Sinergi BUMN Tekan Rugi
A
A
A
Jumlah badan usaha milik negara (BUMN) yang mencetak rugi semakin tipis. Lihat saja, tahun lalu perusahaan negara yang berkinerja negatif tinggal 12 perusahaan, bandingkan pada 2016 terdapat 26 perusahaan yang mencatat rugi. Begitu pula angka kerugian semakin mengecil dari Rp6,7 triliun (2016) menjadi Rp5,2 triliun (2017), terjadi penurunan Rp1,5 triliun atau 22,38% dalam setahun. Kinerja BUMN yang semakin membaik memberi semangat tersendiri bagi Menteri BUMN Rini Soemarno yang bertekad tahun ini tidak ada lagi perusahaan pelat merah yang merugi. Meningkatnya jumlah BUMN yang mencetak laba tidak lepas dari strategi sinergi di antara BUMN itu sendiri.
Pada perayaan 20 tahun Kementerian BUMN, Rini Soemarno membeberkan pencapaian kementerian yang di bawah kepemimpinannya. Saat awal ditugaskan menakhodai lembaga itu, mantan menteri perindustrian dan perdagangan zaman Presiden Megawati Soekarnoputri ini mengaku mendapat "warisan" 26 perusahaan negara dengan kinerja keuangan yang tidak menggembirakan alias merugi. Mengapa dulu banyak BUMN yang berkinerja jelek? Ternyata masalahnya tidak serumit yang dibayangkan, yakni masing-masing perusahaan ingin menang sendiri untuk menjadi yang terbaik. Celakanya, perilaku menang sendiri tidak membuahkan hasil positif, justru yang terjadi kinerja menjadi tidak maksimal bahkan negatif.
Meski jumlah BUMN yang merugi semakin menipis, bukan berarti tugas dan tanggung jawab Kementerian BUMN kian ringan. Pasalnya, dari 12 perusahaan negara yang mencetak rugi, terdapat dua BUMN skala besar dengan kinerja keuangan negatif, yakni PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Krakatau Steel Tbk yang mencatat rugi bersih Rp1,17 triliun tahun lalu. Walau masih rugi, sebenarnya kinerja Krakatau Steel sudah mulai membaik. Buktinya sepanjang 2016 total kerugian mencapai sebesar Rp1,9 triliun dan pada 2015 kerugian malah lebih besar tercatat Rp4,37 triliun.
Sepanjang 2017, Garuda Indonesia membukukan kerugian USD213,4 juta atau setara dengan Rp2,88 triliun. Padahal pada 2016, maskapai kebanggaan nasional itu masih mencetak laba USD9,4 juta atau setara dengan Rp126,9 miliar. Sebenarnya, dari sisi pendapatan, Garuda Indonesia mencatat kenaikan sekitar 8,1% dari USD3,86 miliar menjadi USD4,17 miliar. Kontribusi terbesar dari pendapatan tersebut berasal dari penerbangan berjadwal yakni USD3,4 miliar.
Sayangnya, pendapatan yang meningkat juga diiringi pengeluaran yang merangkak naik sekitar 13% dari USD3,7 miliar menjadi USD4,25 miliar. Kenaikan pengeluaran terbesar dikontribusikan dari biaya bahan bakar yang meroket sekitar 25% dari USD924 juta menjadi USD1,15 miliar. Selain biaya bahan bakar yang meningkat, pendapatan maskapai pelat merah itu juga dipengaruhi meletusnya Gunung Agung, dan pengeluaran biaya extraordinary yang meliputi pembayaran pengampunan pajak dan denda legal di pengadilan Australia yang mencapai USD145,8 juta. Berdasarkan data yang dipublikasikan manajemen Garuda Indonesia, jumlah penumpang mengalami kenaikan tipis dari sebelumnya 23,9 juta (2016) menjadi 24 juta penumpang (2017).
Untuk membalikkan keadaan agar Garuda Indonesia kembali mencetak laba tahun ini, pihak Kementerian BUMN telah menginstruksikan agar manajemen mengevaluasi rute yang rugi, terutama rute-rute internasional; dan meminta Garuda Indonesia mulai fokus pada rute yang banyak diminati penumpang serta memperkuat sinergi dengan anak usaha maskapai Citilink. Untuk tahun ini, manajemen mematok target meraih laba bersih sebesar USD8,7 juta atau setara dengan Rp117,45 miliar, dengan target pendapatan USD4,9 miliar atau Rp66,15 triliun. Selain itu, manajemen akan memaksimalkan pendapatan dari lini bisnis lainnya, di antaranya bisnis kargo. Manajemen perseroan mengklaim menguasai pangsa pasar kargo domestik sekitar 59% dan internasional sebesar 30%.
Terlepas dari kinerja Garuda Indonesia dan Krakatau Steel yang masih memble, perjalanan 20 tahun Kementerian BUMN telah memberikan lompatan signifikan dalam pencapaian perusahaan negara saat ini. Awalnya, lembaga yang hadir sejak April 1998 dan membawahi 143 BUMN hanya mengantongi laba Rp14 triliun dengan aset Rp438 triliun, dan meroket menjadi Rp187 triliun dengan aset Rp7.200 triliun pada akhir 2017. Kita berharap kinerja BUMN menjadi hijau semua tahun ini.
Pada perayaan 20 tahun Kementerian BUMN, Rini Soemarno membeberkan pencapaian kementerian yang di bawah kepemimpinannya. Saat awal ditugaskan menakhodai lembaga itu, mantan menteri perindustrian dan perdagangan zaman Presiden Megawati Soekarnoputri ini mengaku mendapat "warisan" 26 perusahaan negara dengan kinerja keuangan yang tidak menggembirakan alias merugi. Mengapa dulu banyak BUMN yang berkinerja jelek? Ternyata masalahnya tidak serumit yang dibayangkan, yakni masing-masing perusahaan ingin menang sendiri untuk menjadi yang terbaik. Celakanya, perilaku menang sendiri tidak membuahkan hasil positif, justru yang terjadi kinerja menjadi tidak maksimal bahkan negatif.
Meski jumlah BUMN yang merugi semakin menipis, bukan berarti tugas dan tanggung jawab Kementerian BUMN kian ringan. Pasalnya, dari 12 perusahaan negara yang mencetak rugi, terdapat dua BUMN skala besar dengan kinerja keuangan negatif, yakni PT Garuda Indonesia Tbk dan PT Krakatau Steel Tbk yang mencatat rugi bersih Rp1,17 triliun tahun lalu. Walau masih rugi, sebenarnya kinerja Krakatau Steel sudah mulai membaik. Buktinya sepanjang 2016 total kerugian mencapai sebesar Rp1,9 triliun dan pada 2015 kerugian malah lebih besar tercatat Rp4,37 triliun.
Sepanjang 2017, Garuda Indonesia membukukan kerugian USD213,4 juta atau setara dengan Rp2,88 triliun. Padahal pada 2016, maskapai kebanggaan nasional itu masih mencetak laba USD9,4 juta atau setara dengan Rp126,9 miliar. Sebenarnya, dari sisi pendapatan, Garuda Indonesia mencatat kenaikan sekitar 8,1% dari USD3,86 miliar menjadi USD4,17 miliar. Kontribusi terbesar dari pendapatan tersebut berasal dari penerbangan berjadwal yakni USD3,4 miliar.
Sayangnya, pendapatan yang meningkat juga diiringi pengeluaran yang merangkak naik sekitar 13% dari USD3,7 miliar menjadi USD4,25 miliar. Kenaikan pengeluaran terbesar dikontribusikan dari biaya bahan bakar yang meroket sekitar 25% dari USD924 juta menjadi USD1,15 miliar. Selain biaya bahan bakar yang meningkat, pendapatan maskapai pelat merah itu juga dipengaruhi meletusnya Gunung Agung, dan pengeluaran biaya extraordinary yang meliputi pembayaran pengampunan pajak dan denda legal di pengadilan Australia yang mencapai USD145,8 juta. Berdasarkan data yang dipublikasikan manajemen Garuda Indonesia, jumlah penumpang mengalami kenaikan tipis dari sebelumnya 23,9 juta (2016) menjadi 24 juta penumpang (2017).
Untuk membalikkan keadaan agar Garuda Indonesia kembali mencetak laba tahun ini, pihak Kementerian BUMN telah menginstruksikan agar manajemen mengevaluasi rute yang rugi, terutama rute-rute internasional; dan meminta Garuda Indonesia mulai fokus pada rute yang banyak diminati penumpang serta memperkuat sinergi dengan anak usaha maskapai Citilink. Untuk tahun ini, manajemen mematok target meraih laba bersih sebesar USD8,7 juta atau setara dengan Rp117,45 miliar, dengan target pendapatan USD4,9 miliar atau Rp66,15 triliun. Selain itu, manajemen akan memaksimalkan pendapatan dari lini bisnis lainnya, di antaranya bisnis kargo. Manajemen perseroan mengklaim menguasai pangsa pasar kargo domestik sekitar 59% dan internasional sebesar 30%.
Terlepas dari kinerja Garuda Indonesia dan Krakatau Steel yang masih memble, perjalanan 20 tahun Kementerian BUMN telah memberikan lompatan signifikan dalam pencapaian perusahaan negara saat ini. Awalnya, lembaga yang hadir sejak April 1998 dan membawahi 143 BUMN hanya mengantongi laba Rp14 triliun dengan aset Rp438 triliun, dan meroket menjadi Rp187 triliun dengan aset Rp7.200 triliun pada akhir 2017. Kita berharap kinerja BUMN menjadi hijau semua tahun ini.
(zik)