Kegaduhan Hukum atas Putusan Hakim Effendi
A
A
A
Abdul Gafur Sangadji
Penggiat Hukum, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Pascaputusan hakim tunggal Effendi Mukhtar yang mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (9/4), muncul kegaduhan hukum yang meluas. Pertama, kegaduhan itu terkait dengan amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN JKT.SEL Tahun 2018 yang memerintahkan termohon KPK melanjutkan penyidikan kasus korupsi Bank Century dan menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka.
Kedua, kegaduhan hukum lainnya adalah putusan tersebut telah menabrak hukum acara pidana karena hakim telah melampaui kewenangan dalam menafsirkan hukum acara pidana secara luas. Padahal norma hukum praperadilan begitu limitatif sebagaimana diatur Pasal 77 KUHAP. Putusan tersebut mencerminkan kebebasan hakim tanpa batas dalam menafsirkan kaidah hukum yang sudah ada.
Dari perspektif sosiologi hukum, putusan hakim Effendi seperti menyuguhkan "rasa keadilan" bagi masyarakat antikorupsi, karena memberi harapan di tengah pesimisme publik atas stagnasi proses hukum terhadap kasus-kasus korupsi kelas kakap. Tetapi dari sisi yuridis normatif, putusan tersebut patut dikaji secara kritis apakah pertimbangannya sesuai hukum acara pidana dianut. Bagi kalangan yang pro dengan putusan itu, hal mereka apresiasi adalah keberanian hakim Effendi dalam menerobos hukum acara sebagai bentuk keberpihakannya pada etos pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan KPK.
Namun hemat saya, putusan itu merupakan bentuk dari penyimpangan yang dilakukan hakim dalam menafsirkan norma hukum karena kompetensi praperadilan telah diatur secara limitatif dalam KUHAP. Tidak bisa atas nama independensi, hakim menabrak aturan hukum yang sudah ada dengan secara kreatif membuat putusan tidak memiliki dasar kaidah. Oleh karena hukum acara berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia, maka hakim tidak diperbolehkan secara kreatif membuat putusan melampaui wewenang dan menabrak hukum. Hukum acara bersifat ketat karena berkaitan dengan perlindungan hukum bagi seseorang dalam kedudukannya sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana.
Pada lain pihak, kalangan yang pro barangkali percaya bahwa putusan hakim Effendi merupakan bentuk penemuan hukum (rechtsvinding), tetapi secara doktrin hal itu dapat diperdebatkan. Dalam aliran rechtsvinding sebagaimana dianut dalam doktrin hukum Indonesia, hakim memang mempunyai kebebasan dalam menafsirkan UU, tetapi kebebasan tersebut dibatasi karena hakim terikat pada UU. Dengan begitu, dalam melakukan tugasnya, hakim mempunyai apa yang disebut sebagai "kebebasan yang terikat" (Gebonden-Vrijheid) atau "keterikatan yang bebas" (Vrije-Gebondenheid). Oleh karena itu, dalam doktrin, penemuan hukum terbatas pada sejauh mana hakim menafsirkan suatu peristiwa hukum yang dimohonkan untuk diperiksa, diadili, dan diputus, jika norma hukum yang mengatur hal dimohonkan tersebut belum mempunyai dasar hukum atau bila sudah ada namun belum secara tegas diatur dalam UU.
Dalam hal kewenangan lembaga praperadilan, Pasal 77 KUHAP sudah sedemikian jelas dan bersifat limitatif mengaturnya, yaitu memeriksa dan memutus sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Mahkamah Konstitusi telah memperluas kewenangan praperadilan termasuk dalam penetapan tersangka dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014.
Masalahnya, putusan hakim Effendi tersebut melampaui kewenangan praperadilan. Dengan amar memerintahkan termohon KPK meneruskan penyidikan dan menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka, maka hakim Effendi telah menabrak hukum acara pidana. Hakim tidak boleh mengabulkan permohonan praperadilan untuk memerintahkan termohon KPK menetapkan tersangka karena mekanisme penetapan tersangka telah diatur dalam hukum acara pidana secara jelas.
Mengacaukan Penetapan Tersangka
Putusan hakim Effendi menambah lagi daftar putusan hakim praperadilan yang makin kreatif menafsirkan Pasal 77 KUHAP. Hakim tidak boleh dengan kreativitas sendiri menafsirkan sesuatu secara jelas dan tegas sudah diatur dalam KUHAP. Putusan praperadilan hakim Effendi telah mengacaukan hukum acara pidana terkait dengan penetapan tersangka.
Hakim praperadilan tidak mempunyai kewenangan memerintahkan penyidik KPK maupun kepolisian untuk menetapkan tersangka kepada seseorang karena KUHAP telah mengatur penetapan tersangka sebagai kewenangan penyidik yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga manapun. Hukum acara pidana mengatur, penetapan tersangka harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Mahkamah Konstitusi kemudian menafsirkan bahwa bukti permulaan yang cukup dimaksud KUHAP adalah minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Pertanyaannya, apakah telah terpenuhi minimal dua alat bukti yang sah sehingga hakim Effendi dalam amar putusannya bisa memerintahkan KPK menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka kasus Bank Century? Kewenangan mendapatkan dua alat bukti yang sah adalah kewenangan penyidik KPK dan hanya penyidik KPK mengetahui apakah telah terpenuhi atau tidak minimal dua alat bukti yang sah sebagai dasar penetapan tersangka.
Desakan berbagai pihak termasuk Ketua DPR RI Bambang Soesatyo agar KPK segera menetapkan Boediono sebagai tersangka kasus Bank Century juga menabrak aturan hukum yang ada. Penetapan tersangka tidak bisa dilakukan atas desakan dan permintaan pihak lain sepanjang belum ada minimal dua alat bukti yang sah.
Karena itu, putusan praperadilan hakim Effendi yang memerintahkan KPK menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka tidak akan bermakna apa-apa sepanjang KPK belum mempunyai minimal dua alat bukti yang sah sebagai dasar penetapan tersangka. Putusan tersebut justru menimbulkan kegaduhan hukum yang meluas karena hakim Effendi melampaui kewenangan dalam menafsirkan kewenangan praperadilan dan mengacaukan mekanisme penetapan tersangka yang sudah diatur dalam KUHAP.
Penggiat Hukum, Alumnus Fakultas Hukum Universitas Indonesia
Pascaputusan hakim tunggal Effendi Mukhtar yang mengabulkan permohonan praperadilan Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Selasa (9/4), muncul kegaduhan hukum yang meluas. Pertama, kegaduhan itu terkait dengan amar putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor 24/Pid.Pra/2018/PN JKT.SEL Tahun 2018 yang memerintahkan termohon KPK melanjutkan penyidikan kasus korupsi Bank Century dan menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka.
Kedua, kegaduhan hukum lainnya adalah putusan tersebut telah menabrak hukum acara pidana karena hakim telah melampaui kewenangan dalam menafsirkan hukum acara pidana secara luas. Padahal norma hukum praperadilan begitu limitatif sebagaimana diatur Pasal 77 KUHAP. Putusan tersebut mencerminkan kebebasan hakim tanpa batas dalam menafsirkan kaidah hukum yang sudah ada.
Dari perspektif sosiologi hukum, putusan hakim Effendi seperti menyuguhkan "rasa keadilan" bagi masyarakat antikorupsi, karena memberi harapan di tengah pesimisme publik atas stagnasi proses hukum terhadap kasus-kasus korupsi kelas kakap. Tetapi dari sisi yuridis normatif, putusan tersebut patut dikaji secara kritis apakah pertimbangannya sesuai hukum acara pidana dianut. Bagi kalangan yang pro dengan putusan itu, hal mereka apresiasi adalah keberanian hakim Effendi dalam menerobos hukum acara sebagai bentuk keberpihakannya pada etos pemberantasan korupsi yang sedang giat-giatnya dilakukan KPK.
Namun hemat saya, putusan itu merupakan bentuk dari penyimpangan yang dilakukan hakim dalam menafsirkan norma hukum karena kompetensi praperadilan telah diatur secara limitatif dalam KUHAP. Tidak bisa atas nama independensi, hakim menabrak aturan hukum yang sudah ada dengan secara kreatif membuat putusan tidak memiliki dasar kaidah. Oleh karena hukum acara berkaitan dengan perlindungan atas hak asasi manusia, maka hakim tidak diperbolehkan secara kreatif membuat putusan melampaui wewenang dan menabrak hukum. Hukum acara bersifat ketat karena berkaitan dengan perlindungan hukum bagi seseorang dalam kedudukannya sebagai tersangka, terdakwa, maupun terpidana.
Pada lain pihak, kalangan yang pro barangkali percaya bahwa putusan hakim Effendi merupakan bentuk penemuan hukum (rechtsvinding), tetapi secara doktrin hal itu dapat diperdebatkan. Dalam aliran rechtsvinding sebagaimana dianut dalam doktrin hukum Indonesia, hakim memang mempunyai kebebasan dalam menafsirkan UU, tetapi kebebasan tersebut dibatasi karena hakim terikat pada UU. Dengan begitu, dalam melakukan tugasnya, hakim mempunyai apa yang disebut sebagai "kebebasan yang terikat" (Gebonden-Vrijheid) atau "keterikatan yang bebas" (Vrije-Gebondenheid). Oleh karena itu, dalam doktrin, penemuan hukum terbatas pada sejauh mana hakim menafsirkan suatu peristiwa hukum yang dimohonkan untuk diperiksa, diadili, dan diputus, jika norma hukum yang mengatur hal dimohonkan tersebut belum mempunyai dasar hukum atau bila sudah ada namun belum secara tegas diatur dalam UU.
Dalam hal kewenangan lembaga praperadilan, Pasal 77 KUHAP sudah sedemikian jelas dan bersifat limitatif mengaturnya, yaitu memeriksa dan memutus sah tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan, atau penghentian penuntutan, ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Mahkamah Konstitusi telah memperluas kewenangan praperadilan termasuk dalam penetapan tersangka dalam putusan Nomor 21/PUU-XII/2014.
Masalahnya, putusan hakim Effendi tersebut melampaui kewenangan praperadilan. Dengan amar memerintahkan termohon KPK meneruskan penyidikan dan menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka, maka hakim Effendi telah menabrak hukum acara pidana. Hakim tidak boleh mengabulkan permohonan praperadilan untuk memerintahkan termohon KPK menetapkan tersangka karena mekanisme penetapan tersangka telah diatur dalam hukum acara pidana secara jelas.
Mengacaukan Penetapan Tersangka
Putusan hakim Effendi menambah lagi daftar putusan hakim praperadilan yang makin kreatif menafsirkan Pasal 77 KUHAP. Hakim tidak boleh dengan kreativitas sendiri menafsirkan sesuatu secara jelas dan tegas sudah diatur dalam KUHAP. Putusan praperadilan hakim Effendi telah mengacaukan hukum acara pidana terkait dengan penetapan tersangka.
Hakim praperadilan tidak mempunyai kewenangan memerintahkan penyidik KPK maupun kepolisian untuk menetapkan tersangka kepada seseorang karena KUHAP telah mengatur penetapan tersangka sebagai kewenangan penyidik yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga manapun. Hukum acara pidana mengatur, penetapan tersangka harus berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Mahkamah Konstitusi kemudian menafsirkan bahwa bukti permulaan yang cukup dimaksud KUHAP adalah minimal dua alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa.
Pertanyaannya, apakah telah terpenuhi minimal dua alat bukti yang sah sehingga hakim Effendi dalam amar putusannya bisa memerintahkan KPK menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka kasus Bank Century? Kewenangan mendapatkan dua alat bukti yang sah adalah kewenangan penyidik KPK dan hanya penyidik KPK mengetahui apakah telah terpenuhi atau tidak minimal dua alat bukti yang sah sebagai dasar penetapan tersangka.
Desakan berbagai pihak termasuk Ketua DPR RI Bambang Soesatyo agar KPK segera menetapkan Boediono sebagai tersangka kasus Bank Century juga menabrak aturan hukum yang ada. Penetapan tersangka tidak bisa dilakukan atas desakan dan permintaan pihak lain sepanjang belum ada minimal dua alat bukti yang sah.
Karena itu, putusan praperadilan hakim Effendi yang memerintahkan KPK menetapkan Boediono dkk sebagai tersangka tidak akan bermakna apa-apa sepanjang KPK belum mempunyai minimal dua alat bukti yang sah sebagai dasar penetapan tersangka. Putusan tersebut justru menimbulkan kegaduhan hukum yang meluas karena hakim Effendi melampaui kewenangan dalam menafsirkan kewenangan praperadilan dan mengacaukan mekanisme penetapan tersangka yang sudah diatur dalam KUHAP.
(zik)