NU Tidak Pernah Absen Jaga NKRI

Rabu, 11 April 2018 - 14:30 WIB
NU Tidak Pernah Absen Jaga NKRI
NU Tidak Pernah Absen Jaga NKRI
A A A
JAKARTA - Indonesia di bangun di atas empat pilar kebangsaan, yaitu Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, UUD 1945, dan NKRI. Di bawah empat pilar itu, umat beragama dibebaskan menjalankan kepercayaannya masing-masing. Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siraj saat peluncuran buku "NU Penjaga NKRI" di Gedung PBNU, Jakarta, Selasa (10/4/2018).

Menurutnya, dasar dari bangsa Indonesia adalah Ketuhanan Yang Maha Esa yang menjadi sila pertama Pancasila yang termaktub pada konstitusi. Aktualisasinya juga menjadi ruh berbangsa sejak prakemerdekaan, mempertahankan, hingga kini mengisi kemerdekaan. Dalam rentang waktu tersebut, banyak komponen saling berkontribusi dan bersinergi.

"Jadi, jangan dipertentangkan Islam dan Pancasila, kalau masih menolak Pancasila silakan hijrah kewarganegaraan," ungkap Said Aqil.

Nasionalisme di Indonesia dibangun berdasarkan hati dan iman, berbeda dengan nasionalisme di Timur Tengah dan Eropa yang dibangun berdasarkan sekularisme. "Karena cinta tanah air sebagian dari iman. Jadi, persoalan agama dan negara sudah selesai. Pancasila ada sebagai pemersatu bangsa, bukan pengganti agama," tegasnya.

Persoalan bangsa saat ini, kata Said, jangan sampai merusak NKRI yang telah dibangun para pemikir, tokoh-tokoh bangsa terdahulu. Sebagai ketua PBNU, dia menegaskan enggan memihak kepentingan-kepentingan politik mana pun. Said juga mengatakan, sebagai bangsa yang bermoral dan menjunjung nilai kepentingan bangsa, masyarakat Indonesia harus membantu menjaga NKRI. Jangan hanya mengkritik untuk menjatuhkan.

"Pemerintahan Jokowi (Presiden Joko Widodo) ini tidak pernah bagi-bagi tanah ke pengusaha, apalagi asing. Yang bagi-bagi itu menteri kehutanan yang sebelumnya. Yang sebelumnya, dan sebelumnya, sebelumnya, sebelumnya. Jadi, salah alamat ketika ada kritikan dari Pak Amien Rais itu. Salah alamat," ungkapnya.

Agamawan yang juga intelektual, Romo Antonius Benny Susetyo, mengatakan NU selalu hadir untuk menjaga NKRI. NU berada di mana-mana, tetapi tidak ke mana-mana. Orang NU kata Romo bisa menyatu dengan segala lapisan. Dari situlah muncul relasi yang baik. Ada suatu kepercayaan yang wujudnya adalah masyarakat NU tidak membeda-bedakan.

Di Sampit, Madura, misalnya, tidak pernah muncul stigma negatif atas bantuan Katolik. Warga di sana tidak menuduh adanya kristenisasi di balik itu. Dari situ, dia berpandangan bahwa orang NU dalam beriman sudah melompat dari politik identitas karena di hayati dalam nilai kemanusiaan. "Dari kemanusiaan itulah orang tidak lagi membedakan suku, identitas," katanya.

Berdasarkan nilai kemanusiaannya, kata Romo Antonius, NU tampil pada era reformasi. Dia mengungkapkan, mendiang Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai representasi NU selalu pasang badan dalam forum demokrasi. "Gus Dur menjadi pelekat dari sebuah demokratisasi. Gus Dur memberi pembelaan terhadap Romo Mangunwijaya ketika hendak ada yang menuduhnya PKI," tegas Romo Antonius.

Selain itu, kata Romo, NU selain berperan sebagai penjaga negara, termasuk menjadi pusat peradaban mengingat perannya mempertemukan Islam dan budaya, sehingga melahirkan ajaran agama yang penuh kasih. Sikap demikian menurutnya tampak dalam hubungan relasinya.
"Tidak hanya pusat penjaga NKRI, tetapi juga pusat peradaban. Di tengah kegersangan yang melanda negara ini, NU berdiri menjadi oase. NU menjadi penyejuk dengan merangkul semua elemen dan kalangan. Hal inilah yang menjadi sebab NU sebagai pusat peradaban. Bangsa ini berutang terhadap NU," kata Romo.

Peneliti LIPI Amin Mudzakkir mengatakan, sejarah mencatat, dalam momen perlawanan terhadap penjajah era prakemerdekaan hingga berbagai gonjang-ganjing pemberontakan sejumlah kelompok di Tanah Air, NU tidak pernah absen. Kiprahnya sangat menentukan bagi masa depan bangsa.

"Tapi tentu saja ucapan Gus Dur tak lantas membenarkan tingkah sebagian elite yang hanya memanfaatkan ormas Islam terbesar ini sekadar sebagai 'pemadam kebakaran' meskipun tugas ini juga tidak negatif. Sebagai bagian dari bangsa, NU punya beban moral untuk senantiasa terlibat mengatasi permasalahan di negeri ini, diminta maupun tidak diminta. Memang, tanggung jawab kebangsaan adalah satu persoalan, sementara kelakuan elite adalah persoalan lain," ungkapnya.
(amm)
Copyright © 2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.8419 seconds (0.1#10.140)