Waspadai Skandal Data Medsos di Pemilu 2019
A
A
A
JAKARTA - Skandal penyalahgunaan data pengguna media sosial (medsos) yang terungkap baru-baru ini sangat mungkin menyasar pada Pilkada Serentak 2018 dan Pemilu 2019 di Indonesia. Berbagai pihak perlu serius mengantisipasinya.
Data pengguna Facebook maupun akun medsos lain rentan disalahgunakan untuk memanipulasi calon pemilih. Pihak yang memiliki rekam data profil pemilik akun dapat mengelola informasi apa saja yang bisa diterima akun tersebut dengan tujuan mengarahkan pilihan politik yang bersangkutan.
"Terutama agar memilih atau tidak memilih pasangan calon atau partai tertentu," ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto di Jakarta, Minggu (15/4/2018).
Menurut direktur eksekutif The Political Literacy Institute ini, ada tiga faktor utama yang membuat pemilu di Indonesia rawan praktik penyalahgunaan data pribadi di medsos. Pertama, pengguna medsos di Indonesia terutama Facebook, Twitter, dan Instagram termasuk terbesar di dunia. Mereka menjadi sasaran empuk lapis pemilih untuk di manipulasi melalui medsos.
Kedua, sebagian besar pengguna medsos di Indonesia belum terbiasa diskursus dengan data verifikatif. Dengan begitu, mereka sangat mungkin mudah terpapar terpaan informasi politik yang dipolakan pihak tertentu (intended communication). Ketiga, polarisasi di tengah masyarakat yang sangat tajam sejak 2014 membuat penguasaan data pengguna medsos menjadi faktor sangat menetukan dalam pertarungan opini. "Terutama untuk diseminasi informasi, propaganda, dan publisitas," urai Gun Gun.
Gun Gun menekankan, persoalan ini sangat serius karena menyangkut keamanan data pribadi yang seharusnya terlindungi. Penyalahgunaan data pribadi secara masif, sistematis, dan terstruktur sangat berbahaya. Pihak tertentu bisa dengan mudah menyemai isu SARA dan isu destruktif lain untuk kepentingan politik.
Presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI) ini juga memandang, pemerintah sudah saatnya tegas menuntut kepastian komitmen dari berbagai perusahaan penyedia medsos untuk melindungi data pribadi para penggunanya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun harus responsif atas kerawanan skandal data akun medsos dalam pemilu. Mereka perlu menyusun peraturan lebih rinci terkait hal ini. Misalnya, mekanisme hukum terhadap kandidat maupun parpol yang terlibat praktik penyalahgunaan data akun medsos untuk kepentingan pemilu.
Diberitakan sebelumnya, data pribadi pengguna Facebook di Amerika Serikat disalahgunakan oleh firma analisis data untuk kampanye pemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2016. Sedangkan di Inggris kebocoran data pribadi di Facebook diduga turut memengaruhi keputusan Brexit. Indonesia menjadi negara nomor tiga terbesar jumlah korban skandal data Facebook setelah AS dan Filipina, yakni lebih dari 1 juta akun.
Pengamat teknologi informasi Heru Sutadi mengatakan, medsos menjadi "medan pertempuran" baru berbagai kepentingan politik untuk memengaruhi pemilih, baik dengan kampanye positif, kampanye negatif, maupun kampanye hitam. Hal ini sudah tampak sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014, dan Pilkada DKI 2017. Karena itu, dia mengingatkan masyarakat untuk waspada dan tidak terbawa arus. Heru juga meminta warganet agar berhati-hati memainkan aplikasi pihak ketiga di medsos seperti games dan kuis. Terlebih yang meminta informasi identitas.
Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi berharap Pilkada Serentak dan Pemilu 2019 aman dari praktik penyalahgunaan data medsos untuk memanipulasi pemilih. "Perlu koordinasi yang baik antara Kemenkominfo, KPU, dan Bawaslu dalam mengantisipasinya," ungkap politikus PPP ini.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengungkapkan, platform medsos dan beberapa aplikasi memang memungkinkan pengguna memberi data secara sukarela yang bisa di-input dan dihapus kapan saja, namun sudah masuk ke ranah publik. "Yang per lu disikapi saat ini adalah regulasi kita belum cukup mengaturnya. Ini juga menjadi permasalahan dunia," terang anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Di tempat terpisah, anggota Bawaslu Fritz Siregar mengaku pihaknya berencana memanggil perwakilan Facebook Indonesia terkait upaya pencegahan dan antisipasi penyalahgunaan data pengguna akun menjelang Pilkada Serentak 2018 serta Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019. "Kami lebih dulu menanti hasil pertemuan DPR dan Facebook. Harapan kami, Facebook dapat memberikan fitur keamanan yang lebih kuat untuk mencegah hal serupa terjadi pada pemilu di Indonesia," ucap Fritz.
Ahli digital forensik Rubi Alamsyah menambahkan, pemerintah perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). PDP terutama mencakup nomor induk kependudukan (NIK) di kartu keluarga (KK). "Jadi kalau ada (data) bocor, bisa ditelusuri. Bocornya dari mana dan kenapa, lalu sanksinya apa. Semuanya harus diatur dalam UU," terang Rubi. Di sisi lain, masyarakat juga harus diberi pemahaman bahwa NIK adalah bagian dari rahasia pribadi.
Data pengguna Facebook maupun akun medsos lain rentan disalahgunakan untuk memanipulasi calon pemilih. Pihak yang memiliki rekam data profil pemilik akun dapat mengelola informasi apa saja yang bisa diterima akun tersebut dengan tujuan mengarahkan pilihan politik yang bersangkutan.
"Terutama agar memilih atau tidak memilih pasangan calon atau partai tertentu," ujar pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Gun Gun Heryanto di Jakarta, Minggu (15/4/2018).
Menurut direktur eksekutif The Political Literacy Institute ini, ada tiga faktor utama yang membuat pemilu di Indonesia rawan praktik penyalahgunaan data pribadi di medsos. Pertama, pengguna medsos di Indonesia terutama Facebook, Twitter, dan Instagram termasuk terbesar di dunia. Mereka menjadi sasaran empuk lapis pemilih untuk di manipulasi melalui medsos.
Kedua, sebagian besar pengguna medsos di Indonesia belum terbiasa diskursus dengan data verifikatif. Dengan begitu, mereka sangat mungkin mudah terpapar terpaan informasi politik yang dipolakan pihak tertentu (intended communication). Ketiga, polarisasi di tengah masyarakat yang sangat tajam sejak 2014 membuat penguasaan data pengguna medsos menjadi faktor sangat menetukan dalam pertarungan opini. "Terutama untuk diseminasi informasi, propaganda, dan publisitas," urai Gun Gun.
Gun Gun menekankan, persoalan ini sangat serius karena menyangkut keamanan data pribadi yang seharusnya terlindungi. Penyalahgunaan data pribadi secara masif, sistematis, dan terstruktur sangat berbahaya. Pihak tertentu bisa dengan mudah menyemai isu SARA dan isu destruktif lain untuk kepentingan politik.
Presidium Asosiasi Ilmuwan Komunikasi Politik Indonesia (AIKPI) ini juga memandang, pemerintah sudah saatnya tegas menuntut kepastian komitmen dari berbagai perusahaan penyedia medsos untuk melindungi data pribadi para penggunanya. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pun harus responsif atas kerawanan skandal data akun medsos dalam pemilu. Mereka perlu menyusun peraturan lebih rinci terkait hal ini. Misalnya, mekanisme hukum terhadap kandidat maupun parpol yang terlibat praktik penyalahgunaan data akun medsos untuk kepentingan pemilu.
Diberitakan sebelumnya, data pribadi pengguna Facebook di Amerika Serikat disalahgunakan oleh firma analisis data untuk kampanye pemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden (Pilpres) 2016. Sedangkan di Inggris kebocoran data pribadi di Facebook diduga turut memengaruhi keputusan Brexit. Indonesia menjadi negara nomor tiga terbesar jumlah korban skandal data Facebook setelah AS dan Filipina, yakni lebih dari 1 juta akun.
Pengamat teknologi informasi Heru Sutadi mengatakan, medsos menjadi "medan pertempuran" baru berbagai kepentingan politik untuk memengaruhi pemilih, baik dengan kampanye positif, kampanye negatif, maupun kampanye hitam. Hal ini sudah tampak sejak Pilkada DKI Jakarta 2012, Pilpres 2014, dan Pilkada DKI 2017. Karena itu, dia mengingatkan masyarakat untuk waspada dan tidak terbawa arus. Heru juga meminta warganet agar berhati-hati memainkan aplikasi pihak ketiga di medsos seperti games dan kuis. Terlebih yang meminta informasi identitas.
Anggota Komisi II DPR Achmad Baidowi berharap Pilkada Serentak dan Pemilu 2019 aman dari praktik penyalahgunaan data medsos untuk memanipulasi pemilih. "Perlu koordinasi yang baik antara Kemenkominfo, KPU, dan Bawaslu dalam mengantisipasinya," ungkap politikus PPP ini.
Anggota Komisi I DPR Bobby Adhityo Rizaldi mengungkapkan, platform medsos dan beberapa aplikasi memang memungkinkan pengguna memberi data secara sukarela yang bisa di-input dan dihapus kapan saja, namun sudah masuk ke ranah publik. "Yang per lu disikapi saat ini adalah regulasi kita belum cukup mengaturnya. Ini juga menjadi permasalahan dunia," terang anggota Fraksi Partai Golkar ini.
Di tempat terpisah, anggota Bawaslu Fritz Siregar mengaku pihaknya berencana memanggil perwakilan Facebook Indonesia terkait upaya pencegahan dan antisipasi penyalahgunaan data pengguna akun menjelang Pilkada Serentak 2018 serta Pemilu Legislatif dan Pemilihan Presiden 2019. "Kami lebih dulu menanti hasil pertemuan DPR dan Facebook. Harapan kami, Facebook dapat memberikan fitur keamanan yang lebih kuat untuk mencegah hal serupa terjadi pada pemilu di Indonesia," ucap Fritz.
Ahli digital forensik Rubi Alamsyah menambahkan, pemerintah perlu segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Perlindungan Data Pribadi (PDP). PDP terutama mencakup nomor induk kependudukan (NIK) di kartu keluarga (KK). "Jadi kalau ada (data) bocor, bisa ditelusuri. Bocornya dari mana dan kenapa, lalu sanksinya apa. Semuanya harus diatur dalam UU," terang Rubi. Di sisi lain, masyarakat juga harus diberi pemahaman bahwa NIK adalah bagian dari rahasia pribadi.
(amm)