ITB Minta Pemerintah Waspadai Ancaman Bencana Hidrometeorologi
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah Indonesia diminta mewaspadai ancaman bencana hidrometeorologi yang disebabkan oleh perubahan iklim dan peningkatan cuaca ekstrem. Hal itu terungkap dalam seminar bertajuk “Waspada Bencana Hidrometeorologi: Kita Bisa Siaga!” yang digelar alumni Geofisika dan Meteorologi ITB angkatan 1988 yang tergabung dalam Solidaritas ITB ‘88 di Gedung II BPPT Jakarta, Rabu (25/4/2018).
Kegiatan seminar yang merupakan acara Alumni ITB dari rangkaian kegiatan “Road to 30 Years ITB 88” ini sekaligus memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) yang jatuh pada 26 April 2018.
Seminar dibuka dengan sambutan oleh Ketua Solidaritas ITB ’88 dan Ketua Ikatan Alumni ITB. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh pembicara utama, Dr Armi Susandi.
Armi menjelaskan, bencana hidrometeorologi adalah bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi seperti banjir, kekeringan, badai, dan longsor. Di Indonesia, frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi termasuk tinggi dan menyebabkan kerugian yang signifikan bagi pemerintah dan masyarakat.
Pada 2017 terjadi 2.341 kali bencana hidrometeorologi dan merupakan 92% dari jumlah bencana yang terjadi di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat menyusul fenomena perubahan iklim dan peningkatan kejadian cuaca ekstrem.
Kerugian akibat bencana sepanjang 2017 ditaksir mencapai Rp30 triliun. Selain itu, 377 orang dilaporkan meninggal dan hilang, 1.005 orang luka-luka dan 3.494.319 orang mengungsi dan menderita.
Bencana hidrometeorologi tersebut memiliki dampak yang besar terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan, masyarakat dan pemerintah perlu meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
"Untuk mendukung hal tersebut, perlu dilakukan pengembangan teknologi monitoring dan prediksi kebencanaan hidrometeorologi, penyusunan tata ruang yang sesuai tingkat kerentanan bencana, dan kampanye untuk peningkatan pemahaman dampak dan pengurangan risiko bencana," katanya.
Saat ini pemerintah dan lembaga penelitian telah mengembangkan berbagai kajian maupun produk yang diterapkan di berbagai daerah rentan bencana hidrometeorologi.
Armi menyebut, proyeksi peningkatan temperatur dunia hingga 2100 sebagai gambaran bahwa frekuensi bencana hidrometeorologi akan terus meningkat di masa mendatang. Kondisi ini perlu segera diantisipasi melalui dukungan teknologi prediksi potensi kebencanaan yang presisi dan akurat.
"Riset yang dilakukannya telah berhasil mengemas teknologi prediksi potensi kebencanaan ke dalam sistem informasi yang dapat diakses semua kalangan dan dilengkapi dengan aksi dan adaptasi dini yang tepat," ujarnya.
Sejumlah sistem yang telah dihasilkan antara lain MHEWS, FEWEAS Bengawan Solo dan Citarum, hingga SICA kini telah diuji di lapangan dan mendapatkan respons positif dari pemerintah dan masyarakat.
Armi menuturkan, inovasi teknologi di bidang prediksi kebencanaan akan semakin dibutuhkan seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk dan dampak perubahan iklim. Hal inilah yang akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat untuk terus mengembangkan teknologi-teknologi tepat guna yang dapat memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana hidrometeorologi.
“Kita perlu memanfaatkan peluang-peluang yang semakin terbuka, seperti perkembangan prasarana teknologi komputasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan dukungan data yang semakin lengkap dan presisi”, tambah Armi.
Pemaparan yang disampaikan oleh Armi kemudian ditanggapi oleh sejumlah narasumber. Empat narasumber yang hadir adalah Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG Nelly Florida Riama, Presiden Direktur PT. Netika Indonesia Christian H. Siboro, anggota DPR RI/MPR Permana Sari, dan Ahli Model Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam BPPT Albert Sulaiman.
Nelly menyampaikan, BMKG sebagai badan pemerintah yang memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan informasi mengenai cuaca, iklim, dan kegempaan terus berupaya membantu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana terkait Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (MKG) dan secara khusus bencana hidrometeorologis.
Caranya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat di antaranya penggiat dan relawan bencana, petani serta nelayan melalui berbagai program kolaborasi dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah menjadi penting dalam menghadapi bencana.
“Di satu sisi, masyarakat harus memiliki kesadaran dan dipersiapkan agar mampu menghadapi bencana dengan siaga. Di sisi lain, para ahli dan petugas dengan kualifikasi yang baik dan jumlah yang cukup perlu disebar secara proporsional di daerah rawan bencana,” ujar Nelly.
Sementara itu, Christian menyoroti perlunya akselerator antara pemerintah dan masyarakat, misalnya media. Belajar dari pengalaman negara-negara yang sudah mapan dalam kesiapsiagaan bencana seperti Amerika Serikat dan Jepang, media perlu secara intensif menyampaikan prakiraan cuaca dan prediksi bencana kepada masyarakat.
Kegiatan seminar yang merupakan acara Alumni ITB dari rangkaian kegiatan “Road to 30 Years ITB 88” ini sekaligus memperingati Hari Kesiapsiagaan Bencana (HKB) yang jatuh pada 26 April 2018.
Seminar dibuka dengan sambutan oleh Ketua Solidaritas ITB ’88 dan Ketua Ikatan Alumni ITB. Acara kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi oleh pembicara utama, Dr Armi Susandi.
Armi menjelaskan, bencana hidrometeorologi adalah bencana yang diakibatkan oleh parameter-parameter meteorologi seperti banjir, kekeringan, badai, dan longsor. Di Indonesia, frekuensi kejadian bencana hidrometeorologi termasuk tinggi dan menyebabkan kerugian yang signifikan bagi pemerintah dan masyarakat.
Pada 2017 terjadi 2.341 kali bencana hidrometeorologi dan merupakan 92% dari jumlah bencana yang terjadi di Indonesia. Jumlah ini diperkirakan akan terus meningkat menyusul fenomena perubahan iklim dan peningkatan kejadian cuaca ekstrem.
Kerugian akibat bencana sepanjang 2017 ditaksir mencapai Rp30 triliun. Selain itu, 377 orang dilaporkan meninggal dan hilang, 1.005 orang luka-luka dan 3.494.319 orang mengungsi dan menderita.
Bencana hidrometeorologi tersebut memiliki dampak yang besar terhadap kondisi sosial dan ekonomi masyarakat. Melihat besarnya dampak yang ditimbulkan, masyarakat dan pemerintah perlu meningkatkan kesiapsiagaan menghadapi bencana hidrometeorologi baik untuk jangka pendek, menengah dan panjang.
"Untuk mendukung hal tersebut, perlu dilakukan pengembangan teknologi monitoring dan prediksi kebencanaan hidrometeorologi, penyusunan tata ruang yang sesuai tingkat kerentanan bencana, dan kampanye untuk peningkatan pemahaman dampak dan pengurangan risiko bencana," katanya.
Saat ini pemerintah dan lembaga penelitian telah mengembangkan berbagai kajian maupun produk yang diterapkan di berbagai daerah rentan bencana hidrometeorologi.
Armi menyebut, proyeksi peningkatan temperatur dunia hingga 2100 sebagai gambaran bahwa frekuensi bencana hidrometeorologi akan terus meningkat di masa mendatang. Kondisi ini perlu segera diantisipasi melalui dukungan teknologi prediksi potensi kebencanaan yang presisi dan akurat.
"Riset yang dilakukannya telah berhasil mengemas teknologi prediksi potensi kebencanaan ke dalam sistem informasi yang dapat diakses semua kalangan dan dilengkapi dengan aksi dan adaptasi dini yang tepat," ujarnya.
Sejumlah sistem yang telah dihasilkan antara lain MHEWS, FEWEAS Bengawan Solo dan Citarum, hingga SICA kini telah diuji di lapangan dan mendapatkan respons positif dari pemerintah dan masyarakat.
Armi menuturkan, inovasi teknologi di bidang prediksi kebencanaan akan semakin dibutuhkan seiring dengan peningkatan pertumbuhan penduduk dan dampak perubahan iklim. Hal inilah yang akan menjadi tantangan bagi pemerintah dan masyarakat untuk terus mengembangkan teknologi-teknologi tepat guna yang dapat memperkuat kesiapsiagaan terhadap bencana hidrometeorologi.
“Kita perlu memanfaatkan peluang-peluang yang semakin terbuka, seperti perkembangan prasarana teknologi komputasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia, dan dukungan data yang semakin lengkap dan presisi”, tambah Armi.
Pemaparan yang disampaikan oleh Armi kemudian ditanggapi oleh sejumlah narasumber. Empat narasumber yang hadir adalah Kepala Pusat Meteorologi Maritim BMKG Nelly Florida Riama, Presiden Direktur PT. Netika Indonesia Christian H. Siboro, anggota DPR RI/MPR Permana Sari, dan Ahli Model Pusat Teknologi Inventarisasi Sumberdaya Alam BPPT Albert Sulaiman.
Nelly menyampaikan, BMKG sebagai badan pemerintah yang memiliki kewajiban untuk menyediakan layanan informasi mengenai cuaca, iklim, dan kegempaan terus berupaya membantu meningkatkan kesiapsiagaan masyarakat menghadapi bencana terkait Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (MKG) dan secara khusus bencana hidrometeorologis.
Caranya dengan memberikan edukasi kepada masyarakat di antaranya penggiat dan relawan bencana, petani serta nelayan melalui berbagai program kolaborasi dan kerjasama antara masyarakat dan pemerintah menjadi penting dalam menghadapi bencana.
“Di satu sisi, masyarakat harus memiliki kesadaran dan dipersiapkan agar mampu menghadapi bencana dengan siaga. Di sisi lain, para ahli dan petugas dengan kualifikasi yang baik dan jumlah yang cukup perlu disebar secara proporsional di daerah rawan bencana,” ujar Nelly.
Sementara itu, Christian menyoroti perlunya akselerator antara pemerintah dan masyarakat, misalnya media. Belajar dari pengalaman negara-negara yang sudah mapan dalam kesiapsiagaan bencana seperti Amerika Serikat dan Jepang, media perlu secara intensif menyampaikan prakiraan cuaca dan prediksi bencana kepada masyarakat.
(kri)