Korupsi dan Vonis Ringan
A
A
A
PANTAS saja korupsi masih tumbuh subur di Indonesia. Pemberantasan korupsi selama ini ternyata tidak dilakukan secara serius. Data terbaru dari Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan betapa vonis pengadilan bagi para koruptor secara umum ternyata masih sangat rendah.
Riset yang dilakukan ICW selama 2017 menyebutkan rata-rata vonis dari pengadilan terkait kasus korupsi hanya 2 tahun 2 bulan. Fakta ini tentu sangat menyedihkan. Rendahnya putusan terhadap para penggarong uang negara itu sangat terkait dengan standar penuntutan dan putusan dari para jaksa dan hakim. Rata-rata tuntutan dari para jaksa sekitar 3 tahun 2 bulan. Rendahnya tuntutan jaksa ini kemudian ditambah dengan pertimbangan yang meringankan dari para hakim terhadap para terdakwa korupsi menyebabkan vonis yang diterima terdakwa jadi sangat rendah.
Standar yang ringan para jaksa dan hakim ini merupakan masalah serius terhadap upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Artinya, ada kesan mereka tidak serius dalam upaya pemberantasan kasus korupsi. Mereka tidak peduli lagi masa depan bangsa ini. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan kita semua. Padahal, kita sudah sepakat bahwa korupsi sudah menjadi masalah serius bagi kemajuan bangsa. Dengan begitu, tidak berlebihan jika kita menempatkan kasus korupsi ini sebagai kasus kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Atas alasan itu pula, pemerintah pada 2002 merasa perlu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menumpas para koruptor.
Apa makna kehadiran KPK? Artinya, tingkat bahaya kejahatan korupsi telah disamakan dengan kejahatan luar biasa lainnya seperti terorisme dan narkoba. Korupsi, terorisme, dan narkoba telah menjadi momok yang selama ini menjadikan Indonesia sulit untuk berkembang. Bahkan, di banyak bidang, kita telah disalip oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yang sebelumnya berada di bawah kita. Sangat menyedihkan memang. Namun, itulah kenyataan pahit yang harus kita terima. Karena itu, kalau kita ingin maju, tentu kita harus berubah.
Temuan ICW di atas tidak boleh diabaikan. Kita harus sadar bahwa rendahnya vonis para hakim terhadap para koruptor ini merupakan masalah besar yang membuat korupsi sulit hilang bahkan cenderung makin subur di Bumi Pertiwi. Salah satu buktinya, sudah empat bulan lebih kita melangkah pada 2018, hampir tiap pekan kita mendengar KPK menangkapi para kepala daerah dalam operasi tangkap tangan (OTT) akibat terlibat kasus korupsi. Apapun motivasi langkah KPK tersebut, kita wajib prihatin bahwa upaya pemberantasan korupsi masih jauh panggang dari api.
Semua pasti sepakat salah satu faktor utama orang melakukan korupsi karena penegakan hukumnya tidak tegas, termasuk ringannya hukuman yang diberikan. Karena dengan kondisi seperti itu, para koruptor akan berani mengambil risiko untuk melakukan korupsi. Dengan vonis yang relatif ringan itu tidak akan menciptakan efek jera dan korupsi akan terus berulang. Dan, hal itu akan menjadi preseden buruk terhadap perjalanan bangsa ini ke depan jika fenomena ini dibiarkan. Belum lagi persepsi dunia internasional terhadap negara ini. Kasus OTT terhadap kepala daerah yang massif pada 2018 ini ikut memperburuk citra Indonesia termasuk menurunkan kepercayaan investor untuk datang menanamkan sahamnya di Indonesia.
Sudah saatnya kita berubah. Seluruh komponen bangsa harus sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan. Tidak boleh ada sedikit pun kata kompromi untuk kejahatan yang merusak bangsa ini. Semua harus disadarkan bahwa korupsi telah membuat masih banyaknya jumlah kemiskinan di negara ini. Kita bangsa yang kaya sumber daya alam, tapi sayangnya pembagian kue ekonomi nasional masih belum merata. Korupsi telah menyebabkan kesenjangan semakin tinggi di republik ini. Hanya satu solusinya untuk menjadikan negara ini adil dan makmur, yaitu dengan memberantas korupsi secara serius.
Para penegak hukum tidak boleh lagi pandang bulu dalam menangkap koruptor. Semuanya harus disikat, terutama para koruptor kakap yang banyak merugikan bangsa ini. KPK, Polri, kejaksaan, dan hakim harus satu kata untuk tegas kepada koruptor. Hukum setinggi-tingginya para koruptor kalau perlu vonis mati, sita seluruh hartanya sehingga menjadi miskin, serta cabut hak politik mereka selama-lamanya. Dengan tiga tegas jurus ini, mungkin orang akan berpikir dua kali untuk mencuri uang rakyat. *
Riset yang dilakukan ICW selama 2017 menyebutkan rata-rata vonis dari pengadilan terkait kasus korupsi hanya 2 tahun 2 bulan. Fakta ini tentu sangat menyedihkan. Rendahnya putusan terhadap para penggarong uang negara itu sangat terkait dengan standar penuntutan dan putusan dari para jaksa dan hakim. Rata-rata tuntutan dari para jaksa sekitar 3 tahun 2 bulan. Rendahnya tuntutan jaksa ini kemudian ditambah dengan pertimbangan yang meringankan dari para hakim terhadap para terdakwa korupsi menyebabkan vonis yang diterima terdakwa jadi sangat rendah.
Standar yang ringan para jaksa dan hakim ini merupakan masalah serius terhadap upaya pemberantasan korupsi di Tanah Air. Artinya, ada kesan mereka tidak serius dalam upaya pemberantasan kasus korupsi. Mereka tidak peduli lagi masa depan bangsa ini. Kondisi ini tentu sangat memprihatinkan kita semua. Padahal, kita sudah sepakat bahwa korupsi sudah menjadi masalah serius bagi kemajuan bangsa. Dengan begitu, tidak berlebihan jika kita menempatkan kasus korupsi ini sebagai kasus kejahatan yang luar biasa (extraordinary crime). Atas alasan itu pula, pemerintah pada 2002 merasa perlu membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk menumpas para koruptor.
Apa makna kehadiran KPK? Artinya, tingkat bahaya kejahatan korupsi telah disamakan dengan kejahatan luar biasa lainnya seperti terorisme dan narkoba. Korupsi, terorisme, dan narkoba telah menjadi momok yang selama ini menjadikan Indonesia sulit untuk berkembang. Bahkan, di banyak bidang, kita telah disalip oleh negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yang sebelumnya berada di bawah kita. Sangat menyedihkan memang. Namun, itulah kenyataan pahit yang harus kita terima. Karena itu, kalau kita ingin maju, tentu kita harus berubah.
Temuan ICW di atas tidak boleh diabaikan. Kita harus sadar bahwa rendahnya vonis para hakim terhadap para koruptor ini merupakan masalah besar yang membuat korupsi sulit hilang bahkan cenderung makin subur di Bumi Pertiwi. Salah satu buktinya, sudah empat bulan lebih kita melangkah pada 2018, hampir tiap pekan kita mendengar KPK menangkapi para kepala daerah dalam operasi tangkap tangan (OTT) akibat terlibat kasus korupsi. Apapun motivasi langkah KPK tersebut, kita wajib prihatin bahwa upaya pemberantasan korupsi masih jauh panggang dari api.
Semua pasti sepakat salah satu faktor utama orang melakukan korupsi karena penegakan hukumnya tidak tegas, termasuk ringannya hukuman yang diberikan. Karena dengan kondisi seperti itu, para koruptor akan berani mengambil risiko untuk melakukan korupsi. Dengan vonis yang relatif ringan itu tidak akan menciptakan efek jera dan korupsi akan terus berulang. Dan, hal itu akan menjadi preseden buruk terhadap perjalanan bangsa ini ke depan jika fenomena ini dibiarkan. Belum lagi persepsi dunia internasional terhadap negara ini. Kasus OTT terhadap kepala daerah yang massif pada 2018 ini ikut memperburuk citra Indonesia termasuk menurunkan kepercayaan investor untuk datang menanamkan sahamnya di Indonesia.
Sudah saatnya kita berubah. Seluruh komponen bangsa harus sepakat bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus dilawan. Tidak boleh ada sedikit pun kata kompromi untuk kejahatan yang merusak bangsa ini. Semua harus disadarkan bahwa korupsi telah membuat masih banyaknya jumlah kemiskinan di negara ini. Kita bangsa yang kaya sumber daya alam, tapi sayangnya pembagian kue ekonomi nasional masih belum merata. Korupsi telah menyebabkan kesenjangan semakin tinggi di republik ini. Hanya satu solusinya untuk menjadikan negara ini adil dan makmur, yaitu dengan memberantas korupsi secara serius.
Para penegak hukum tidak boleh lagi pandang bulu dalam menangkap koruptor. Semuanya harus disikat, terutama para koruptor kakap yang banyak merugikan bangsa ini. KPK, Polri, kejaksaan, dan hakim harus satu kata untuk tegas kepada koruptor. Hukum setinggi-tingginya para koruptor kalau perlu vonis mati, sita seluruh hartanya sehingga menjadi miskin, serta cabut hak politik mereka selama-lamanya. Dengan tiga tegas jurus ini, mungkin orang akan berpikir dua kali untuk mencuri uang rakyat. *
(wib)