Menyoal Bantuan Langsung Lempar
A
A
A
Mohammad NasihPengajar di Program Pascasarjana Ilmu Politik UI dan FISIP UMJ,
Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh
al-Qurían Monash Institute
Aksi Presiden Jokowi memberikan bantuan kepada masyarakat di berbagai daerah yang dikunjunginya baru-baru ini dan viral di media sosial mendapat kritik dari banyak kalangan. Bahkan kritik juga datang dari para bekas pendukungnya pada Pemilu 2014 lalu. Secara umum para pengkritik aksi tersebut memandang bahwa cara yang dilakukan Presiden Jokowi tersebut tidak manusiawi dan tidak memperlakukan rakyat sebagai manusia bermartabat.
Lebih dari itu, sesungguhnya cara yang ditempuh itu sangat tidak mencerminkan penyelenggaraan negara yang efektif dan efisien. Seorang pemimpin politik harus memiliki visi dan misi yang memungkinkannya untuk memberikan pelayanan dan advokasi kepada seluruh rakyat yang membutuhkan di seluruh wilayah negara. Karena kerja besar itulah pemimpin politik diperlukan dan diberi kekuasaan yang sangat besar.
Dalam sistem presidensial, bahkan kekuasaan seorang presiden adalah yang terbesar. Jika hanya bekerja dalam skala yang tidak luas untuk sejumlah orang yang tidak terlalu banyak, organisasi sosial atau bahkan orang biasa yang berjiwa sosial atau yang sedang melakukan pembangunan citra pun sudah bisa melakukannya. Namun tidak bisa dibayangkan jika seorang presiden dengan posisi politik tertinggi dalam sistem politik harus memberikan bantuan dengan cara demikian kepada penduduk miskin.
Seorang pemimpin seharusnya benar-benar menjadikan visi yang besar untuk mengelola sebuah negara yang besar, apalagi sebesar Indonesia dengan penduduk lebih dari 200 juta. Tidak ada pilihan lain selain benar-benar menggerakkan struktur-struktur negara agar bisa bekerja secara optimal untuk memberikan perlindungan, pelayanan, dan advokasi kepada seluruh rakyat. Dan Indonesia sesungguhnya sudah memiliki struktur yang lengkap untuk melakukan semuanya itu.
Cara langsung lempar untuk memberikan bantuan kepada rakyat itu menunjukkan beberapa hal.
Pertama, kurangnya visi tentang pendataan penduduk secara valid. Negara mesti memiliki data yang valid mengenai jumlah penduduk, lengkap dengan pengklasifikasiannya yang dalam konteks bantuan tentu harus dipastikan mana penduduk yang sejahtera dan prasejahtera. Sebab, jika tidak berbasis data yang akurat, bantuan bisa dipastikan akan tidak tepat sasaran. Terlebih lagi ada fenomena dalam sebagian masyarakat di Indonesia yang menyukai bantuan, walaupun sesungguhnya mereka dalam kategori tidak berhak.
Kedua, belum adanya konsepsi tentang bantuan yang adil dan merata. Kebijakan negara harus bersifat inklusif, sehingga tercipta keadilan dan/atau pemerataan pada seluruh rakyat. Sebab, anggaran negara sesungguhnya didesain agar terwujud keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat. Bahkan itu menjadi salah satu titik tekan yang sangat terasa dalam Pancasila. Cara langsung lempar itu hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang kebetulan berada di dekat lokasi Presiden Jokowi melakukan lawatan. Sementara mereka yang agak jauh saja tidak akan bisa mendapatkannya.
Ketiga, belum adanya konsepsi pemberdayaan. Konsepsi bantuan di samping harus ada yang langsung bisa dimanfaatkan oleh rakyat, karena kondisi yang sangat mendesak, juga mesti memberikan dampak jangka panjang berupa kemandirian yang mendapatkan bantuan. Dalam konteks yang terakhir ini, esensi bantuan negara kepada rakyat mestinya adalah kail, bukan ikan.
Dan, untuk mewujudkan itu, memerlukan proses, bukan sekadar lempar lalu ditinggal. Jika itu yang dipilih, maka rakyat miskin akan tetap dalam keadaan mereka itu dan selalu menjadi beban negara, bukan kontributor kemajuannya. Akan menjadi objek politik para politisi yang memanfaatkan ketidakberdayaan dan kebodohan mereka, tidak akan pernah bisa menjadi rakyat cerdas yang bisa menggunakan hak politik secara objektif, apabilagi menjadi subjek politik.
Keempat, tidak memiliki visi pendidikan kepada rakyat untuk memiliki harga diri yang tinggi, sehingga membangkitkan semangat mereka untuk pantang menerima bantuan dan memilih untuk bekerja sendiri dalam mencukupi kebutuhan sendiri. Sesungguhnya inilah yang mesti ditekankan oleh Presiden Jokowi.
Sebab, dalam kampanyenya, salah satu wacana besar yang digaungkan adalah revolusi mental. Dengan menempatkan rakyat sebagai penerima bantuan langsung lempar itu, mentalitas macam apa yang bisa dibentuk? Negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan malah merusak cara berpikir rakyat dengan bantuan-bantuan langsung lempar yang justru akan merusak mentalitas rakyat ke dasar yang paling rendah.
Karena itu, aksi bantuan langsung lempar itu harus dihentikan. Cara-cara demikian tidak layak dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kekuasaan struktural. Sebab, dengan kekuasaan yang besar, seorang pemimpin politik memiliki kuasa atau daya untuk menggerakkan semua struktur negara yang memang didesain untuk itu.
Seluruh bantuan negara kepada rakyat harus didesain sedemikian rupa, agar seluruh rakyat menjadi pribadi-pribadi yang berdaya, sehingga di masa depan bisa menjadi kontributor-kontributor optimal dalam mengakselerasi pembangunan negara. Biarlah yang memberikan bantuan langsung dengan cara-cara sporadis itu adalah rakyat biasa atau yang ingin kembali menjadi rakyat biasa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
Guru Utama di Rumah Perkaderan dan Tahfidh
al-Qurían Monash Institute
Aksi Presiden Jokowi memberikan bantuan kepada masyarakat di berbagai daerah yang dikunjunginya baru-baru ini dan viral di media sosial mendapat kritik dari banyak kalangan. Bahkan kritik juga datang dari para bekas pendukungnya pada Pemilu 2014 lalu. Secara umum para pengkritik aksi tersebut memandang bahwa cara yang dilakukan Presiden Jokowi tersebut tidak manusiawi dan tidak memperlakukan rakyat sebagai manusia bermartabat.
Lebih dari itu, sesungguhnya cara yang ditempuh itu sangat tidak mencerminkan penyelenggaraan negara yang efektif dan efisien. Seorang pemimpin politik harus memiliki visi dan misi yang memungkinkannya untuk memberikan pelayanan dan advokasi kepada seluruh rakyat yang membutuhkan di seluruh wilayah negara. Karena kerja besar itulah pemimpin politik diperlukan dan diberi kekuasaan yang sangat besar.
Dalam sistem presidensial, bahkan kekuasaan seorang presiden adalah yang terbesar. Jika hanya bekerja dalam skala yang tidak luas untuk sejumlah orang yang tidak terlalu banyak, organisasi sosial atau bahkan orang biasa yang berjiwa sosial atau yang sedang melakukan pembangunan citra pun sudah bisa melakukannya. Namun tidak bisa dibayangkan jika seorang presiden dengan posisi politik tertinggi dalam sistem politik harus memberikan bantuan dengan cara demikian kepada penduduk miskin.
Seorang pemimpin seharusnya benar-benar menjadikan visi yang besar untuk mengelola sebuah negara yang besar, apalagi sebesar Indonesia dengan penduduk lebih dari 200 juta. Tidak ada pilihan lain selain benar-benar menggerakkan struktur-struktur negara agar bisa bekerja secara optimal untuk memberikan perlindungan, pelayanan, dan advokasi kepada seluruh rakyat. Dan Indonesia sesungguhnya sudah memiliki struktur yang lengkap untuk melakukan semuanya itu.
Cara langsung lempar untuk memberikan bantuan kepada rakyat itu menunjukkan beberapa hal.
Pertama, kurangnya visi tentang pendataan penduduk secara valid. Negara mesti memiliki data yang valid mengenai jumlah penduduk, lengkap dengan pengklasifikasiannya yang dalam konteks bantuan tentu harus dipastikan mana penduduk yang sejahtera dan prasejahtera. Sebab, jika tidak berbasis data yang akurat, bantuan bisa dipastikan akan tidak tepat sasaran. Terlebih lagi ada fenomena dalam sebagian masyarakat di Indonesia yang menyukai bantuan, walaupun sesungguhnya mereka dalam kategori tidak berhak.
Kedua, belum adanya konsepsi tentang bantuan yang adil dan merata. Kebijakan negara harus bersifat inklusif, sehingga tercipta keadilan dan/atau pemerataan pada seluruh rakyat. Sebab, anggaran negara sesungguhnya didesain agar terwujud keadilan sosial dan ekonomi bagi seluruh rakyat. Bahkan itu menjadi salah satu titik tekan yang sangat terasa dalam Pancasila. Cara langsung lempar itu hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang kebetulan berada di dekat lokasi Presiden Jokowi melakukan lawatan. Sementara mereka yang agak jauh saja tidak akan bisa mendapatkannya.
Ketiga, belum adanya konsepsi pemberdayaan. Konsepsi bantuan di samping harus ada yang langsung bisa dimanfaatkan oleh rakyat, karena kondisi yang sangat mendesak, juga mesti memberikan dampak jangka panjang berupa kemandirian yang mendapatkan bantuan. Dalam konteks yang terakhir ini, esensi bantuan negara kepada rakyat mestinya adalah kail, bukan ikan.
Dan, untuk mewujudkan itu, memerlukan proses, bukan sekadar lempar lalu ditinggal. Jika itu yang dipilih, maka rakyat miskin akan tetap dalam keadaan mereka itu dan selalu menjadi beban negara, bukan kontributor kemajuannya. Akan menjadi objek politik para politisi yang memanfaatkan ketidakberdayaan dan kebodohan mereka, tidak akan pernah bisa menjadi rakyat cerdas yang bisa menggunakan hak politik secara objektif, apabilagi menjadi subjek politik.
Keempat, tidak memiliki visi pendidikan kepada rakyat untuk memiliki harga diri yang tinggi, sehingga membangkitkan semangat mereka untuk pantang menerima bantuan dan memilih untuk bekerja sendiri dalam mencukupi kebutuhan sendiri. Sesungguhnya inilah yang mesti ditekankan oleh Presiden Jokowi.
Sebab, dalam kampanyenya, salah satu wacana besar yang digaungkan adalah revolusi mental. Dengan menempatkan rakyat sebagai penerima bantuan langsung lempar itu, mentalitas macam apa yang bisa dibentuk? Negara memiliki kewajiban untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, bukan malah merusak cara berpikir rakyat dengan bantuan-bantuan langsung lempar yang justru akan merusak mentalitas rakyat ke dasar yang paling rendah.
Karena itu, aksi bantuan langsung lempar itu harus dihentikan. Cara-cara demikian tidak layak dilakukan oleh siapa pun yang memiliki kekuasaan struktural. Sebab, dengan kekuasaan yang besar, seorang pemimpin politik memiliki kuasa atau daya untuk menggerakkan semua struktur negara yang memang didesain untuk itu.
Seluruh bantuan negara kepada rakyat harus didesain sedemikian rupa, agar seluruh rakyat menjadi pribadi-pribadi yang berdaya, sehingga di masa depan bisa menjadi kontributor-kontributor optimal dalam mengakselerasi pembangunan negara. Biarlah yang memberikan bantuan langsung dengan cara-cara sporadis itu adalah rakyat biasa atau yang ingin kembali menjadi rakyat biasa. Wallahu a’lam bi al-shawab.
(nag)