Mimpi Politis Nebukadnezar
A
A
A
Stevanus Subagijo Peneliti pada Center for National Urgency Studies Jakarta
TANDA kekuasaan telah menjadi berhala ialah ketakutan tidak memilikinya. Pemberhalaan menciptakan adiksi terhadap hal yang diberhalakan. Jika kekuasaan tidak kita miliki kita takut, panik, terancam, tanpa harapan dan merasa hancur. Maka kekuasaan harus direbut, dimiliki, apa pun caranya. Inilah berhala politik. Tren politik Amerika Serikat menandai gejala ini.
Partai apa pun yang menang pemilu menyebabkan pendukung dari partai yang kalah mengancam akan meninggalkan negeri itu. Mereka gelisah dan takut akan masa depan. Mereka percaya jika partai mereka tidak lagi berkuasa semua akan hancur berantakan. Mereka menutup mata bahwa banyak kesamaan partai mereka dengan partai pemenang, tapi mereka malah berfokus pada hal-hal yang membedakan. Hal-hal yang berseberangan membayangi dominan dan sebuah lingkungan beracun tercipta.
(Timothy Keller, 2016) Ketika bukan partai yang didukung menang dan memerintah, segala kebijakan dan risiko pemerintahan dilihat sebagai kejahatan dan bukan kesalahan. Dulu siapa pun yang menang sebagai presiden, meski bukan yang kita pilih, dia tetap dianggap sebagai presiden bersama, sekarang tidak lagi demikian. Setiap kali pemilihan, semakin besar jumlah rakyat yang melihat presiden terpilih kurang legitimasi. Polarisasi dan kepahitan politik semakin meningkat, ini tanda bahwa politik telah menjadi berhala.
Dirasuki Dirinya Sendiri
Kekuasaan bukan suatu yang buruk tapi mulia. Meski pemberhalaan terhadapnya bisa menjadi kontraproduktif bagi hakikat kemuliaan itu. Partai bertarung melawan partai, koalisi melawan koalisi, kandidat melawan kandidat semuanya membawa massanya masing-masing. Agar tahun politik tidak terjebak pada pemberhalaan kekuasaan yang menciptakan ketakutan, maka segala cara merebut kuasa, dendam dan kekerasan politik harus dijauhkan agar jangan sampai kekuasaan dirasuk oleh mimpi politiknya sendiri seperti kata Reinhold Neibuhr dalam The Nature and Destiny of Man. Cita-cita dan kebijakan politik serta berbagai turunannya memang diperlukan sebagai panduan dan serial kebaikan di mana politik itu dipakai untuk mengejawantahkan banyak hal. Semua merujuk pada rangkaian pemikiran yang koheren tentang berbagai hal, namun tetap bisa jatuh pada pemberhalaan yang negatif. Bagaimana bisa? Niebuhr bilang iya saja karena bagaimanapun semua itu merupakan penjelasan yang belum dan tidak akan lengkap ihwal keseluruhan realitas politik (termasuk sosial ekonomi) yang ada.
Saat kita bilang kitalah kelompok nasionalis, kelompok lain kita anggap tidak atau minimal kurang nasionalis. Jika kita mengusung persatuan, yang lain kita lihat memecah belah bangsa. Kita cemas jika mereka menang negeri akan hancur. Jika kita memihak kesejahteraan, kita pandang lawan kita penyengsara rakyat. Di bawah sadar muncul perasaan bahwa partai kitalah yang paling memiliki jawaban nyata dan lengkap bagi semua masalah rakyat dan bangsa. Inilah berhala politik, ketika politik justru “dirasuk” oleh dirinya sendiri. Dalam bahasa teologis, politik yang diberhalakan telah melupakan yang ultimat. Bahwa ada takdir politik di mana Tuhan bisa saja punya kehendak lain terhadap jalannya rezim dan kekuasaan yang memenangkan pemilu. Amerika harus menerima presiden keturunan Afrika berkulit hitam Barack Obama dalam dua periode. Tapi negeri yang sama juga harus menerima orang tak diunggulkan seperti Donald Trump bisa menggantikannya. Partai Demokrat, lembaga survei, media bahkan dunia berjuang mencegahnya, tapi takdir politik memutuskan lain.
Jalan Terbalik
Kekuasaan yang jadi berhala terus menciptakan altar idolanya. Kita menolak yang lain, yang berbeda, meski realita jujur kita butuh untuk saling bersama dan menolong. Sebaliknya terus meyakinkan diri bahwa kita masih memiliki kekuasaan, mampu merebutnya ataupun harus terus mengangkanginya. Padahal itu semua ilusi. Kegelisahan kosmis politis ini menciptakan kehendak berkuasa yang akut, mendominasi dan makin jatuh dalam pemberhalaan. Pilkada dan pilpres harus dijauhkan dari upaya meninggikan sebagian nilai dan tujuan pragmatis dan terbatas. Semua itu harus dihindarkan dari absolutisme yang cenderung meletakkannya sebagai “Jawaban Utama”. Upaya memosisikan sebagian nilai atau tujuan politik sebagai nilai tertinggi, membutakan banyak hal dari realitas. Demikian politik saling mencibir, klaim paling dan terbaik hanya untuk dirinya sendiri.
Bernard Madoff yang dihukum 150 tahun penjara bisa jadi contoh karena melakukan penipuan Ponzi. Madoff mengaku ia harusnya mengakui kegagalannya sebagai manajer keuangan. Namun, kekuasaan itu telah menjadi berhala dan ia malu mengakui bahwa ia gagal, penipuan terus berlanjut semakin besar otomatis kejatuhannya pun semakin sempurna. Ia berpura-pura tak terbatas, kuasa ekonominya bisa mengatasi semua problem. Orang berkuasa tidak suka mengakui betapa lemah mereka. Padahal, sembilan puluh sembilan persen dari apa yang mengatur arah hidup sama sekali di luar kendali mereka. Apalagi dalam konteks regional dan global, pemenang pemilu dipengaruhi banyak hal dan kepentingan domestik pun asing.
Pemberhalaan kekuasaan politik dan upaya untuk memenangkannya secara buta, tendensius segala cara, merupakan perangkap ilusi “kita mampu memegang kendali”. Kenyataannya itu semua semu dan tak mudah. Tahun politik bukan “tahun berhala kekuasaan”. Ada dua mimpi raja Nebukadnezar dari kerajaan Babilonia (sekarang Irak) yang makamnya ada di Susa, Iran.
Pertama, ia melihat patung tinggi menjulang sebagai gambaran kekuasaannya yang sangat besar. Kepala patung itu dari emas tapi makin ke bawah terbuat dari perak, tembaga, besi dan tanah liat. Sebuah batu terungkit mengenai kaki tanah liat itu dan patung pun ambruk. Arti mimpi raja adalah kritik diri untuk melihat bahwa di tengah puncak kekuasaan, harus menyadari selalu ada kelemahan dan itu semua titipan. Tujuannya agar tidak ada kesombongan yang muncul ketika kekuasaan dimiliki. Seemas-emasnya kekuasaan, kakinya dari tanah liat yang bisa saja rapuh bahkan oleh hal sepele.
Kedua, Nebukadnezar bermimpi melihat pohon besar menjulang ke langit, terlihat seantero bumi, semua makhluk makan daripadanya tapi tiba-tiba seorang kudus dari langit menebangnya dan hanya tersisa tunggulnya dalam tanah. Rezim bisa berhenti jika takdir menghendakinya, mimpi itu menyadarkan raja bahwa surgalah yang mempunyai kekuasaan, tidak usah lupa diri karena sewaktu-waktu bisa ditebang. Surga pun fair ada tunggul tersisa, jika kekuasaan mau mengoreksi diri, bisa saja dipercaya untuk berkuasa lagi.
Akhir kisah Nebukadnezar terhindar dari krisis, kekuasaan tetap dipegang, makin masyhur bahkan lebih besar dari yang dulu diberikan surga kepadanya. Cara untuk naik adalah turun dan cara untuk turun adalah naik. Itulah mimpi politis yang berhasil ditafsirkan abdi Tuhan bernama Danyah/Daniyah (orang Barat menyebutnya Daniel), seorang buangan pada masa pemerintahan raja Nebukadnezar di negeri Babel.
TANDA kekuasaan telah menjadi berhala ialah ketakutan tidak memilikinya. Pemberhalaan menciptakan adiksi terhadap hal yang diberhalakan. Jika kekuasaan tidak kita miliki kita takut, panik, terancam, tanpa harapan dan merasa hancur. Maka kekuasaan harus direbut, dimiliki, apa pun caranya. Inilah berhala politik. Tren politik Amerika Serikat menandai gejala ini.
Partai apa pun yang menang pemilu menyebabkan pendukung dari partai yang kalah mengancam akan meninggalkan negeri itu. Mereka gelisah dan takut akan masa depan. Mereka percaya jika partai mereka tidak lagi berkuasa semua akan hancur berantakan. Mereka menutup mata bahwa banyak kesamaan partai mereka dengan partai pemenang, tapi mereka malah berfokus pada hal-hal yang membedakan. Hal-hal yang berseberangan membayangi dominan dan sebuah lingkungan beracun tercipta.
(Timothy Keller, 2016) Ketika bukan partai yang didukung menang dan memerintah, segala kebijakan dan risiko pemerintahan dilihat sebagai kejahatan dan bukan kesalahan. Dulu siapa pun yang menang sebagai presiden, meski bukan yang kita pilih, dia tetap dianggap sebagai presiden bersama, sekarang tidak lagi demikian. Setiap kali pemilihan, semakin besar jumlah rakyat yang melihat presiden terpilih kurang legitimasi. Polarisasi dan kepahitan politik semakin meningkat, ini tanda bahwa politik telah menjadi berhala.
Dirasuki Dirinya Sendiri
Kekuasaan bukan suatu yang buruk tapi mulia. Meski pemberhalaan terhadapnya bisa menjadi kontraproduktif bagi hakikat kemuliaan itu. Partai bertarung melawan partai, koalisi melawan koalisi, kandidat melawan kandidat semuanya membawa massanya masing-masing. Agar tahun politik tidak terjebak pada pemberhalaan kekuasaan yang menciptakan ketakutan, maka segala cara merebut kuasa, dendam dan kekerasan politik harus dijauhkan agar jangan sampai kekuasaan dirasuk oleh mimpi politiknya sendiri seperti kata Reinhold Neibuhr dalam The Nature and Destiny of Man. Cita-cita dan kebijakan politik serta berbagai turunannya memang diperlukan sebagai panduan dan serial kebaikan di mana politik itu dipakai untuk mengejawantahkan banyak hal. Semua merujuk pada rangkaian pemikiran yang koheren tentang berbagai hal, namun tetap bisa jatuh pada pemberhalaan yang negatif. Bagaimana bisa? Niebuhr bilang iya saja karena bagaimanapun semua itu merupakan penjelasan yang belum dan tidak akan lengkap ihwal keseluruhan realitas politik (termasuk sosial ekonomi) yang ada.
Saat kita bilang kitalah kelompok nasionalis, kelompok lain kita anggap tidak atau minimal kurang nasionalis. Jika kita mengusung persatuan, yang lain kita lihat memecah belah bangsa. Kita cemas jika mereka menang negeri akan hancur. Jika kita memihak kesejahteraan, kita pandang lawan kita penyengsara rakyat. Di bawah sadar muncul perasaan bahwa partai kitalah yang paling memiliki jawaban nyata dan lengkap bagi semua masalah rakyat dan bangsa. Inilah berhala politik, ketika politik justru “dirasuk” oleh dirinya sendiri. Dalam bahasa teologis, politik yang diberhalakan telah melupakan yang ultimat. Bahwa ada takdir politik di mana Tuhan bisa saja punya kehendak lain terhadap jalannya rezim dan kekuasaan yang memenangkan pemilu. Amerika harus menerima presiden keturunan Afrika berkulit hitam Barack Obama dalam dua periode. Tapi negeri yang sama juga harus menerima orang tak diunggulkan seperti Donald Trump bisa menggantikannya. Partai Demokrat, lembaga survei, media bahkan dunia berjuang mencegahnya, tapi takdir politik memutuskan lain.
Jalan Terbalik
Kekuasaan yang jadi berhala terus menciptakan altar idolanya. Kita menolak yang lain, yang berbeda, meski realita jujur kita butuh untuk saling bersama dan menolong. Sebaliknya terus meyakinkan diri bahwa kita masih memiliki kekuasaan, mampu merebutnya ataupun harus terus mengangkanginya. Padahal itu semua ilusi. Kegelisahan kosmis politis ini menciptakan kehendak berkuasa yang akut, mendominasi dan makin jatuh dalam pemberhalaan. Pilkada dan pilpres harus dijauhkan dari upaya meninggikan sebagian nilai dan tujuan pragmatis dan terbatas. Semua itu harus dihindarkan dari absolutisme yang cenderung meletakkannya sebagai “Jawaban Utama”. Upaya memosisikan sebagian nilai atau tujuan politik sebagai nilai tertinggi, membutakan banyak hal dari realitas. Demikian politik saling mencibir, klaim paling dan terbaik hanya untuk dirinya sendiri.
Bernard Madoff yang dihukum 150 tahun penjara bisa jadi contoh karena melakukan penipuan Ponzi. Madoff mengaku ia harusnya mengakui kegagalannya sebagai manajer keuangan. Namun, kekuasaan itu telah menjadi berhala dan ia malu mengakui bahwa ia gagal, penipuan terus berlanjut semakin besar otomatis kejatuhannya pun semakin sempurna. Ia berpura-pura tak terbatas, kuasa ekonominya bisa mengatasi semua problem. Orang berkuasa tidak suka mengakui betapa lemah mereka. Padahal, sembilan puluh sembilan persen dari apa yang mengatur arah hidup sama sekali di luar kendali mereka. Apalagi dalam konteks regional dan global, pemenang pemilu dipengaruhi banyak hal dan kepentingan domestik pun asing.
Pemberhalaan kekuasaan politik dan upaya untuk memenangkannya secara buta, tendensius segala cara, merupakan perangkap ilusi “kita mampu memegang kendali”. Kenyataannya itu semua semu dan tak mudah. Tahun politik bukan “tahun berhala kekuasaan”. Ada dua mimpi raja Nebukadnezar dari kerajaan Babilonia (sekarang Irak) yang makamnya ada di Susa, Iran.
Pertama, ia melihat patung tinggi menjulang sebagai gambaran kekuasaannya yang sangat besar. Kepala patung itu dari emas tapi makin ke bawah terbuat dari perak, tembaga, besi dan tanah liat. Sebuah batu terungkit mengenai kaki tanah liat itu dan patung pun ambruk. Arti mimpi raja adalah kritik diri untuk melihat bahwa di tengah puncak kekuasaan, harus menyadari selalu ada kelemahan dan itu semua titipan. Tujuannya agar tidak ada kesombongan yang muncul ketika kekuasaan dimiliki. Seemas-emasnya kekuasaan, kakinya dari tanah liat yang bisa saja rapuh bahkan oleh hal sepele.
Kedua, Nebukadnezar bermimpi melihat pohon besar menjulang ke langit, terlihat seantero bumi, semua makhluk makan daripadanya tapi tiba-tiba seorang kudus dari langit menebangnya dan hanya tersisa tunggulnya dalam tanah. Rezim bisa berhenti jika takdir menghendakinya, mimpi itu menyadarkan raja bahwa surgalah yang mempunyai kekuasaan, tidak usah lupa diri karena sewaktu-waktu bisa ditebang. Surga pun fair ada tunggul tersisa, jika kekuasaan mau mengoreksi diri, bisa saja dipercaya untuk berkuasa lagi.
Akhir kisah Nebukadnezar terhindar dari krisis, kekuasaan tetap dipegang, makin masyhur bahkan lebih besar dari yang dulu diberikan surga kepadanya. Cara untuk naik adalah turun dan cara untuk turun adalah naik. Itulah mimpi politis yang berhasil ditafsirkan abdi Tuhan bernama Danyah/Daniyah (orang Barat menyebutnya Daniel), seorang buangan pada masa pemerintahan raja Nebukadnezar di negeri Babel.
(pur)