Tanpa Kode Etik, Advokat Bisa Liar
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi), Otto Hasibuan mengatakan kode etik harus ada dalam profesi advokat.
Menurut Otto, kode etik merupakan hukum tertinggi dalam advokat. “Kalau tidak ada kode etik ini nanti jadi liar,” katanya di sela acara Workshop dan Diskusi Panel Dewan Kehormatan Peradi, Jakarta, Rabu 25 April 2018 seperti dalam siaran persnya, Rabu 25 April 2018.
Kode etik advokat, kata Otto, penting untuk mengawasi dan memeriksa advokat dalam rangka menjalankan tugasnya. “Itu yang paling utama, kode etik itu harus satu, harus paham seluruh advokat se-Indonesia, tidak boleh ada dua karena standarisaai organisasi advokat,” ucapnya.
Otto mengatakan, kode etik dibuat bukan hanya untuk kepentingan advokat, melainkan untuk melindungi kepentingan masyarakat.
“Single Bar atau wadah tunggal bukan untuk kepentingan masyarakat tapi untuk mencari keadilan. Konsekuensinya, karena itu Single Bar, maka organisasi advokatnya satu, mahkamah kehormatannya satu, dan kode etiknya satu,” tuturnya.
Sementara, mengenai adanya beberapa organisasi profesi advokat di Indonesia, Otto berharap semua bisa bersatu.
“Kalau organisasi advokat lebih dari satu maka kalau ada kliennya dilaporkan oleh organisasi A kemudian karena banyak organisasi advokat bisa dipindah ke organisasi lain akibatnya yang korban itu masyarakat, masyarakat itu menjadi tidak bisa dilindungi,” tuturnya.
Sementara itu terkait mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, Otto mengatakan, hal yang dilanggar oleh Fredrich adalah undang-undang, namun berkaitan dengan kode etik.
Dia menganggap seharusnya KPK mengizinkan Komisi Pengawas Peradi memeriksa Fredrich terkait pelanggaran kode etik advokat. Kata Otto, KPK memandang Peradi merupakan organisasi swasta padahal Komisi Pengawas ini dibentuk oleh undang-undang.
"Perkara pidana bisa tetap berjalan sesuai aturan hukum, namun pemeriksaan pelanggaran kode etik oleh Peradi juga bisa dijalankan secara beriringan. Sehingga keputusan Dewan Kehormatan Peradi bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memberi putusan," katanya.
Otto menjelaskan, tuduhan membuat surat palsu dan menghalang-halangi penyidikan yang dilakukan oleh Fredrich ini bisa diperiksa terlebih dahulu oleh Peradi. "Kalau Komisi Pengawas bawa cukup alasan pada kesalahan itu, nanti juga akan dibawa ke Dewan Kehormatan dan bisa diadili," tutur Otto.
Sementar itu terkait status Fredrich di Peradi, Otto mengatakan masih belum diketahui karena belum dilakukan pemeriksaan kode etik oleh Komisi Pengawasan Peradi.
Dalam surat dakwaan jaksa, Fredrich disebut sempat memberikan data rekam medis Novanto di RS Premier kepada Bimanesh yang merupakan dokter di Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Hal itu juga pernah diakui langsung oleh Bimanesh di persidangan.
Dalam kasus ini, Bimanesh didakwa jaksa KPK, bersama-sama dengan advokat Fredrich Yunadi telah melakukan rekayasa medis agar Setya Novanto dirawat di RS Medika Permata Hijau.
Cara ini dilakukan guna menghindari Novanto dari pemeriksaan KPK. Waktu itu Setya Novanto masih tersangka korupsi proyek e-KTP dan Fredrich sebagai pengacaranya.
Menurut Otto, kode etik merupakan hukum tertinggi dalam advokat. “Kalau tidak ada kode etik ini nanti jadi liar,” katanya di sela acara Workshop dan Diskusi Panel Dewan Kehormatan Peradi, Jakarta, Rabu 25 April 2018 seperti dalam siaran persnya, Rabu 25 April 2018.
Kode etik advokat, kata Otto, penting untuk mengawasi dan memeriksa advokat dalam rangka menjalankan tugasnya. “Itu yang paling utama, kode etik itu harus satu, harus paham seluruh advokat se-Indonesia, tidak boleh ada dua karena standarisaai organisasi advokat,” ucapnya.
Otto mengatakan, kode etik dibuat bukan hanya untuk kepentingan advokat, melainkan untuk melindungi kepentingan masyarakat.
“Single Bar atau wadah tunggal bukan untuk kepentingan masyarakat tapi untuk mencari keadilan. Konsekuensinya, karena itu Single Bar, maka organisasi advokatnya satu, mahkamah kehormatannya satu, dan kode etiknya satu,” tuturnya.
Sementara, mengenai adanya beberapa organisasi profesi advokat di Indonesia, Otto berharap semua bisa bersatu.
“Kalau organisasi advokat lebih dari satu maka kalau ada kliennya dilaporkan oleh organisasi A kemudian karena banyak organisasi advokat bisa dipindah ke organisasi lain akibatnya yang korban itu masyarakat, masyarakat itu menjadi tidak bisa dilindungi,” tuturnya.
Sementara itu terkait mantan pengacara Setya Novanto, Fredrich Yunadi, Otto mengatakan, hal yang dilanggar oleh Fredrich adalah undang-undang, namun berkaitan dengan kode etik.
Dia menganggap seharusnya KPK mengizinkan Komisi Pengawas Peradi memeriksa Fredrich terkait pelanggaran kode etik advokat. Kata Otto, KPK memandang Peradi merupakan organisasi swasta padahal Komisi Pengawas ini dibentuk oleh undang-undang.
"Perkara pidana bisa tetap berjalan sesuai aturan hukum, namun pemeriksaan pelanggaran kode etik oleh Peradi juga bisa dijalankan secara beriringan. Sehingga keputusan Dewan Kehormatan Peradi bisa menjadi pertimbangan hakim dalam memberi putusan," katanya.
Otto menjelaskan, tuduhan membuat surat palsu dan menghalang-halangi penyidikan yang dilakukan oleh Fredrich ini bisa diperiksa terlebih dahulu oleh Peradi. "Kalau Komisi Pengawas bawa cukup alasan pada kesalahan itu, nanti juga akan dibawa ke Dewan Kehormatan dan bisa diadili," tutur Otto.
Sementar itu terkait status Fredrich di Peradi, Otto mengatakan masih belum diketahui karena belum dilakukan pemeriksaan kode etik oleh Komisi Pengawasan Peradi.
Dalam surat dakwaan jaksa, Fredrich disebut sempat memberikan data rekam medis Novanto di RS Premier kepada Bimanesh yang merupakan dokter di Rumah Sakit Medika Permata Hijau. Hal itu juga pernah diakui langsung oleh Bimanesh di persidangan.
Dalam kasus ini, Bimanesh didakwa jaksa KPK, bersama-sama dengan advokat Fredrich Yunadi telah melakukan rekayasa medis agar Setya Novanto dirawat di RS Medika Permata Hijau.
Cara ini dilakukan guna menghindari Novanto dari pemeriksaan KPK. Waktu itu Setya Novanto masih tersangka korupsi proyek e-KTP dan Fredrich sebagai pengacaranya.
(dam)