HKI dan Industri Kreatif
A
A
A
SETIAP tanggal 26 April masyarakat dunia, termasuk di Indonesia, memperingati Hari Kekayaan Intelektual Sedunia atau World IP Day. Peringatan ini sebagai bentuk penghargaan atas karya-karya intelektual di bidang ilmu pengetahuan, seni, sastra, ataupun teknologi.Momentum ini juga dimanfaatkan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) RI untuk menyosialisasi pentingnya hak kekayaan intelektual (HKI).
Industri kreatif memang penting memiliki HKI mengingat pertumbuhannya sangat pesat dan menjadi salah satu pendorong ekonomi nasional. Bekraf bahkan memprediksi pertumbuhan industri kreatif tahun ini bisa mencapai 6,25%. Pertumbuhan sebesar ini diyakini mampu menyerap tenaga kerja hingga 16,70 juta orang.
Seberapa besar kesadaran pelaku ekonomi kreatif (ekraf) Tanah Air untuk memiliki HKI? Jawabannya: masih sangat rendah. Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi Bekraf, Ari Juliano Gema pada Jumat (20/4) di Jakarta menyebut pelaku ekraf yang memiliki HKI baru 11,05%. Sisanya 88,95% pelaku ekraf belum mendaftarkan produknya.
Kebanyakan pemilik HKI adalah pelaku ekraf di subsektor film, animasi, dan video, yakni 21,08%. Posisi kedua subsektor kuliner sebanyak 19,75% serta televisi dan radio 16,59%, disusul subsektor penerbitan 15,86%, fashion 14,14%.
Rendahnya kepemilikan HKI ini disayangkan karena itu sangat penting bagi pelaku ekraf dalam upaya melindungi produk yang dimilikinya. Merespons ini, Bekraf lalu memanfaatkan momentum World IP Day tahun ini dengan menggelar sosialisasi. Salah satunya melalui kegiatan Bekraf HKI Run 2018 di Jakarta pada Minggu (29/4). Sekitar 1.000 pelakuekraf Tanah Air diperkirakan berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Tidak seharusnya pelaku ekraf mengabaikan HKI karena berbagai pelanggaran karya intelektual masih kerap terjadi. Salah satunya pelanggaran di bidang hak cipta. Pelanggarannya berupa kegiatan mengutip, merekam, menjiplak karya orang lain tanpa mencantumkan nama penciptanya. Jenis karya yang sering dilanggar antara lain fotografi, musik, video, yang kesemuanya itu karya-karya yang dilindungi sebagaimana diatur dalam UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kasus terbaru adalah ketika penulis cerita asli film Benyamin Biang Kerok (1972), Syamsul Fuad, menggugat rumah produksi Falcon Pictures dan Max Pictures dengan tudingan melanggar hak cipta atas cerita film Benyamin Biang Kerok.
Pelanggaran lainnya di bidang merek, baik terhadap barang maupun jasa, yakni membuat produk yang memiliki persamaan merek, baik sebagian atau keseluruhan dengan merek tertentu. Sebagai contoh, saat ini dengan mudah kita menjumpai sebuah brand fashion terkenal tertentu yang dijual bebas di pasaran dengan kualitas lebih rendah dan dengan harga lebih murah.
Pentingnya mendorong masyarakat memiliki HKI bertujuan antara lain, pertama, untuk memberi kesadaran ke masyarakat mengenai praktik kecurangan seperti pemalsuan dan penjiplakan hasil karya orang lain. Masyarakat harus bisa diedukasi agar ikut mencegah dan memberantas praktik kecurangan tersebut.
Kedua, untuk memacu kreativitas pelaku industri kreatif. Meski tidak bersifat materiil, kepemilikan HKI, terutama di sektor industri berperan penting untuk mendorong kemajuan sebuah bangsa. HKI akan merangsang para peneliti atau pelaku usaha untuk menemukan hal baru dan menghasilkan karya yang berkualitas tinggi. Semakin banyak penemuan baru yang berkualitas baik itu menandakan bahwa pelaku industri kreatif sangat menguasai ilmu dan teknologi sehingga akan lahir produk-produk unggul yang berdaya saing di pasar domestik maupun global.
Ketiga, HKI akan mendorong investasi dan merangsang daya saing masyarakat dan perusahaan untuk menciptakan karya yang berkualitas tinggi dan berstandar internasional.
Tantangan yang kini dihadapi pemerintah adalah bagaimana terus menyosialisasi pentingnya HKI bagi pelaku industri. Sosialisasi harus terus digalakkan, antara lain berbarengan dengan lomba olahraga, festival musik, atau acara kulineran. Kemasan acara yang dibuat harus ringkas, informatif, dan kreatif sehingga pesannya mudah dipahami.
Industri kreatif memang penting memiliki HKI mengingat pertumbuhannya sangat pesat dan menjadi salah satu pendorong ekonomi nasional. Bekraf bahkan memprediksi pertumbuhan industri kreatif tahun ini bisa mencapai 6,25%. Pertumbuhan sebesar ini diyakini mampu menyerap tenaga kerja hingga 16,70 juta orang.
Seberapa besar kesadaran pelaku ekonomi kreatif (ekraf) Tanah Air untuk memiliki HKI? Jawabannya: masih sangat rendah. Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi Bekraf, Ari Juliano Gema pada Jumat (20/4) di Jakarta menyebut pelaku ekraf yang memiliki HKI baru 11,05%. Sisanya 88,95% pelaku ekraf belum mendaftarkan produknya.
Kebanyakan pemilik HKI adalah pelaku ekraf di subsektor film, animasi, dan video, yakni 21,08%. Posisi kedua subsektor kuliner sebanyak 19,75% serta televisi dan radio 16,59%, disusul subsektor penerbitan 15,86%, fashion 14,14%.
Rendahnya kepemilikan HKI ini disayangkan karena itu sangat penting bagi pelaku ekraf dalam upaya melindungi produk yang dimilikinya. Merespons ini, Bekraf lalu memanfaatkan momentum World IP Day tahun ini dengan menggelar sosialisasi. Salah satunya melalui kegiatan Bekraf HKI Run 2018 di Jakarta pada Minggu (29/4). Sekitar 1.000 pelakuekraf Tanah Air diperkirakan berpartisipasi dalam kegiatan ini.
Tidak seharusnya pelaku ekraf mengabaikan HKI karena berbagai pelanggaran karya intelektual masih kerap terjadi. Salah satunya pelanggaran di bidang hak cipta. Pelanggarannya berupa kegiatan mengutip, merekam, menjiplak karya orang lain tanpa mencantumkan nama penciptanya. Jenis karya yang sering dilanggar antara lain fotografi, musik, video, yang kesemuanya itu karya-karya yang dilindungi sebagaimana diatur dalam UU No 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta. Kasus terbaru adalah ketika penulis cerita asli film Benyamin Biang Kerok (1972), Syamsul Fuad, menggugat rumah produksi Falcon Pictures dan Max Pictures dengan tudingan melanggar hak cipta atas cerita film Benyamin Biang Kerok.
Pelanggaran lainnya di bidang merek, baik terhadap barang maupun jasa, yakni membuat produk yang memiliki persamaan merek, baik sebagian atau keseluruhan dengan merek tertentu. Sebagai contoh, saat ini dengan mudah kita menjumpai sebuah brand fashion terkenal tertentu yang dijual bebas di pasaran dengan kualitas lebih rendah dan dengan harga lebih murah.
Pentingnya mendorong masyarakat memiliki HKI bertujuan antara lain, pertama, untuk memberi kesadaran ke masyarakat mengenai praktik kecurangan seperti pemalsuan dan penjiplakan hasil karya orang lain. Masyarakat harus bisa diedukasi agar ikut mencegah dan memberantas praktik kecurangan tersebut.
Kedua, untuk memacu kreativitas pelaku industri kreatif. Meski tidak bersifat materiil, kepemilikan HKI, terutama di sektor industri berperan penting untuk mendorong kemajuan sebuah bangsa. HKI akan merangsang para peneliti atau pelaku usaha untuk menemukan hal baru dan menghasilkan karya yang berkualitas tinggi. Semakin banyak penemuan baru yang berkualitas baik itu menandakan bahwa pelaku industri kreatif sangat menguasai ilmu dan teknologi sehingga akan lahir produk-produk unggul yang berdaya saing di pasar domestik maupun global.
Ketiga, HKI akan mendorong investasi dan merangsang daya saing masyarakat dan perusahaan untuk menciptakan karya yang berkualitas tinggi dan berstandar internasional.
Tantangan yang kini dihadapi pemerintah adalah bagaimana terus menyosialisasi pentingnya HKI bagi pelaku industri. Sosialisasi harus terus digalakkan, antara lain berbarengan dengan lomba olahraga, festival musik, atau acara kulineran. Kemasan acara yang dibuat harus ringkas, informatif, dan kreatif sehingga pesannya mudah dipahami.
(kri)