Hakim Artidjo dan Kasus Korupsi
A
A
A
Hakim Agung Artidjo Alkostar kembali membuat gebrakan. Bersama tim hakim agung lainnya, dia melipatgandakan hukuman dua mantan pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Dua terdakwa kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP itu diganjar hukuman menjadi masing-masing 15 tahun penjara.
Putusan hukuman kasasi yang dibuat Artidjo (hakim ketua) bersama hakim anggotanya, Abdul Latief dan MS Lumme, ini cukup tinggi. Di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 20 Juli 2017, Irman dan Sugiharto hanya divonis masing-masing tujuh dan lima tahun penjara.
Untuk sebuah kasus korupsi yang merugikan negara Rp3,2 triliun, dua terdakwa kasus e-KTP ini memang pantas dihukum berat. Hukuman 15 tahun penjara tampaknya cukup layak disematkan pada dua terdakwa tersebut.
Ada sejumlah makna di balik ketegasan Artidjo dan timnya yang berani memberikan hukuman berat bagi koruptor. Pertama, terobosan putusan berat bagi koruptor yang dibuat Artidjo ini memang bukan hal yang baru.
Hakim Artidjo dikenal galak terhadap koruptor. Hampir seluruh terdakwa korupsi yang ditanganinya selalu dilipatgandakan hukumannya. Ada sejumlah tokoh ataupun politikus yang terjerat kasus korupsi yang pernah merasakan ketegasannya.
Sebut saja mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Ketua MK Akil Mochtar, dan dua politisi Demokrat Angelina Sondakh serta Anas Urbaningrum. Ketegasan Artidjo ini akan membuat para terdakwa korupsi takut dan berpikir ulang untuk mengajukan kasasi.
Dan, memang sudah banyak terdakwa korupsi akhirnya memilih tidak mengajukan kasasi karena takut hukumannya malah dilipatgandakan.
Kedua, apa yang ditunjukkan Artidjo dan timnya ini setidaknya membuka sedikit harapan lagi tentang penegakan hukum dalam pemberantasan kasus korupsi yang sempat “meredup” akhir-akhir ini. Harus diakui kita sebenarnya sudah hampir putus asa berharap pada pemerintah dan aparat hukum untuk bisa menumpas korupsi dari Bumi Pertiwi. Bagaimana tidak. Kita sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan sejak 2002. Tapi apa hasilnya?
Apakah jumlah korupsi menurun? Kita sudah tahu jawabannya. Keberadaan KPK dan aparat hukum lain, Polri dan kejaksaan, hingga saat ini belum mampu memerangi korupsi. Bahkan, hampir tiap pekan kita mendengar KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah.
Sementara Polri dan kejaksaan belum bisa berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, kasus yang ditanganinya banyak yang di-SP3 alias dihentikan penyidikannya. Karena itu, ketegasan sosok seperti Artidjo ini setidaknya memberikan angin segar dan harapan bagi kita untuk bisa menghilangkan korupsi dari Indonesia.
Ketiga, putusan Mahkamah Agung terhadap Irman dan Sugiharto ini seharusnya menjadi preseden yang baik untuk ditiru oleh aparat hukum lain agar tidak bermain-main dengan kasus korupsi yang telah menghancurkan negara ini. Hukuman berat ini diharapkan menjadi penyemangat para penegak hukum lainnya untuk ikut tegas terhadap koruptor.
Kita berharap muncul Artidjo-Artidjo lain di berbagai lembaga-lembaga hukum kita, karena seorang Artidjo sendirian tak akan mampu berbuat banyak dalam mengenyahkan korupsi yang telah membudaya di negara ini.
Membebaskan negara ini dari budaya korupsi memang bukan pekerjaan gampang. Pasalnya, praktik korupsi sudah seperti membudaya mulai dari tingkat terendah sampai level tertinggi di pemerintahan pusat.
Yang dibutuhkan saat ini adalah komitmen seluruh anak bangsa untuk membangun kesadaran bersama bahwa korupsi merupakan musuh bersama yang harus dihancurkan. Langkah apa pun tidak akan berhasil memberantas korupsi tanpa ada komitmen bersama dan dilaksanakan secara serius oleh seluruh masyarakat.
Saat ini kita sudah banyak memiliki aparat hukum maupun aturan terkait pemberantasan korupsi. Hanya, karena tak ada komitmen serius, korupsi tetap marak terjadi. Mari kita mulai dari diri kita untuk tidak korupsi.
Putusan hukuman kasasi yang dibuat Artidjo (hakim ketua) bersama hakim anggotanya, Abdul Latief dan MS Lumme, ini cukup tinggi. Di Pengadilan Tipikor Jakarta pada 20 Juli 2017, Irman dan Sugiharto hanya divonis masing-masing tujuh dan lima tahun penjara.
Untuk sebuah kasus korupsi yang merugikan negara Rp3,2 triliun, dua terdakwa kasus e-KTP ini memang pantas dihukum berat. Hukuman 15 tahun penjara tampaknya cukup layak disematkan pada dua terdakwa tersebut.
Ada sejumlah makna di balik ketegasan Artidjo dan timnya yang berani memberikan hukuman berat bagi koruptor. Pertama, terobosan putusan berat bagi koruptor yang dibuat Artidjo ini memang bukan hal yang baru.
Hakim Artidjo dikenal galak terhadap koruptor. Hampir seluruh terdakwa korupsi yang ditanganinya selalu dilipatgandakan hukumannya. Ada sejumlah tokoh ataupun politikus yang terjerat kasus korupsi yang pernah merasakan ketegasannya.
Sebut saja mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq, mantan Ketua MK Akil Mochtar, dan dua politisi Demokrat Angelina Sondakh serta Anas Urbaningrum. Ketegasan Artidjo ini akan membuat para terdakwa korupsi takut dan berpikir ulang untuk mengajukan kasasi.
Dan, memang sudah banyak terdakwa korupsi akhirnya memilih tidak mengajukan kasasi karena takut hukumannya malah dilipatgandakan.
Kedua, apa yang ditunjukkan Artidjo dan timnya ini setidaknya membuka sedikit harapan lagi tentang penegakan hukum dalam pemberantasan kasus korupsi yang sempat “meredup” akhir-akhir ini. Harus diakui kita sebenarnya sudah hampir putus asa berharap pada pemerintah dan aparat hukum untuk bisa menumpas korupsi dari Bumi Pertiwi. Bagaimana tidak. Kita sudah punya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang didirikan sejak 2002. Tapi apa hasilnya?
Apakah jumlah korupsi menurun? Kita sudah tahu jawabannya. Keberadaan KPK dan aparat hukum lain, Polri dan kejaksaan, hingga saat ini belum mampu memerangi korupsi. Bahkan, hampir tiap pekan kita mendengar KPK melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap kepala daerah.
Sementara Polri dan kejaksaan belum bisa berbuat banyak dalam pemberantasan korupsi. Bahkan, kasus yang ditanganinya banyak yang di-SP3 alias dihentikan penyidikannya. Karena itu, ketegasan sosok seperti Artidjo ini setidaknya memberikan angin segar dan harapan bagi kita untuk bisa menghilangkan korupsi dari Indonesia.
Ketiga, putusan Mahkamah Agung terhadap Irman dan Sugiharto ini seharusnya menjadi preseden yang baik untuk ditiru oleh aparat hukum lain agar tidak bermain-main dengan kasus korupsi yang telah menghancurkan negara ini. Hukuman berat ini diharapkan menjadi penyemangat para penegak hukum lainnya untuk ikut tegas terhadap koruptor.
Kita berharap muncul Artidjo-Artidjo lain di berbagai lembaga-lembaga hukum kita, karena seorang Artidjo sendirian tak akan mampu berbuat banyak dalam mengenyahkan korupsi yang telah membudaya di negara ini.
Membebaskan negara ini dari budaya korupsi memang bukan pekerjaan gampang. Pasalnya, praktik korupsi sudah seperti membudaya mulai dari tingkat terendah sampai level tertinggi di pemerintahan pusat.
Yang dibutuhkan saat ini adalah komitmen seluruh anak bangsa untuk membangun kesadaran bersama bahwa korupsi merupakan musuh bersama yang harus dihancurkan. Langkah apa pun tidak akan berhasil memberantas korupsi tanpa ada komitmen bersama dan dilaksanakan secara serius oleh seluruh masyarakat.
Saat ini kita sudah banyak memiliki aparat hukum maupun aturan terkait pemberantasan korupsi. Hanya, karena tak ada komitmen serius, korupsi tetap marak terjadi. Mari kita mulai dari diri kita untuk tidak korupsi.
(nag)