, siapa dalang dan aktor intelek­tual di balik semua perbuatan terkutuk itu?

Kita semua tentu mengutuk dan prihatin dengan aksi teror yang telah merenggut banyak korban jiwa manusia tidak ber­dosa. Kutukan demi kutukan tentu tidaklah cukup karena hanya merupakan ekspresi ke­geraman kita atas aksi keke­ras­an yang merusak sendi-sendi kemanusiaan, kebangsa­an, dan peradaban.

Kita perlu berpikir cerdas dan bertindak strategis dengan melibatkan segenap komponen bangsa: ulama, to­koh agama, tokoh masya­rakat, pendidik, aparat penegak hu­kum, rakyat sipil, dalam men­cegah aksi serupa dan berjihad melawan teror, terorisme, dan ideologi radikal.

Jihad kontraterorisme merupakan sebuah keharusan di tengah ancaman teror yang mengerikan dan berpotensi “mengadu domba” di antara warga bangsa yang plural dan multikultural ini. Bagi umat Islam, jihad melawan teror dan terorisme merupakan pang­gil­an iman seperti jihad melawan penjajah dan penjajahan. Karena teror dan terorisme itu musuh bersama sekaligus mu­suh semua agama.

Akar Ideologi Radikal
Ideologi radikal dan aksi kekerasan dengan teror tidak identik dan tidak boleh diatas­namakan agama tertentu. Karena agama apa pun tidak ada yang mengajarkan teror dan terorisme. Semua agama meng­ajarkan kasih sayang dan per­damaian abadi.

Jika kemudian se­bagian kecil pemeluk agama itu berideo­logi radikal, ber­halu­an keras, dan me­ngobarkan sema­ngat “masuk surga” melalui amaliyah istisyhadiyyah (peledakan bom bu­nuh diri untuk me­­raih mati syahid), dapat dipastikan bah­wa pema­haman semacam itu salah besar. Pe­mahaman keliru dan sesat ini boleh jadi dise­bab­kan cuci otak dan indoktrinasi yang me­nyesatkan dengan janji “angin surga”.

Munculnya ideologi radikal sungguh kompleks. Di satu segi penganut ideologi ini boleh jadi mengalami semacam keke­cewa­a­n dan keputusasaan berat terhadap sistem sosial politik yang ada. Pada saat yang sama, doktrin bahwa negara ini me­makai sistem thaghut (kafir) membuat mereka me­rasa ber­ada dalam situasi yang meng­haruskan hijrah dari “negeri kafir” (dar al-kufri) me­nuju ne­geri Islam (dar al-Islam). Spirit untuk berhijrah dan mengganti sistem peme­rin­tahan dengan negeri “impian” mereka inilah yang menjadi salah satu akar ideologi radikal yang memosisi­kan mereka harus terus ber­juang dan berperang melawan sistem thaghut.

Mereka memandang ne­gara Pancasila dan sistem pe­merin­tah­an yang ada sebagai target untuk diperangi. Doktrin jihad yang luas, luwes, dan multidi­mensi itu kemu­dian direduksi menjadi seka­dar qital (berpe­rang). Dan qital yang mereka dam­bakan ada­lah perang instan dan cepat untuk meng­antarkan mereka masuk surga, tak peduli de­ngan meledakkan diri dan membunuh banyak orang tidak berdosa.

Jadi salah satu akar ideologi terorisme adalah indoktrinasi dan reduksi ajar­an agama yang menyim­pang, diperkuat dengan janji men­jadi syahid yang kompen­sasi­nya adalah masuk surga dari­pada hidup di dunia men­derita dan sengsara karena ber­bagai persoalan sosial.

Melurus­kan Makna Jihad
Konsep jihad sering kali dimaknai hanya sebagai bentuk perlawanan, tin­dak­an konfron­tatif atau perang suci, pada­hal misi profetik Nabi SAW adalah pem­bumi­an aga­ma per­damai­an dan kasih sayang, bukan ke­kerasan, penin­das­an, teror­­isme, dan perang (QS Al-Anbiya [21]: 107)

Secara seman­tik, jihad dapat di­maknai sebagai upaya menge­rah­kan segala ke­mam­­puan de­ngan penuh ke­sung­guh­an da­lam rang­ka meng­ha­dapi dan meng­atasi ke­sulitan, kesukar­an, dan tantangan ke­hidup­an. Al-Ashfahany (w. 502) me­maknai jihad sebagai “menge­rah­kan daya upaya untuk me­nangkis serangan dan meng­hadapi musuh yang tidak tam­pak seperti hawa nafsu dan setan dan musuh yang tampak seperti orang kafir dan musyrik.

Oleh karena itu, menurut Ibn al-Qayyim, jihad melawan diri sendiri (jihad an-nafs) itu merupakan jihad terbesar dan terberat bila dibandingkan de­ngan jihad melawan setan, orang-orang kafir, musyrik, dan orang munafik.

Sebab musuh yang dihadapi adalah diri sen­diri yang tidak kasatmata, se­dang­kan jihad melawan musuh-mu­suh Islam itu dapat dilihat de­ngan jelas. Pada saat yang sama, dalam diri manusia terdapat jiwa kebinatangan yang cenderung memengaruhinya untuk memperturutkan hawa nafsunya.

Jika jiwa kemanusiaan (al-nafs al-insaniyyah) itu tidak mam­pu mengatasi jiwa ke­binatang­an­nya, hidup manusia akan selalu dijajah oleh hawa nafsunya. Yang paling ber­bahaya adalah orang yang men­jadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. “Tahukah engkau orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhan­nya? Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?” (QS al-Furqan [25]: 43). Jika hawa nafsu dipertuhankan, yang bersangkutan itu tidak lebih dari budak nafsu.

Allah mensyariatkan puasa Ramadhan antara lain agar mus­lim selalu waspada dan ber­sikap hati-hati terhadap musuh yang ada dalam diri sendiri. Karena itu Nabi SAW pernah menyatakan bahwa “puasa itu perisai” (HR Muslim). Dengan demikian perisai paling kuat adalah jihad melawan musuh dalam diri sendiri dan godaan setan.

Jihad melawan hawa nafsu angkara murka dalam bentuk menahan diri untuk tidak me­neror dan bertindak kekerasan idealnya diaktualisasi sehingga umat Islam tidak terjebak da­lam rutinitas puasa tanpa mak­na.

Karena itu jihad melawan teror dan terorisme harus men­jadi komitmen dan agenda para shaimin dengan mengem­bang­kan sikap toleran, menerima perbedaan, menghargai dan berempati terhadap nilai-nilai kemanusiaan dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT dan kepada sesama.

Aktualisasi jihad melawan teror dan terorisme diwujud­kan dengan menunjukkan sikap harmoni, damai, terbuka, dialogis, dan bertindak penuh kearifan serta menjauhkan diri dari penjajahan hawa nafsu yang menyesatkan dengan aksi teror.

Melalui puasa lahir batin atau puasa holistis, umat Islam dapat meraih tujuan puasa, ya­itu menjadi orang yang ber­takwa secara autentik (QS Al-Baqarah [2]:183): takut kepada azab Allah jika membunuh manusia tak berdosa, takut tidak masuk surga jika merusak tatanan kehidupan dengan ke­kerasan, dan takut tidak mem­peroleh rahmat dan ampun­an­nya karena tidak meneladani sifat dan nama baik Allah (Al-Asma’ al-Husna): Maha Pengasih, Maha Penyayang, Maha Damai dan Pemberi ke­selamatan.

Puasa fisikal (tidak makan, tidak minum, tidak ber­hubung­an suami-istri) harus di­trans­for­masi menjadi puasa liberatif-transformatif (yang mem­bebas­kan dan bervisi per­ubah­an positif) dari “penjara hawa nafsu” menuju muslim yang sukses memuasakan panca­indera, lisan, hati, dan pikir­an­nya sehingga menjadi lulusan pendidikan Ramadhan yang berkarakter takwa dengan me­nebarkan ajar­an kasih sayang, cinta damai, dan antikekerasan dan terorisme.

Jihad sejati me­lalui pendidikan Ramadhan su­dah semestinya menjadi salah satu solusi untuk mewujudkan kehidupan damai, rukun, toleran, dan saling meng­hargai perbedaan, sekaligus meme­rangi teror dan terorisme yang memang bertentangan dengan nilai-nilai ketuhanan, ke­ma­nusiaan, dan persatuan ke­bangsaan.
(sms)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6382 seconds (0.1#10.140)