Kemenangan Mahathir Hangatkan Politik Indonesia
A
A
A
JAKARTA - Kemenangan oposisi koalisi Pakatan Harapan (PH) yang menumbangkan Koalisi Barisan Nasional (BN) dalam Pilihan Raya Umum (PRU) atau Pemilu Malaysia 2018 dimaknai berbeda oleh elite partai politik (parpol) di Tanah Air.
Bagi elite parpol di luar pendukung pemerintah, kemenangan Pakatan Harapan yang dipimpin Mahathir Mohamad menjadi sinyal kemenangan oposisi dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Sebaliknya bagi elite parpol pendukung pemerintah, kemenangan Pakatan Harapan menjadi bukti kemenangan politik akal sehat.
Ketua DPP Partai Gerindra Moh Nizar Zahro menilai ada kemiripan suasana kebatinan Malaysia dan Indonesia atas kepercayaan masyarakat kepada pemerintahnya. Menurutnya saat ini sebagian masyarakat Indonesia tidak lagi percaya kepada pemerintah, sama seperti yang dialami masyarakat Malaysia sebelum di laksanakannya PRU.
“Situasi politik di Malaysia mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Mayoritas rakyat sudah tidak percaya dengan pemerintahannya. Karena kehilangan kepercayaan rakyat itulah yang menjadikan Najib Razak tumbang di tangan Mahathir. Najib dianggap sudah tidak prorakyat. Kebijakannya banyak yang tidak menguntungkan rakyat,” katanya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Ketua Umum PP Satria Gerindra itu mengatakan Presiden Jokowi saat ini mulai kehilangan kepercayaan rakyat lantaran banyak kebijakannya yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Hal itu tampak dari kian masifnya kritik rakyat Indonesia baik di dunia nyata maupun lewat media sosial (medsos). “Misalnya kebijakan soal pencabutan subsidi BBM, menumpuk utang, impor beras, impor garam, dan kebijakan lain,” ujar anggota Komisi X DPR itu.
Kondisi demikian, lanjut Nizar, menjadi sinyal positif bagi kemenangan Prabowo Subianto di pilpres nanti. “Oleh karena itu bisa diprediksi Jokowi akan tumbang pada 2019 dan Pak Prabowo akan naik menjadi presiden,” ujarnya.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengungkapkan, kemenangan Pakatan Harapan tidak terlepas dari bersatunya parpol-parpol oposisi dalam satu konfederasi.
Mereka bersatu dalam bendera dan isu yang sama sehingga mampu menyuarakan perubahan secara masif. Peluang terbentuknya konfederasi ini juga terbuka dalam dinamika menjelang Pilpres 2019 di Tanah Air.
“Konfederasi teorinya seperti sapu lidi yang disatukan hingga dapat membawa gelombang besar ketimbang jalan sendiri-sendiri,” papar Mardani dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Pria yang mengaku lima tahun terlibat dalam pergerakan sejumlah partai di Malaysia tersebut menyatakan peluang konfederasi bisa diadopsi oleh partai Islam atau partai yang muncul setelah reformasi di Tanah Air.
“Bagi Gerindra, PKS, PAN, dan PBB, wacana ini sangat layak dilakukan karena ada banyak kesamaan dalam langkah perjuangannya,” ujar dia. Karena itu dia meyakini, sebagai oposisi, kecerdasan menggunakan cara dan sarana baru menjadi sebuah keharusan.
Tagar #2019GantiPresiden diakui atau tidak membawa keseimbangan pertarungan antara petahana dengan oposisi. Bahkan banyak pengamat mengatakan tagar ini menjadi trend setter dan pendukung Jokowi malah terjebak menjadi follower .
“Karena itu kemenangan Tun Dr Mahathir mengalahkan petahana dapat menjadi salah satu pelajaran bagi semua relawan Gerakan #2109GantiPresiden. So, letís work as smart and as ikhlas as possible . Insyaallah kita bisa lakukan #2019GantiPresiden,” tandasnya.
Sementara itu Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai kemenangan Pakatan Harapan yang dipimpin Mahathir Mohamad menjadi bukti kemenangan politik akal sehat.
Warga Malaysia telah berani menujukan suaranya dengan memilih partai-partai politik yang tidak terlibat dalam korupsi dan upaya menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan.
“Kepada kelompok-kelompok tertentu yang masih menggunakan berita palsu, ujaran kebencian, fitnah, dan politik menghalalkan segala cara demi kekuasaan, semoga tersadarkan bahwa politik kotor tidak pernah mendapat tempat di hati rakyat,” ujarnya.
Hasto mengatakan, kemenangan Mahathir disebabkan koalisi petahana BN yang telah berkuasa di Malaysia selama 60 tahun terbukti memainkan politik SARA. Hal ini menurut Hasto bisa menjadi pelajaran dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
“Ada beberapa komponen dari pihak yang diduga kuat terkait dengan incumbent yang mencoba memainkan politik SARA di Ma laysia. Namun kedewasaan pemilih di Malaysia membuktikan bahwa narasi politik pemecah belah atas dasar suku, agama, dan antargolongan itu tidak laku di Malaysia,” kata dia.
“Hal ini bisa menjadi pelajaran di Tanah Air bahwa mereka yang menggunakan politik adu domba dan mengam pa nye kan ujaran kebencian, yang sering mengarah pada radikalisme, tidak mendapat tempat di bumi Pancasila ini,” imbuh Hasto.
Diberitakan, koalisi oposisi Pakatan Harapan pimpinan Mahathir Mohamad menang secara mengejutkan dalam pemilu ke-14 yang digelar Rabu (9/5). Mahathir yang kini berusia 92 tahun berhasil mengalahkan koalisi BN yang kini berkuasa dan dipimpin Perdana Menteri Najib Razak. (Kiswondari)
Bagi elite parpol di luar pendukung pemerintah, kemenangan Pakatan Harapan yang dipimpin Mahathir Mohamad menjadi sinyal kemenangan oposisi dalam Pemilu Presiden (Pilpres) 2019. Sebaliknya bagi elite parpol pendukung pemerintah, kemenangan Pakatan Harapan menjadi bukti kemenangan politik akal sehat.
Ketua DPP Partai Gerindra Moh Nizar Zahro menilai ada kemiripan suasana kebatinan Malaysia dan Indonesia atas kepercayaan masyarakat kepada pemerintahnya. Menurutnya saat ini sebagian masyarakat Indonesia tidak lagi percaya kepada pemerintah, sama seperti yang dialami masyarakat Malaysia sebelum di laksanakannya PRU.
“Situasi politik di Malaysia mirip dengan yang terjadi di Indonesia. Mayoritas rakyat sudah tidak percaya dengan pemerintahannya. Karena kehilangan kepercayaan rakyat itulah yang menjadikan Najib Razak tumbang di tangan Mahathir. Najib dianggap sudah tidak prorakyat. Kebijakannya banyak yang tidak menguntungkan rakyat,” katanya saat dihubungi KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Ketua Umum PP Satria Gerindra itu mengatakan Presiden Jokowi saat ini mulai kehilangan kepercayaan rakyat lantaran banyak kebijakannya yang dianggap menyengsarakan rakyat.
Hal itu tampak dari kian masifnya kritik rakyat Indonesia baik di dunia nyata maupun lewat media sosial (medsos). “Misalnya kebijakan soal pencabutan subsidi BBM, menumpuk utang, impor beras, impor garam, dan kebijakan lain,” ujar anggota Komisi X DPR itu.
Kondisi demikian, lanjut Nizar, menjadi sinyal positif bagi kemenangan Prabowo Subianto di pilpres nanti. “Oleh karena itu bisa diprediksi Jokowi akan tumbang pada 2019 dan Pak Prabowo akan naik menjadi presiden,” ujarnya.
Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera mengungkapkan, kemenangan Pakatan Harapan tidak terlepas dari bersatunya parpol-parpol oposisi dalam satu konfederasi.
Mereka bersatu dalam bendera dan isu yang sama sehingga mampu menyuarakan perubahan secara masif. Peluang terbentuknya konfederasi ini juga terbuka dalam dinamika menjelang Pilpres 2019 di Tanah Air.
“Konfederasi teorinya seperti sapu lidi yang disatukan hingga dapat membawa gelombang besar ketimbang jalan sendiri-sendiri,” papar Mardani dalam siaran pers yang diterima KORAN SINDO di Jakarta kemarin.
Pria yang mengaku lima tahun terlibat dalam pergerakan sejumlah partai di Malaysia tersebut menyatakan peluang konfederasi bisa diadopsi oleh partai Islam atau partai yang muncul setelah reformasi di Tanah Air.
“Bagi Gerindra, PKS, PAN, dan PBB, wacana ini sangat layak dilakukan karena ada banyak kesamaan dalam langkah perjuangannya,” ujar dia. Karena itu dia meyakini, sebagai oposisi, kecerdasan menggunakan cara dan sarana baru menjadi sebuah keharusan.
Tagar #2019GantiPresiden diakui atau tidak membawa keseimbangan pertarungan antara petahana dengan oposisi. Bahkan banyak pengamat mengatakan tagar ini menjadi trend setter dan pendukung Jokowi malah terjebak menjadi follower .
“Karena itu kemenangan Tun Dr Mahathir mengalahkan petahana dapat menjadi salah satu pelajaran bagi semua relawan Gerakan #2109GantiPresiden. So, letís work as smart and as ikhlas as possible . Insyaallah kita bisa lakukan #2019GantiPresiden,” tandasnya.
Sementara itu Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) Hasto Kristiyanto menilai kemenangan Pakatan Harapan yang dipimpin Mahathir Mohamad menjadi bukti kemenangan politik akal sehat.
Warga Malaysia telah berani menujukan suaranya dengan memilih partai-partai politik yang tidak terlibat dalam korupsi dan upaya menghalalkan segala cara dalam meraih kemenangan.
“Kepada kelompok-kelompok tertentu yang masih menggunakan berita palsu, ujaran kebencian, fitnah, dan politik menghalalkan segala cara demi kekuasaan, semoga tersadarkan bahwa politik kotor tidak pernah mendapat tempat di hati rakyat,” ujarnya.
Hasto mengatakan, kemenangan Mahathir disebabkan koalisi petahana BN yang telah berkuasa di Malaysia selama 60 tahun terbukti memainkan politik SARA. Hal ini menurut Hasto bisa menjadi pelajaran dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.
“Ada beberapa komponen dari pihak yang diduga kuat terkait dengan incumbent yang mencoba memainkan politik SARA di Ma laysia. Namun kedewasaan pemilih di Malaysia membuktikan bahwa narasi politik pemecah belah atas dasar suku, agama, dan antargolongan itu tidak laku di Malaysia,” kata dia.
“Hal ini bisa menjadi pelajaran di Tanah Air bahwa mereka yang menggunakan politik adu domba dan mengam pa nye kan ujaran kebencian, yang sering mengarah pada radikalisme, tidak mendapat tempat di bumi Pancasila ini,” imbuh Hasto.
Diberitakan, koalisi oposisi Pakatan Harapan pimpinan Mahathir Mohamad menang secara mengejutkan dalam pemilu ke-14 yang digelar Rabu (9/5). Mahathir yang kini berusia 92 tahun berhasil mengalahkan koalisi BN yang kini berkuasa dan dipimpin Perdana Menteri Najib Razak. (Kiswondari)
(nfl)