Ujian Nasional dan Ironi Soal HOTS

Kamis, 19 April 2018 - 09:00 WIB
Ujian Nasional dan Ironi...
Ujian Nasional dan Ironi Soal HOTS
A A A
Udi Utomo
Guru SMP 5 Kabupaten Pati, Jawa Tengah

BEBERAPA hari ter­akhir ini media sosial diramaikan posting berisi keluhan sis­wa SMA setelah mengikuti ujian nasional berbasis komputer (UNBK). Mereka mengeluhkan sulitnya mengerjakan soal-soal UNBK. Menurut mereka per­cuma belajar mati-matian kalau apa yang mereka pelajari tidak keluar pada saat UNBK.

Menyikapi persoalan ini Mendikbud Muhadjir Effendy telah menyampaikan permin­ta­an maaf. Mendikbud meminta maaf karena telah menyulitkan para siswa dalam mengerjakan soal UNBK. Menurut Mendikbud, me­mang benar ada penambahan tingkat kesulitan soal UNBK. Ini karena mulai tahun ini ada 20% soal UNBK sudah menggunakan jenis soal HOTS (higher order thinking skills). Jenis soal yang levelnya lebih tinggi dari soal-soal UNBK tahun-tahun sebelumnya.

Soal HOTS merupakan jenis soal standar pada tes inter­nasional. Ada beberapa tes inter­nasional. Salah satunya tes inter­nasional yang diseleng­garakan oleh Organization for Economic Cooperation and Develop­ment (OECD) atau Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi. OECD menyeleng­gara­kan tes internasional Programme for International Student Assess­ment (PISA).

Tes internasional ini dilaksanakan tiap tiga tahun se­kali untuk mengukur kemam­puan siswa SMP (usia 15 tahun) dalam membaca, matematika, dan sains. Pada tes PISA tahun ini (2018) ada penambahan bidang yang diujikan yaitu financial literacy dan global competency. Indonesia menjadi salah satu negara peserta dalam tes inter­nasional ini.

Selain PISA, ada tes inter­nasional yang diselenggarakan oleh The International Association for the Evaluation of Educational Achievement (IEA) atau Asosiasi Internasional untuk Evaluasi Prestasi Pendidikan. IEA me­nye­leng­garakan dua tes inter­nasio­nal, yaitu Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) dan tes Trends in International Mathematics and Science Studies (TIMSS).

Tes internasional PIRLS bertujuan untuk mengukur ke­mam­puan siswa dalam membaca, se­dangkan tes internasional TIMSS untuk mengukur kemampuan siswa dalam matematika dan sains. Kedua tes inter­nasio­nal tersebut (PIRLS dan TIMSS) diperuntukkan bagi siswa kelas IV SD yang pelaksanaannya tiap lima tahun sekali.

Mendikbud sendiri memiliki alasan mengapa mulai mene­rap­kan soal-soal HOTS pada UNBK tahun ini. Menurut Menteri, itu merupakan salah satu cara untuk mengejar ketertinggalan pendidikan Indonesia dari negara-negara lain. Memang, dari beberapa kali keikutsertaan siswa Indonesia pada tes inter­nasional PISA, belum ada hasil yang menggembirakan. Pada tes PISA 2012 Indonesia berada pada peringkat 64 dari 65 negara peserta.

Peringkat Indonesia berada di bawah negara-negara ASEAN seperti Singapura (pe­ringkat 2), Vietnam (peringkat 17), Thailand (peringkat 50), dan Malaysia (peringkat 52). Begitu pun pada hasil tes PISA 2015, peringkat Indonesia be­lum beranjak dari tes sebelu­mnya, yaitu peringkat 69 dari 76 ne­gara peserta. Untuk tes PISA tahun ini (2018) belum dapat di-ketahui hasilnya. Tes PISA baru akan dilaksanakan pada akhir April ini. Kita tunggu, apakah ada perbaikan atau masih se­perti tes sebelum-sebelumnya.

Kualitas Pembelajaran
Kini di benak kita adalah pertanyaan, mengapa jenis soal HOTS sulit untuk siswa Indo­nesia, sehingga sampai ada keluhan dan menjadi viral dari para siswa SMA yang kesulitan mengerjakan soal UNBK tahun ini?

Sebenarnya soal jenis HOTS tidak serumit seperti yang di­keluhkan para siswa SMA ter­sebut. Mereka merasakan itu sulit karena siswa tidak terbiasa dengan soal-soal HOTS. Mengapa tidak terbiasa? Karena pembelajaran di sekolah guru belum menerapkan pembelajar­an HOTS.

Saat ini guru masih me­ne­rapkan pembelajaran konven­sional. Guru masih mengajar de­ngan paradigma lama. Para­digma lama mengajar hanya se­batas agar siswa dapat meng­hafal fakta-fakta, konsep-kon­sep. Bagi guru dengan para­digma lama me­ngajar hanya persoalan bagai­mana menyampaikan materi yang ada dalam buku paket.

Kalau ada keluhan dari siswa SMA yang menyatakan bahwa apa yang mereka pelajari di kelas tidak sesuai dengan yang ada pada soal-soal UNBK, itu wajar. Alasan­nya, karena guru selama ini meng­ajar untuk tujuan agar siswa dapat menjawab soal-soal hafalan. Pada­hal, soal yang ha­rus di­sele­sai­­kan membutuhkan analisis se­hingga siswa meng­alami kesulit­an untuk menye­lesaikannya.

Pembelajaran HOTS tidak­lah mudah. Pembelajaran tidak seka­dar menghafal fakta, kon­sep. Peran guru tidak cuma ber­ceramah dan siswa mende­ngar­kan. Harus ada perubahan peran yang dimain­kan guru. Guru tidak lagi menjadi pusat utama mengajar. Peran guru lebih ba­nyak menjadi fasili­tator. Guru memfasilitasi dalam menata lingkungan belajar su­paya siswa melakukan atau ber­aktivitas, mencari, dan me­ne­mu­k­an sen­diri materi pelajaran.

Harus ada pemahaman dan kemauan guru dalam mengubah peran barunya. Butuh kerja keras agar guru mampu dalam menata lingkungan belajar yang dapat menjadikan siswa tertan­tang mencari dan menemukan sendiri pengetahuan yang ingin dipelajarinya. Guru harus me­miliki penguasaan bidang ilmu dan pedagogi yang kuat.

Pembelajaran HOTS ber­tuju­an agar siswa memiliki kete­ram­pilan berpikir kritis dan analisis. Guru harus dapat menyajikan pembelajaran yang tujuannya mengarah pada ke­teram­pilan ter­sebut. Agar tuju­an mendapatkan keterampilan tersebut tercapai, pembelajaran harus berbasis pada masalah. Ini karena ketika menyelesaikan suatu masalah siswa harus meng­gunakan cara berpikir kritis dan analitis. Makin sering siswa dilatih menyele­sai­kan suatu masalah makin baik ting­kat keterampilan meng­analisisnya.

Ada banyak kendala dalam me­nerapkan pembelajaran HOTS. Pertama, kualitas guru. Kualitas guru masih rendah. Ini terlihat dari hasil uji kompetensi guru (UKG) 2015 yang hasilnya hanya men­dapatkan nilai rata-rata nasional 56,69. Dengan kualitas yang ren­dah, guru akan kesulitan dalam me­nerapkan pembelajaran HOTS.

Kedua, minimnya ke­mam­puan literasi siswa. Kemampuan literasi masyarakat Indonesia masih rendah. Menurut UNESCO (2012) hanya ada 1 orang dari 1.000 orang yang me­miliki minat baca. Sulit me­ne­rap­kan pem­be­lajaran HOTS tanpa didukung kemampuan literasi. Contoh negara yang sukses dalam tes internasional PISA adalah Fin­landia. Mereka selalu mendapat peringkat per­tama dalam tes PISA.

Menurut Sahlberg (2014), salah satu kunci keberhasilan Finlandia adalah adanya budaya baca yang sudah mengakar kuat pada ma­syarakat negara yang terletak di Eropa bagian utara tersebut. Lingkungan keluarga mencon­tohkan literasi sehingga anak-anak kecil sudah terbiasa de­ngan budaya baca.

Tanpa kemampuan literasi dan sumber referensi yang me­madai akan sulit menerapkan pembelajaran HOTS. Pem­bela­jar­an HOTS butuh dukungan referensi memadai baik buku-buku maupun sumber digital seperti ketersediaan internet. Kasus keluhan siswa SMA yang kesulitan mengerjakan soal UNBK lalu menjadi viral dapat menjadi refleksi.

Bahwa memang masih banyak masalah-masalah pendidikan yang harus kita selesaikan. Mendikbud dapat menjadikan ini sebagai bahan evaluasi. Ada banyak rintangan, tetapi kita harus tetap optimistis. Harus terus berbenah dan terus melakukan perbaikan agar negara ini dapat mengejar dan menyejajarkan diri dengan kua­litas pendidikan negara-negara lain.
(thm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0511 seconds (0.1#10.140)