Parpol yang Gunakan Isu SARA Dinilai Hancurkan Demokrasi
A
A
A
JAKARTA - Pengamat Politik dari Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Ray Rangkuti menilai partai politik (politik) atau pihak yang menggunakan isu Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan (SARA) untuk meraih kekuasaan menghancurkan demokrasi.
"Pelakunya adalah mindset yang penting menang, enggak peduli demokrasi," ujar Ray dalam diskusi 20 Tahun Reformasi bertajuk 'Politik Pasca Reformasi' di Jakarta, Kamis (10/5/2018).
Ray mensinyalir bahwa isu SARA akan tetap dimainkan atau digunakan pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 demi menjatuhkan lawan politik dan meraih kekuasaan karena mereka tidak peduli dengan demokrasi. Dia tidak punya ide untuk memajukan bangsa tetapi ngotot harus berkuasa.
"Memang tidak ada isi kepalanya lagi, mentok, tidak ada lagi ide bagimana kelola bangsa dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, dipaikailah atau dimunculkan isu SARA yang agama A pilih calon B, yang agama B pilih calon D," katanya.
Selain tidak punya ide memajukan bangsa, juga tidak mempunyai tanggung jawab kalau memilih kepala daerah atau pemimpin hanya berdasarkan kesamaan agama. Masalahnya hanya satu, yang penting dia tetap menjalankan agama tapi tidak peduli apakah pemimpin itu mau korupsi atau mau membangun daerahnya atau tidak karena tidak ada kontrak politik.
"Dengan isu SARA itu dia tidak perlu lagi buat visi misi yang njelimet, kontrak politik ini itu, yang penting satu agama, satu keyakinan, nanti kalau saya melenceng dari ini, enggak ada kontrak politiknya," jelas Ray dalam diskusi yang diselenggarakan PENA 98 ini.
Sementara Anton, pengamat media sosial (medsos) mengatakan, politisi atau partai politik yang menyayangkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gutatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yakni tetap menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang itu karena mempunyai kepentingan pragmatis untuk 2019.
"Jawabannya sederhana, pragmatis. Partai itu harus dijunjung pada nilai-nilai utama. Kalau nilai-nilai utamanya nasionalis, komitmen pada UU 45, pasti dengan konsepsi HTI itu pasti nolak," kata Anton.
Harusnya, lanjut Anton di Graha PENA 98, partai politik tersebut menolak karena HTI ingin menerapkan ideologi lain dan membentuk khilafah yang menghilangkan batas-batas negara. "Sementara konsepsi negara proklamasi Indonesia adalah satu komitmen ada batas negara, NKRI, Proklamasi 45 yang saat itu diputuskan," ujarnya.
Dengan tidak ada lagi batas negara, maka tidak ada lagi nasionalisme. "Sementara dasar berbangsa dan negara adalah nasionalisme dengan dasar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu menolak HTI," katanya.
Menurutnya, putusan PTUN Jakarta ini sangat tepat, karena terbukti beberapa negara juga menolak HTI. "Arab, Turki, Mesir, Malaysia menolak. Tapi kok partai yang mengaku nasionalis itu menyayangkan PTUN tolak gugatan HTI. Itu permainan elektroral, pragmatisme," tutupnya.
"Pelakunya adalah mindset yang penting menang, enggak peduli demokrasi," ujar Ray dalam diskusi 20 Tahun Reformasi bertajuk 'Politik Pasca Reformasi' di Jakarta, Kamis (10/5/2018).
Ray mensinyalir bahwa isu SARA akan tetap dimainkan atau digunakan pada pemilihan presiden (Pilpres) 2019 demi menjatuhkan lawan politik dan meraih kekuasaan karena mereka tidak peduli dengan demokrasi. Dia tidak punya ide untuk memajukan bangsa tetapi ngotot harus berkuasa.
"Memang tidak ada isi kepalanya lagi, mentok, tidak ada lagi ide bagimana kelola bangsa dan lain-lain. Sehingga dengan demikian, dipaikailah atau dimunculkan isu SARA yang agama A pilih calon B, yang agama B pilih calon D," katanya.
Selain tidak punya ide memajukan bangsa, juga tidak mempunyai tanggung jawab kalau memilih kepala daerah atau pemimpin hanya berdasarkan kesamaan agama. Masalahnya hanya satu, yang penting dia tetap menjalankan agama tapi tidak peduli apakah pemimpin itu mau korupsi atau mau membangun daerahnya atau tidak karena tidak ada kontrak politik.
"Dengan isu SARA itu dia tidak perlu lagi buat visi misi yang njelimet, kontrak politik ini itu, yang penting satu agama, satu keyakinan, nanti kalau saya melenceng dari ini, enggak ada kontrak politiknya," jelas Ray dalam diskusi yang diselenggarakan PENA 98 ini.
Sementara Anton, pengamat media sosial (medsos) mengatakan, politisi atau partai politik yang menyayangkan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta menolak gutatan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yakni tetap menyatakan HTI sebagai organisasi terlarang itu karena mempunyai kepentingan pragmatis untuk 2019.
"Jawabannya sederhana, pragmatis. Partai itu harus dijunjung pada nilai-nilai utama. Kalau nilai-nilai utamanya nasionalis, komitmen pada UU 45, pasti dengan konsepsi HTI itu pasti nolak," kata Anton.
Harusnya, lanjut Anton di Graha PENA 98, partai politik tersebut menolak karena HTI ingin menerapkan ideologi lain dan membentuk khilafah yang menghilangkan batas-batas negara. "Sementara konsepsi negara proklamasi Indonesia adalah satu komitmen ada batas negara, NKRI, Proklamasi 45 yang saat itu diputuskan," ujarnya.
Dengan tidak ada lagi batas negara, maka tidak ada lagi nasionalisme. "Sementara dasar berbangsa dan negara adalah nasionalisme dengan dasar Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika itu menolak HTI," katanya.
Menurutnya, putusan PTUN Jakarta ini sangat tepat, karena terbukti beberapa negara juga menolak HTI. "Arab, Turki, Mesir, Malaysia menolak. Tapi kok partai yang mengaku nasionalis itu menyayangkan PTUN tolak gugatan HTI. Itu permainan elektroral, pragmatisme," tutupnya.
(kri)