Mencari Hakim Konstitusi
A
A
A
Allan Fatchan Gani Wardhana
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia & LPBH NU DIY
Presiden Joko Widodo akhirnya membentuk Panitia Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (Pansel Hakim MK) untuk mengganti hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang akan berakhir masa jabatannya pada 13 Agustus. Waktu yang dimiliki oleh pansel dalam mencari hakim konstitusi sangat singkat dan harus dimanfaatkan dengan baik. Proses seleksi hakim konstitusi ini menjadi pertaruhan bagi masa depan MK. Selain ditujukan untuk mencari hakim pengganti, proses seleksi juga harus dilakukan dalam rangka mengembalikan citra dan marwah MK yang saat ini dipandang sedang "babak belur", tidak berwibawa, dan terus mendapatkan sorotan negatif pascakasus etik yang menjerat Hakim Arief Hidayat.
Sebelumnya, dalam sejarah perjalanan MK, sudah tiga kali institusi itu mengalami krisis kepercayaan. Kasus Arsyad Sanusi, Akil Mochtar, dan Patrialis Akbar yang sama-sama berperilaku koruptif terjerat kasus suap membuat masyarakat "trauma". Dalam tiga kasus suap tersebut, masyarakat yang selama ini sangat apresiatif terhadap MK dan melihatnya sebagai peradilan yang cukup independen dan berintegritas diliputi perasaan kecewa, heran, dan tidak habis pikir. Kekecewaan tersebut menjadi hal yang wajar, karena sebelum tragedi kasus korupsi berupa suap sebanyak tiga kali tersebut, MK dipandang oleh berbagai kalangan sebagai lembaga yang sudah membuktikan sebagai institusi hukum yang dapat dipercaya dan terhormat (realible and honoured court) di Indonesia.
Namun, penilaian itu sirna ketika beberapa hakim MK terjerat kasus pidana maupun etik. Berbagai permasalahan yang menjerat hakim MK tersebut bertentangan, sekaligus menegasi tujuan awal membentuk MK yaitu mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik dan bersih.
Integritas & Kompetensi
Publik mendorong sekaligus mendukung presiden untuk memilih yang terbaik dari hasil penjaringan yang dilakukan oleh pansel nantinya. Dalam mencari hakim konstitusi, ada dua kriteria yang dapat dijadikan pertimbangan.
Pertama, pansel harus mengutamakan integritas (integrity). Dalam sejarah seleksi hakim MK, pansel selalu menekankan bahwa integritas merupakan kriteria utama dalam penilaian yang telah dilakukan. Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang oleh kalangan hakim di dunia digunakan sebagai pedoman bersama, integritas merupakan hal yang utama. Integritas ialah cerminan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Integritas akan melahirkan sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan lainnya (Asshiddiqie: 2011).
Kriteria harus memiliki integritas juga ditegaskan langsung melalui Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, di mana hakim konstitusi disyaratkan "harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan." Semangat pasal tersebut menghendaki bahwa hakim MK adalah hakim yang tidak hanya menguasai dan mempunyai pengalaman di bidang ketatanegaraan, namun juga harus seorang negarawan yang mempunyai integritas.
Kedua, pansel harus juga mempertimbangkan prasyarat kecakapan atau kompetensi (competence). Bagaimanapun, kecakapan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Tentu kecakapan ini bisa dilihat dari rekam jejak kemampuan profesional hakim di bidang ketatanegaraan yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Kecakapan ini akan berdampak pada proses-proses penyelesaian perkara terkait pengujian undang-undang maupun penanganan sengketa pilkada yang mengusung semangat keadilan substantif.
Dengan mendapatkan hakim yang berintegritas dan berkompeten, secara otomatis hakim yang bersangkutan akan memiliki sikap independensi yang terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim dari berbagai pengaruh dari luar. Jika prinsip ini dipegang, hakim akan bebas pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang dapat memengaruhi putusan atau jual-beli perkara.
Institusi MK akan terjaga kehormatannya apabila diisi oleh hakim yang memiliki integritas dan kompetensi. Pansel harus selektif dan cermat dalam menetapkan calon hakim MK karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap citra dan marwah MK sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardians of the constitution).
Publik berharap kepada pansel agar dapat menjalankan tugasnya dengan profesional, transparan, dan akuntabel. Selain itu, pansel juga harus memberikan kanal bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan dalam proses seleksi. Di sisi lain, kita semua juga harus mendorong kepada para negarawan dan begawan-begawan hukum terbaik untuk mendaftar sebagai calon hakim MK. Citra dan marwah MK sangat mendesak untuk dipulihkan kembali.
Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia & LPBH NU DIY
Presiden Joko Widodo akhirnya membentuk Panitia Seleksi Hakim Mahkamah Konstitusi (Pansel Hakim MK) untuk mengganti hakim konstitusi Maria Farida Indrati yang akan berakhir masa jabatannya pada 13 Agustus. Waktu yang dimiliki oleh pansel dalam mencari hakim konstitusi sangat singkat dan harus dimanfaatkan dengan baik. Proses seleksi hakim konstitusi ini menjadi pertaruhan bagi masa depan MK. Selain ditujukan untuk mencari hakim pengganti, proses seleksi juga harus dilakukan dalam rangka mengembalikan citra dan marwah MK yang saat ini dipandang sedang "babak belur", tidak berwibawa, dan terus mendapatkan sorotan negatif pascakasus etik yang menjerat Hakim Arief Hidayat.
Sebelumnya, dalam sejarah perjalanan MK, sudah tiga kali institusi itu mengalami krisis kepercayaan. Kasus Arsyad Sanusi, Akil Mochtar, dan Patrialis Akbar yang sama-sama berperilaku koruptif terjerat kasus suap membuat masyarakat "trauma". Dalam tiga kasus suap tersebut, masyarakat yang selama ini sangat apresiatif terhadap MK dan melihatnya sebagai peradilan yang cukup independen dan berintegritas diliputi perasaan kecewa, heran, dan tidak habis pikir. Kekecewaan tersebut menjadi hal yang wajar, karena sebelum tragedi kasus korupsi berupa suap sebanyak tiga kali tersebut, MK dipandang oleh berbagai kalangan sebagai lembaga yang sudah membuktikan sebagai institusi hukum yang dapat dipercaya dan terhormat (realible and honoured court) di Indonesia.
Namun, penilaian itu sirna ketika beberapa hakim MK terjerat kasus pidana maupun etik. Berbagai permasalahan yang menjerat hakim MK tersebut bertentangan, sekaligus menegasi tujuan awal membentuk MK yaitu mewujudkan penyelenggaraan kekuasaan dan ketatanegaraan Indonesia yang lebih baik dan bersih.
Integritas & Kompetensi
Publik mendorong sekaligus mendukung presiden untuk memilih yang terbaik dari hasil penjaringan yang dilakukan oleh pansel nantinya. Dalam mencari hakim konstitusi, ada dua kriteria yang dapat dijadikan pertimbangan.
Pertama, pansel harus mengutamakan integritas (integrity). Dalam sejarah seleksi hakim MK, pansel selalu menekankan bahwa integritas merupakan kriteria utama dalam penilaian yang telah dilakukan. Dalam The Bangalore Principles of Judicial Conduct yang oleh kalangan hakim di dunia digunakan sebagai pedoman bersama, integritas merupakan hal yang utama. Integritas ialah cerminan keutuhan dan keseimbangan kepribadian setiap hakim sebagai pribadi dan sebagai pejabat negara dalam menjalankan tugas jabatannya. Integritas akan melahirkan sikap jujur, setia, dan tulus dalam menjalankan tugas profesionalnya disertai ketangguhan batin untuk menepis dan menolak segala bujuk rayu, godaan jabatan, kekayaan, popularitas, ataupun godaan lainnya (Asshiddiqie: 2011).
Kriteria harus memiliki integritas juga ditegaskan langsung melalui Pasal 24C ayat (5) UUD NRI 1945 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK, di mana hakim konstitusi disyaratkan "harus memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela, adil, negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan." Semangat pasal tersebut menghendaki bahwa hakim MK adalah hakim yang tidak hanya menguasai dan mempunyai pengalaman di bidang ketatanegaraan, namun juga harus seorang negarawan yang mempunyai integritas.
Kedua, pansel harus juga mempertimbangkan prasyarat kecakapan atau kompetensi (competence). Bagaimanapun, kecakapan hakim merupakan prasyarat penting dalam pelaksanaan peradilan yang baik dan terpercaya. Tentu kecakapan ini bisa dilihat dari rekam jejak kemampuan profesional hakim di bidang ketatanegaraan yang diperoleh dari pendidikan, pelatihan, dan/atau pengalaman dalam pelaksanaan tugas. Kecakapan ini akan berdampak pada proses-proses penyelesaian perkara terkait pengujian undang-undang maupun penanganan sengketa pilkada yang mengusung semangat keadilan substantif.
Dengan mendapatkan hakim yang berintegritas dan berkompeten, secara otomatis hakim yang bersangkutan akan memiliki sikap independensi yang terwujud dalam kemandirian dan kemerdekaan hakim dari berbagai pengaruh dari luar. Jika prinsip ini dipegang, hakim akan bebas pengaruh yang berasal dari luar diri hakim berupa intervensi yang dapat memengaruhi putusan atau jual-beli perkara.
Institusi MK akan terjaga kehormatannya apabila diisi oleh hakim yang memiliki integritas dan kompetensi. Pansel harus selektif dan cermat dalam menetapkan calon hakim MK karena hal ini akan sangat berpengaruh terhadap citra dan marwah MK sebagai lembaga pengawal konstitusi (the guardians of the constitution).
Publik berharap kepada pansel agar dapat menjalankan tugasnya dengan profesional, transparan, dan akuntabel. Selain itu, pansel juga harus memberikan kanal bagi masyarakat untuk dapat memberikan masukan dalam proses seleksi. Di sisi lain, kita semua juga harus mendorong kepada para negarawan dan begawan-begawan hukum terbaik untuk mendaftar sebagai calon hakim MK. Citra dan marwah MK sangat mendesak untuk dipulihkan kembali.
(zik)