Puasa dan Solidaritas Kebangsaan
A
A
A
Jutaan umat Islam se-Tanah Air mulai menjalankan puasa Ramadan pada hari ini. Melalui ibadah puasa Ramadan umat muslim akan menjalani proses menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu pada siang hari.
Ibadah yang menguji keimanan dan ketakwaan setiap individu muslim ini akan dijalani selama 29 atau 30 hari hingga tiba saatnya nanti kemenangan disongsong pada Hari Raya Idul Fitri. Umat Islam mengawali Ramadan tahun ini dalam sua sana duka yang mendalam. Betapa tidak, terjadi rentetan serangan teroris yang menimbulkan korban jiwa hingga puluhan dalam kurun waktu kurang dari dua pekan. Diawali oleh kerusuhan napi di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat pada 8-10 Mei yang me ne waskan lima anggota Polri dan seorang napi terorisme. Di susul serangan pada Minggu, 13 Mei dengan menyasar tiga gereja di Surabaya, lalu ledakan di Sidoarjo pada malam harinya, dan dilanjutkan dengan serangan di Markas Polrestabes Surabaya pada keesokan harinya.
Puluhan nyawa melayang pada insiden berdarah nan memilukan ini. Lebih memiriskan hati, pelaku teror gereja di Surabaya rela mengorbankan anak-anak yang tak mengerti apa-apa untuk melakukan pengeboman bunuh diri. Tak berhenti di situ, kemarin (16/5) teroris yang mengendarai mobil menyerang Mapolda Riau. Empat pelaku teror dan seorang anggota polisi tewas dalam kejadian ini. Pertanyaan yang mengemuka adalah sampai kapan suasana mencekam akibat teror ini akan berakhir? Sampai kapan sesama anak bangsa saling bunuh karena perbedaan ideologi? Tak secuil pun alasan yang bisa membenarkan perbuatan biadab pelaku teror.
Menghilangkan nyawa orang lain, apalagi mereka yang tak berdosa, adalah perbuatan yang dikutuk oleh semua agama. Teror dan terorisme musuh bersama sekaligus musuh semua agama. Namun, kendati bangsa ini tengah dalam suasana duka, semangat harus tetap dikobarkan. Teroris jangan pernah sedikit pun membuat rasa takut. Bangsa ini harus terus bangkit dan bersama-sama melakukan perlawanan sampai akhirnya terorisme tersebut bisa ditanggulangi dan dibasmi hingga ke akar-akarnya. Kembali ke puasa Ramadan, rangkaian ibadah ritual yang dijalankan sebulan penuh sejatinya tidak hanya membentuk dimensi kesalehan individual seorang muslim. Puasa tersebut juga membentuk pribadi seorang muslim untuk memiliki kesalehan sosial.
Perihal kesalehan sosial ini, hal tersebut bisa dilihat pada bangkitnya semangat berbagi kepada sesama selama Ramadan, baik itu melalui zakat, infak, maupun sedekah oleh orang-orang yang berpuasa. Melalui puasa pula umat Islam melatih kesabaran, menajamkan empati, dan membangun solidaritas terhadap sesamanya. Proses ini akan mencapai puncaknya pada perayaan Idul Fitri di mana umat Islam akan menunjukkan persatuannya dalam sebuah spirit kemenangan seusai menjalani ujian.
Berkaitan dengan itu, mencermati situasi kebangsaan kita hari ini yang didera duka akibat terorisme, diperlukan kebersamaan untuk kembali bangkit. Maka itu, sangat penting menginternalisasikan spirit dan nilai-nilai puasa Ramadan kepada setiap individu. Tujuannya adalah bagaimana menyatukan apa yang selama ini terserak, menjahit yang terkoyak, mengikat yang tercerai, dan merekatkan yang retak. Selama ini sudah terlampau banyak energi yang terbuang hanya untuk menajamkan perbedaan. Ujaran kebencian dan hoaks diproduksi massal melalui media sosial demi menjatuhkan kubu lawan atau siapapun pihak yang dianggap berseberangan.
Melalui momentum Ramadan ini, perilaku kontraproduktif tersebut sudah seharusnya diakhiri. Perlu kesadaran semua elemen bangsa untuk bersatu melawan musuh bersama yang nyata di depan mata saat ini: terorisme!
Ibadah yang menguji keimanan dan ketakwaan setiap individu muslim ini akan dijalani selama 29 atau 30 hari hingga tiba saatnya nanti kemenangan disongsong pada Hari Raya Idul Fitri. Umat Islam mengawali Ramadan tahun ini dalam sua sana duka yang mendalam. Betapa tidak, terjadi rentetan serangan teroris yang menimbulkan korban jiwa hingga puluhan dalam kurun waktu kurang dari dua pekan. Diawali oleh kerusuhan napi di Rutan Cabang Salemba di Mako Brimob, Depok, Jawa Barat pada 8-10 Mei yang me ne waskan lima anggota Polri dan seorang napi terorisme. Di susul serangan pada Minggu, 13 Mei dengan menyasar tiga gereja di Surabaya, lalu ledakan di Sidoarjo pada malam harinya, dan dilanjutkan dengan serangan di Markas Polrestabes Surabaya pada keesokan harinya.
Puluhan nyawa melayang pada insiden berdarah nan memilukan ini. Lebih memiriskan hati, pelaku teror gereja di Surabaya rela mengorbankan anak-anak yang tak mengerti apa-apa untuk melakukan pengeboman bunuh diri. Tak berhenti di situ, kemarin (16/5) teroris yang mengendarai mobil menyerang Mapolda Riau. Empat pelaku teror dan seorang anggota polisi tewas dalam kejadian ini. Pertanyaan yang mengemuka adalah sampai kapan suasana mencekam akibat teror ini akan berakhir? Sampai kapan sesama anak bangsa saling bunuh karena perbedaan ideologi? Tak secuil pun alasan yang bisa membenarkan perbuatan biadab pelaku teror.
Menghilangkan nyawa orang lain, apalagi mereka yang tak berdosa, adalah perbuatan yang dikutuk oleh semua agama. Teror dan terorisme musuh bersama sekaligus musuh semua agama. Namun, kendati bangsa ini tengah dalam suasana duka, semangat harus tetap dikobarkan. Teroris jangan pernah sedikit pun membuat rasa takut. Bangsa ini harus terus bangkit dan bersama-sama melakukan perlawanan sampai akhirnya terorisme tersebut bisa ditanggulangi dan dibasmi hingga ke akar-akarnya. Kembali ke puasa Ramadan, rangkaian ibadah ritual yang dijalankan sebulan penuh sejatinya tidak hanya membentuk dimensi kesalehan individual seorang muslim. Puasa tersebut juga membentuk pribadi seorang muslim untuk memiliki kesalehan sosial.
Perihal kesalehan sosial ini, hal tersebut bisa dilihat pada bangkitnya semangat berbagi kepada sesama selama Ramadan, baik itu melalui zakat, infak, maupun sedekah oleh orang-orang yang berpuasa. Melalui puasa pula umat Islam melatih kesabaran, menajamkan empati, dan membangun solidaritas terhadap sesamanya. Proses ini akan mencapai puncaknya pada perayaan Idul Fitri di mana umat Islam akan menunjukkan persatuannya dalam sebuah spirit kemenangan seusai menjalani ujian.
Berkaitan dengan itu, mencermati situasi kebangsaan kita hari ini yang didera duka akibat terorisme, diperlukan kebersamaan untuk kembali bangkit. Maka itu, sangat penting menginternalisasikan spirit dan nilai-nilai puasa Ramadan kepada setiap individu. Tujuannya adalah bagaimana menyatukan apa yang selama ini terserak, menjahit yang terkoyak, mengikat yang tercerai, dan merekatkan yang retak. Selama ini sudah terlampau banyak energi yang terbuang hanya untuk menajamkan perbedaan. Ujaran kebencian dan hoaks diproduksi massal melalui media sosial demi menjatuhkan kubu lawan atau siapapun pihak yang dianggap berseberangan.
Melalui momentum Ramadan ini, perilaku kontraproduktif tersebut sudah seharusnya diakhiri. Perlu kesadaran semua elemen bangsa untuk bersatu melawan musuh bersama yang nyata di depan mata saat ini: terorisme!
(zik)