Krisis Kompetensi Anak Indonesia
A
A
A
Nurman Siagian
Education Team Leader Wahana Visi Indonesia
PADA April 2018, akun resmi media sosial milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dibanjiri keluhan peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Mereka mengaku kecewa terhadap pertanyaan yang sulit dan tidak sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari di sekolah, terutama pada mata pelajaran Matematika dan Fisika. Tentu saja tingkat kesulitan tersebut menjadi dua atau tiga kali lipat dialami oleh anak-anak yang berada di daerah terluar, terdepan, tertinggal (3T), di mana akses dan kualitas pendidikan di wilayah mereka tak sebaik kota-kota besar.
Kemendikbud memang sedang mendorong agar kualitas pendidikan Indonesia mengikuti standar internasional Programme for International Student Assessment (PISA). Oleh sebab itu, dalam UNBK tahun ini Kemendikbud mulai memberlakukan 10% soal yang membutuhkan daya nalar tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS). Meskipun baru 10%, ternyata banyak keluhan dari anak-anak Indonesia.
Tak heran jika keluhan tersebut muncul, mengingat kompetensi anak-anak Indonesia memang masih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Hasil studi dari PISA 2015 yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Indonesia masih menduduki peringkat 60 dari 72 negara, tertinggal jauh dari negara-negara Asia Tenggara lain, termasuk Singapura yang memuncaki peringkat PISA di segala bidang, maupun Malaysia yang menempati posisi 40 besar.
Berdasarkan data Kemendikbud melalui Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2016 ditemukan bahwa secara nasional 73,61% pencapaian kompetensi siswa masih berada pada posisi kurang. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang paling rendah capaiannya, diikuti oleh Papua dan Nusa Tenggara Barat.
Melihat rendahnya kompetensi anak-anak Indonesia baik menurut studi internasional maupun nasional tersebut, tidak berlebihan jika kita menilai bahwa Indonesia berada dalam situasi krisis kompetensi. Kondisi ini menjadi momentum tepat bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperbaiki kualitas pendidikan dengan meningkatkan kompetensi anak-anak Indonesia.
Tantangan Utama
Berbicara mengenai tantangan meningkatkan kompetensi anak-anak, maka kita dihadapkan pada dua hal. Pertama, rendahnya pemahaman atas apa yang dipelajari (komprehensif); Kedua, ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide dan membingkai argumen atau intisari dari apa yang dipelajari.
Permasalahan utama, rendahnya pemahaman anak-anak terhadap pelajaran, tentunya tak dapat dilepaskan dari rendahnya kompetensi guru, tingginya tingkat ketidakhadiran guru, dan implementasi kurikulum yang tidak sesuai dengan konteks lokal.
Metode pembelajaran tidak secara khusus menanamkan budaya menulis karena belum tersedianya kurikulum yang secara khusus mengajar baca-tulis untuk guru di kelas awal, bahkan sejak di kampus keguruan maupun sebagai pengembangan profesional berkelanjutan.
Laporan Kemendikbud 2014 menyebutkan bahwa kompetensi guru hanya mencapai skor 44,5 dari skor ideal 70. Hal itu salah satunya dapat dilihat dari rendahnya kemampuan guru dalam mengimplementasikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Data dari Wahana Visi Indonesia 2017, lembaga kemanusiaan yang berfokus pada anak selama dua dekade, menunjukkan hanya 56% dari 125 guru yang mampu mengimplementasikan RPP yang berkualitas dan sesuai konteks.
Sementara untuk permasalahan kedua, pangkalnya ada pada rendahnya budaya membaca dan menulis. Lebih spesifik lagi, budaya menulis yang sebetulnya tak kalah penting untuk mendongkrak kompetensi anak.
Menurut berbagai penelitian, menulis dapat meningkatkan daya ingat anak. Selain itu, menulis juga membantu meningkatkan kecerdasan anak, karena ketika menulis anak akan terlatih berpikir kritis, sistematis, dan terstruktur. Menulis juga dapat meningkatkan kreativitas, karena saat menulis anak dapat membayangkan visual dari sebuah kejadian atau cerita yang pada akhirnya dapat melatih daya imajinasi dan mengasah kemampuan menyelesaikan masalah.
Sayangnya, di Indonesia, budaya menulis masih sangat rendah. Data dari Wahana Visi Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya, Papua, 2015, menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas anak, maka semakin rendah kemampuan menulisnya. Dari 365 siswa kelas III di 38 SD, hanya 13,7% siswa yang mampu menyusun kata menjadi kalimat lengkap. Sementara dari 293 siswa kelas V, hanya 8,5% siswa yang menguasai keterampilan menulis sesuai kaidah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Rendahnya budaya menulis juga dipengaruhi oleh kurangnya dukungan dari orang tua dan komunitas di mana anak tinggal.
Berharap Dukungan dari Berbagai Pihak
Untuk keluar dari situasi krisis kompetensi anak Indonesia, perlu peran aktif pemerintah dan berbagai pihak dalam menyediakan kurikulum peningkatan kapasitas guru yang sistematis baik dalam program persiapan di kampus keguruan maupun dalam program pengembangan profesi berkelanjutan guru. Tujuannya agar kompetensi guru meningkat, sehingga memiliki kemampuan untuk mendampingi anak dalam hal membaca dan menulis.
Di sisi lain, berbagai panduan dan modul juga perlu diciptakan, khususnya untuk mendukung kegiatan menulis, yang saat ini masih sangat terbatas jika dibandingkan modul-modul pelatihan membaca. Pengadaan Taman Baca Masyarakat (TBM) yang sudah didukung oleh Pemerintah pusat dan lokal perlu diperluas agar menjangkau daerah 3T. Muatan dan kegiatan dalam TBM perlu dipastikan kualitasnya lewat materi dan struktur kegiatan yang mendorong pengembangan membaca komprehensif dan menulis kreatif dan reflektif. Contoh lainnya yang dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia saat ini melalui komunitas untuk membuat kelompok-kelompok literasi pada siswa kelas awal. Terkhusus pada kegiatan menulis, anak diminta melakukan refleksi tentang apa yang dipelajari dengan mengisi jurnal per pertemuan dengan tulisan tangan mereka untuk mengembangkan kemampuan baca tulis.
Peran orang tua dan guru juga menjadi penting dalam memberikan ruang dan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan ide dan kreativitasnya. Orang tua perlu menstimulasi perkembangan dan mengoptimalkan potensi anak melalui membacakan buku cerita dan mengajak anak menuliskan ulang bacaan dan pengalaman sehari-hari ke dalam jurnal atau buku saku sehingga budaya menulis terbentuk lewat pembiasaan.
Education Team Leader Wahana Visi Indonesia
PADA April 2018, akun resmi media sosial milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dibanjiri keluhan peserta Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK). Mereka mengaku kecewa terhadap pertanyaan yang sulit dan tidak sesuai dengan apa yang telah mereka pelajari di sekolah, terutama pada mata pelajaran Matematika dan Fisika. Tentu saja tingkat kesulitan tersebut menjadi dua atau tiga kali lipat dialami oleh anak-anak yang berada di daerah terluar, terdepan, tertinggal (3T), di mana akses dan kualitas pendidikan di wilayah mereka tak sebaik kota-kota besar.
Kemendikbud memang sedang mendorong agar kualitas pendidikan Indonesia mengikuti standar internasional Programme for International Student Assessment (PISA). Oleh sebab itu, dalam UNBK tahun ini Kemendikbud mulai memberlakukan 10% soal yang membutuhkan daya nalar tingkat tinggi (high order thinking skills/HOTS). Meskipun baru 10%, ternyata banyak keluhan dari anak-anak Indonesia.
Tak heran jika keluhan tersebut muncul, mengingat kompetensi anak-anak Indonesia memang masih rendah dibandingkan negara-negara lainnya. Hasil studi dari PISA 2015 yang diinisiasi oleh Organisation for Economic Cooperation and Development (OECD), Indonesia masih menduduki peringkat 60 dari 72 negara, tertinggal jauh dari negara-negara Asia Tenggara lain, termasuk Singapura yang memuncaki peringkat PISA di segala bidang, maupun Malaysia yang menempati posisi 40 besar.
Berdasarkan data Kemendikbud melalui Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) 2016 ditemukan bahwa secara nasional 73,61% pencapaian kompetensi siswa masih berada pada posisi kurang. Nusa Tenggara Timur merupakan provinsi yang paling rendah capaiannya, diikuti oleh Papua dan Nusa Tenggara Barat.
Melihat rendahnya kompetensi anak-anak Indonesia baik menurut studi internasional maupun nasional tersebut, tidak berlebihan jika kita menilai bahwa Indonesia berada dalam situasi krisis kompetensi. Kondisi ini menjadi momentum tepat bagi seluruh pemangku kepentingan untuk memperbaiki kualitas pendidikan dengan meningkatkan kompetensi anak-anak Indonesia.
Tantangan Utama
Berbicara mengenai tantangan meningkatkan kompetensi anak-anak, maka kita dihadapkan pada dua hal. Pertama, rendahnya pemahaman atas apa yang dipelajari (komprehensif); Kedua, ketidakmampuan untuk mengekspresikan ide dan membingkai argumen atau intisari dari apa yang dipelajari.
Permasalahan utama, rendahnya pemahaman anak-anak terhadap pelajaran, tentunya tak dapat dilepaskan dari rendahnya kompetensi guru, tingginya tingkat ketidakhadiran guru, dan implementasi kurikulum yang tidak sesuai dengan konteks lokal.
Metode pembelajaran tidak secara khusus menanamkan budaya menulis karena belum tersedianya kurikulum yang secara khusus mengajar baca-tulis untuk guru di kelas awal, bahkan sejak di kampus keguruan maupun sebagai pengembangan profesional berkelanjutan.
Laporan Kemendikbud 2014 menyebutkan bahwa kompetensi guru hanya mencapai skor 44,5 dari skor ideal 70. Hal itu salah satunya dapat dilihat dari rendahnya kemampuan guru dalam mengimplementasikan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP). Data dari Wahana Visi Indonesia 2017, lembaga kemanusiaan yang berfokus pada anak selama dua dekade, menunjukkan hanya 56% dari 125 guru yang mampu mengimplementasikan RPP yang berkualitas dan sesuai konteks.
Sementara untuk permasalahan kedua, pangkalnya ada pada rendahnya budaya membaca dan menulis. Lebih spesifik lagi, budaya menulis yang sebetulnya tak kalah penting untuk mendongkrak kompetensi anak.
Menurut berbagai penelitian, menulis dapat meningkatkan daya ingat anak. Selain itu, menulis juga membantu meningkatkan kecerdasan anak, karena ketika menulis anak akan terlatih berpikir kritis, sistematis, dan terstruktur. Menulis juga dapat meningkatkan kreativitas, karena saat menulis anak dapat membayangkan visual dari sebuah kejadian atau cerita yang pada akhirnya dapat melatih daya imajinasi dan mengasah kemampuan menyelesaikan masalah.
Sayangnya, di Indonesia, budaya menulis masih sangat rendah. Data dari Wahana Visi Indonesia bekerja sama dengan Pemerintah Kabupaten Lanny Jaya, Papua, 2015, menunjukkan bahwa semakin tinggi kelas anak, maka semakin rendah kemampuan menulisnya. Dari 365 siswa kelas III di 38 SD, hanya 13,7% siswa yang mampu menyusun kata menjadi kalimat lengkap. Sementara dari 293 siswa kelas V, hanya 8,5% siswa yang menguasai keterampilan menulis sesuai kaidah Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.
Rendahnya budaya menulis juga dipengaruhi oleh kurangnya dukungan dari orang tua dan komunitas di mana anak tinggal.
Berharap Dukungan dari Berbagai Pihak
Untuk keluar dari situasi krisis kompetensi anak Indonesia, perlu peran aktif pemerintah dan berbagai pihak dalam menyediakan kurikulum peningkatan kapasitas guru yang sistematis baik dalam program persiapan di kampus keguruan maupun dalam program pengembangan profesi berkelanjutan guru. Tujuannya agar kompetensi guru meningkat, sehingga memiliki kemampuan untuk mendampingi anak dalam hal membaca dan menulis.
Di sisi lain, berbagai panduan dan modul juga perlu diciptakan, khususnya untuk mendukung kegiatan menulis, yang saat ini masih sangat terbatas jika dibandingkan modul-modul pelatihan membaca. Pengadaan Taman Baca Masyarakat (TBM) yang sudah didukung oleh Pemerintah pusat dan lokal perlu diperluas agar menjangkau daerah 3T. Muatan dan kegiatan dalam TBM perlu dipastikan kualitasnya lewat materi dan struktur kegiatan yang mendorong pengembangan membaca komprehensif dan menulis kreatif dan reflektif. Contoh lainnya yang dilakukan oleh Wahana Visi Indonesia saat ini melalui komunitas untuk membuat kelompok-kelompok literasi pada siswa kelas awal. Terkhusus pada kegiatan menulis, anak diminta melakukan refleksi tentang apa yang dipelajari dengan mengisi jurnal per pertemuan dengan tulisan tangan mereka untuk mengembangkan kemampuan baca tulis.
Peran orang tua dan guru juga menjadi penting dalam memberikan ruang dan kesempatan kepada anak untuk mengekspresikan ide dan kreativitasnya. Orang tua perlu menstimulasi perkembangan dan mengoptimalkan potensi anak melalui membacakan buku cerita dan mengajak anak menuliskan ulang bacaan dan pengalaman sehari-hari ke dalam jurnal atau buku saku sehingga budaya menulis terbentuk lewat pembiasaan.
(mhd)