Ujian Nasional dan Ironi Soal HOTS
A
A
A
Udi Utomo
Guru SMP 5 Kabupaten Pati, Jawa Tengah
BEBERAPA hari terakhir ini media sosial diramaikan posting berisi keluhan siswa SMA setelah mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Mereka mengeluhkan sulitnya mengerjakan soal-soal UNBK. Menurut mereka percuma belajar mati-matian kalau apa yang mereka pelajari tidak keluar pada saat UNBK.
Menyikapi persoalan ini Mendikbud Muhadjir Effendy telah menyampaikan permintaan maaf. Mendikbud meminta maaf karena telah menyulitkan para siswa dalam mengerjakan soal UNBK. Menurut Mendikbud, memang benar ada penambahan tingkat kesulitan soal UNBK. Ini karena mulai tahun ini ada 20% soal UNBK sudah menggunakan jenis soal HOTS (higher order thinking skills). Jenis soal yang levelnya lebih tinggi dari soal-soal UNBK tahun-tahun sebelumnya.
Soal HOTS merupakan jenis soal standar pada tes internasional. Ada beberapa tes internasional. Salah satunya tes internasional yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. OECD menyelenggarakan tes internasional Programme for International Student Assessment (PISA).
Tes internasional ini dilaksanakan tiap tiga tahun sekali untuk mengukur kemampuan siswa SMP (usia 15 tahun) dalam membaca, matematika, dan sains. Pada tes PISA tahun ini (2018) ada penambahan bidang yang diujikan yaitu financial literacy dan global competency. Indonesia menjadi salah satu negara peserta dalam tes internasional ini.
Selain PISA, ada tes internasional yang diselenggarakan oleh The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) atau Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan. IEA menyelenggarakan dua tes internasional, yaitu Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) dan tes Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Tes internasional PIRLS bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam membaca, sedangkan tes internasional TIMSS untuk mengukur kemampuan siswa dalam matematika dan sains. Kedua tes internasional tersebut (PIRLS dan TIMSS) diperuntukkan bagi siswa kelas IV SD yang pelaksanaannya tiap lima tahun sekali.
Mendikbud sendiri memiliki alasan mengapa mulai menerapkan soal-soal HOTS pada UNBK tahun ini. Menurut Menteri, itu merupakan salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dari negara-negara lain. Memang, dari beberapa kali keikutsertaan siswa Indonesia pada tes internasional PISA, belum ada hasil yang menggembirakan. Pada tes PISA 2012 Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara peserta.
Peringkat Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura (peringkat 2), Vietnam (peringkat 17), Thailand (peringkat 50), dan Malaysia (peringkat 52). Begitu pun pada hasil tes PISA 2015, peringkat Indonesia belum beranjak dari tes sebelumnya, yaitu peringkat 69 dari 76 negara peserta. Untuk tes PISA tahun ini (2018) belum dapat di-ketahui hasilnya. Tes PISA baru akan dilaksanakan pada akhir April ini. Kita tunggu, apakah ada perbaikan atau masih seperti tes sebelum-sebelumnya.
Kualitas Pembelajaran
Kini di benak kita adalah pertanyaan, mengapa jenis soal HOTS sulit untuk siswa Indonesia, sehingga sampai ada keluhan dan menjadi viral dari para siswa SMA yang kesulitan mengerjakan soal UNBK tahun ini?
Sebenarnya soal jenis HOTS tidak serumit seperti yang dikeluhkan para siswa SMA tersebut. Mereka merasakan itu sulit karena siswa tidak terbiasa dengan soal-soal HOTS. Mengapa tidak terbiasa? Karena pembelajaran di sekolah guru belum menerapkan pembelajaran HOTS.
Saat ini guru masih menerapkan pembelajaran konvensional. Guru masih mengajar dengan paradigma lama. Paradigma lama mengajar hanya sebatas agar siswa dapat menghafal fakta-fakta, konsep-konsep. Bagi guru dengan paradigma lama mengajar hanya persoalan bagaimana menyampaikan materi yang ada dalam buku paket.
Kalau ada keluhan dari siswa SMA yang menyatakan bahwa apa yang mereka pelajari di kelas tidak sesuai dengan yang ada pada soal-soal UNBK, itu wajar. Alasannya, karena guru selama ini mengajar untuk tujuan agar siswa dapat menjawab soal-soal hafalan. Padahal, soal yang harus diselesaikan membutuhkan analisis sehingga siswa mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya.
Pembelajaran HOTS tidaklah mudah. Pembelajaran tidak sekadar menghafal fakta, konsep. Peran guru tidak cuma berceramah dan siswa mendengarkan. Harus ada perubahan peran yang dimainkan guru. Guru tidak lagi menjadi pusat utama mengajar. Peran guru lebih banyak menjadi fasilitator. Guru memfasilitasi dalam menata lingkungan belajar supaya siswa melakukan atau beraktivitas, mencari, dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Harus ada pemahaman dan kemauan guru dalam mengubah peran barunya. Butuh kerja keras agar guru mampu dalam menata lingkungan belajar yang dapat menjadikan siswa tertantang mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang ingin dipelajarinya. Guru harus memiliki penguasaan bidang ilmu dan pedagogi yang kuat.
Pembelajaran HOTS bertujuan agar siswa memiliki keterampilan berpikir kritis dan analisis. Guru harus dapat menyajikan pembelajaran yang tujuannya mengarah pada keterampilan tersebut. Agar tujuan mendapatkan keterampilan tersebut tercapai, pembelajaran harus berbasis pada masalah. Ini karena ketika menyelesaikan suatu masalah siswa harus menggunakan cara berpikir kritis dan analitis. Makin sering siswa dilatih menyelesaikan suatu masalah makin baik tingkat keterampilan menganalisisnya.
Ada banyak kendala dalam menerapkan pembelajaran HOTS. Pertama, kualitas guru. Kualitas guru masih rendah. Ini terlihat dari hasil uji kompetensi guru (UKG) 2015 yang hasilnya hanya mendapatkan nilai rata-rata nasional 56,69. Dengan kualitas yang rendah, guru akan kesulitan dalam menerapkan pembelajaran HOTS.
Kedua, minimnya kemampuan literasi siswa. Kemampuan literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut UNESCO (2012) hanya ada 1 orang dari 1.000 orang yang memiliki minat baca. Sulit menerapkan pembelajaran HOTS tanpa didukung kemampuan literasi. Contoh negara yang sukses dalam tes internasional PISA adalah Finlandia. Mereka selalu mendapat peringkat pertama dalam tes PISA.
Menurut Sahlberg (2014), salah satu kunci keberhasilan Finlandia adalah adanya budaya baca yang sudah mengakar kuat pada masyarakat negara yang terletak di Eropa bagian utara tersebut. Lingkungan keluarga mencontohkan literasi sehingga anak-anak kecil sudah terbiasa dengan budaya baca.
Tanpa kemampuan literasi dan sumber referensi yang memadai akan sulit menerapkan pembelajaran HOTS. Pembelajaran HOTS butuh dukungan referensi memadai baik buku-buku maupun sumber digital seperti ketersediaan internet. Kasus keluhan siswa SMA yang kesulitan mengerjakan soal UNBK lalu menjadi viral dapat menjadi refleksi.
Bahwa memang masih banyak masalah-masalah pendidikan yang harus kita selesaikan. Mendikbud dapat menjadikan ini sebagai bahan evaluasi. Ada banyak rintangan, tetapi kita harus tetap optimistis. Harus terus berbenah dan terus melakukan perbaikan agar negara ini dapat mengejar dan menyejajarkan diri dengan kualitas pendidikan negara-negara lain.
Guru SMP 5 Kabupaten Pati, Jawa Tengah
BEBERAPA hari terakhir ini media sosial diramaikan posting berisi keluhan siswa SMA setelah mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Mereka mengeluhkan sulitnya mengerjakan soal-soal UNBK. Menurut mereka percuma belajar mati-matian kalau apa yang mereka pelajari tidak keluar pada saat UNBK.
Menyikapi persoalan ini Mendikbud Muhadjir Effendy telah menyampaikan permintaan maaf. Mendikbud meminta maaf karena telah menyulitkan para siswa dalam mengerjakan soal UNBK. Menurut Mendikbud, memang benar ada penambahan tingkat kesulitan soal UNBK. Ini karena mulai tahun ini ada 20% soal UNBK sudah menggunakan jenis soal HOTS (higher order thinking skills). Jenis soal yang levelnya lebih tinggi dari soal-soal UNBK tahun-tahun sebelumnya.
Soal HOTS merupakan jenis soal standar pada tes internasional. Ada beberapa tes internasional. Salah satunya tes internasional yang diselenggarakan oleh Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. OECD menyelenggarakan tes internasional Programme for International Student Assessment (PISA).
Tes internasional ini dilaksanakan tiap tiga tahun sekali untuk mengukur kemampuan siswa SMP (usia 15 tahun) dalam membaca, matematika, dan sains. Pada tes PISA tahun ini (2018) ada penambahan bidang yang diujikan yaitu financial literacy dan global competency. Indonesia menjadi salah satu negara peserta dalam tes internasional ini.
Selain PISA, ada tes internasional yang diselenggarakan oleh The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) atau Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan. IEA menyelenggarakan dua tes internasional, yaitu Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) dan tes Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS).
Tes internasional PIRLS bertujuan untuk mengukur kemampuan siswa dalam membaca, sedangkan tes internasional TIMSS untuk mengukur kemampuan siswa dalam matematika dan sains. Kedua tes internasional tersebut (PIRLS dan TIMSS) diperuntukkan bagi siswa kelas IV SD yang pelaksanaannya tiap lima tahun sekali.
Mendikbud sendiri memiliki alasan mengapa mulai menerapkan soal-soal HOTS pada UNBK tahun ini. Menurut Menteri, itu merupakan salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dari negara-negara lain. Memang, dari beberapa kali keikutsertaan siswa Indonesia pada tes internasional PISA, belum ada hasil yang menggembirakan. Pada tes PISA 2012 Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara peserta.
Peringkat Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura (peringkat 2), Vietnam (peringkat 17), Thailand (peringkat 50), dan Malaysia (peringkat 52). Begitu pun pada hasil tes PISA 2015, peringkat Indonesia belum beranjak dari tes sebelumnya, yaitu peringkat 69 dari 76 negara peserta. Untuk tes PISA tahun ini (2018) belum dapat di-ketahui hasilnya. Tes PISA baru akan dilaksanakan pada akhir April ini. Kita tunggu, apakah ada perbaikan atau masih seperti tes sebelum-sebelumnya.
Kualitas Pembelajaran
Kini di benak kita adalah pertanyaan, mengapa jenis soal HOTS sulit untuk siswa Indonesia, sehingga sampai ada keluhan dan menjadi viral dari para siswa SMA yang kesulitan mengerjakan soal UNBK tahun ini?
Sebenarnya soal jenis HOTS tidak serumit seperti yang dikeluhkan para siswa SMA tersebut. Mereka merasakan itu sulit karena siswa tidak terbiasa dengan soal-soal HOTS. Mengapa tidak terbiasa? Karena pembelajaran di sekolah guru belum menerapkan pembelajaran HOTS.
Saat ini guru masih menerapkan pembelajaran konvensional. Guru masih mengajar dengan paradigma lama. Paradigma lama mengajar hanya sebatas agar siswa dapat menghafal fakta-fakta, konsep-konsep. Bagi guru dengan paradigma lama mengajar hanya persoalan bagaimana menyampaikan materi yang ada dalam buku paket.
Kalau ada keluhan dari siswa SMA yang menyatakan bahwa apa yang mereka pelajari di kelas tidak sesuai dengan yang ada pada soal-soal UNBK, itu wajar. Alasannya, karena guru selama ini mengajar untuk tujuan agar siswa dapat menjawab soal-soal hafalan. Padahal, soal yang harus diselesaikan membutuhkan analisis sehingga siswa mengalami kesulitan untuk menyelesaikannya.
Pembelajaran HOTS tidaklah mudah. Pembelajaran tidak sekadar menghafal fakta, konsep. Peran guru tidak cuma berceramah dan siswa mendengarkan. Harus ada perubahan peran yang dimainkan guru. Guru tidak lagi menjadi pusat utama mengajar. Peran guru lebih banyak menjadi fasilitator. Guru memfasilitasi dalam menata lingkungan belajar supaya siswa melakukan atau beraktivitas, mencari, dan menemukan sendiri materi pelajaran.
Harus ada pemahaman dan kemauan guru dalam mengubah peran barunya. Butuh kerja keras agar guru mampu dalam menata lingkungan belajar yang dapat menjadikan siswa tertantang mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang ingin dipelajarinya. Guru harus memiliki penguasaan bidang ilmu dan pedagogi yang kuat.
Pembelajaran HOTS bertujuan agar siswa memiliki keterampilan berpikir kritis dan analisis. Guru harus dapat menyajikan pembelajaran yang tujuannya mengarah pada keterampilan tersebut. Agar tujuan mendapatkan keterampilan tersebut tercapai, pembelajaran harus berbasis pada masalah. Ini karena ketika menyelesaikan suatu masalah siswa harus menggunakan cara berpikir kritis dan analitis. Makin sering siswa dilatih menyelesaikan suatu masalah makin baik tingkat keterampilan menganalisisnya.
Ada banyak kendala dalam menerapkan pembelajaran HOTS. Pertama, kualitas guru. Kualitas guru masih rendah. Ini terlihat dari hasil uji kompetensi guru (UKG) 2015 yang hasilnya hanya mendapatkan nilai rata-rata nasional 56,69. Dengan kualitas yang rendah, guru akan kesulitan dalam menerapkan pembelajaran HOTS.
Kedua, minimnya kemampuan literasi siswa. Kemampuan literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut UNESCO (2012) hanya ada 1 orang dari 1.000 orang yang memiliki minat baca. Sulit menerapkan pembelajaran HOTS tanpa didukung kemampuan literasi. Contoh negara yang sukses dalam tes internasional PISA adalah Finlandia. Mereka selalu mendapat peringkat pertama dalam tes PISA.
Menurut Sahlberg (2014), salah satu kunci keberhasilan Finlandia adalah adanya budaya baca yang sudah mengakar kuat pada masyarakat negara yang terletak di Eropa bagian utara tersebut. Lingkungan keluarga mencontohkan literasi sehingga anak-anak kecil sudah terbiasa dengan budaya baca.
Tanpa kemampuan literasi dan sumber referensi yang memadai akan sulit menerapkan pembelajaran HOTS. Pembelajaran HOTS butuh dukungan referensi memadai baik buku-buku maupun sumber digital seperti ketersediaan internet. Kasus keluhan siswa SMA yang kesulitan mengerjakan soal UNBK lalu menjadi viral dapat menjadi refleksi.
Bahwa memang masih banyak masalah-masalah pendidikan yang harus kita selesaikan. Mendikbud dapat menjadikan ini sebagai bahan evaluasi. Ada banyak rintangan, tetapi kita harus tetap optimistis. Harus terus berbenah dan terus melakukan perbaikan agar negara ini dapat mengejar dan menyejajarkan diri dengan kualitas pendidikan negara-negara lain.
(thm)