Hunian Layak bagi Masyarakat
A
A
A
Kebutuhan hunian yang layak bagi masyarakat selalu menarik untuk dibahas, sebab hingga saat ini masih banyak masyarakat yang belum memiliki rumah. Hal ini menjadi tantangan pemerintah bagaimana bisa menyediakan hunian layak bagi masyarakat yang jumlahnya terus meningkat.
Hingga tahun ini, kebutuhan hunian rumah tinggal bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di perkotaan, masih cukup tinggi. Salah satu contohnya di DKI Jakarta. Dari 1 juta kebutuhan rumah baru masyarakat per tahun, 300.000 atau 30% dibutuhkan oleh warga Ibu kota. Jumlah itu tidak termasuk kebutuhan hunian di daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kekurangan pasokan (backlog) perumahan yang layak bagi masyarakat harus diperhatikan serius. Harga tanah yang mahal di kawasan perkotaan bisa diantisipasi dengan membangun hunian vertikal seperti rusunami dan anami.
Yang tak kalah penting, dalam penyediaan hunian tersebut harus memperhatikan banyak aspek. Selain sosial dan lingkungan, juga aspek ekonomis, misalnya hunian yang dibangun memudahkan masyarakat sampai ke tempat kerja. Juga dekat dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Penduduk Indonesia hingga beberapa dekade mendatang didominasi penduduk usia produktif, sehingga kebutuhan terhadap rumah akan terus meningkat. Hanya, kecenderungan penduduk produktif dan golongan menengah saat ini adalah mengundurkan pembelian rumah karena kendala uang muka. Ini juga harus dicarikan solusinya baik oleh perbankan, swasta (pengembang), maupun pemerintah.
Data pemerintah menyebutkan Indonesia mengalami kekurangan pasokan hingga 13 juta unit rumah. Kondisi tersebut merupakan tantangan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena masyarakat khususnya yang tinggal di perkotaan masih banyak yang menempati rumah di kawasan yang kurang layak.
Pertumbuhan populasi Indonesia yang tinggal di perkotaan mencapai 52% dan berpotensi naik mendekati 68% dalam tahun-tahun mendatang. Pertumbuhan populasi di kota-kota Indonesia mencapai 4,1%. Angka ini termasuk yang tertinggi dibandingkan China dan India yang masing-masing 3,8% dan 3,1%.
Hal ini yang harus diantisipasi dengan kebijakan yang strategis sehingga mampu memenuhi kebutuhan rumah secara nasional. Hunian yang layak ini sangat penting disediakan pemerintah karena juga terkait dengan kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, ketersediaan perumahan akan sangat berpengaruh pada kemajuan bangsa.
Saat ini kebutuhan rumah mencapai 1 juta unit per tahun. Dari jumlah tersebut, sektor swasta hanya mampu memenuhi 40%, sementara pemerintah baru bisa menyediakan sebanyak 20%. Adapun sisanya berasal dari swadaya masyarakat.
Daya beli yang lemah untuk memiliki rumah juga perlu diperhatikan pemerintah. Dari catatan pemerintah, 40% masyarakat teratas Indonesia mampu membeli rumah tanpa bantuan pemerintah. Sebanyak 40% mampu membeli rumah dengan subsidi pemerintah, dan 20% sisanya tidak bisa membeli tanpa ada bantuan pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran perumahan di APBN secara proporsional. Tujuannya tentu saja untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa memiliki rumah.
Tingginya kebutuhan perumahan tidak berbanding lurus dengan ketersediaan rumah. Untuk itu perlu dilakukan langkah strategis untuk mengakomodasi tantangan tersebut melalui kolaborasi dan sinergi masing-masing pihak terkait baik dari pemerintah maupun swasta. Faktor penyebab kekurangan pasokan rumah ini beragam. Keterbatasan lahan, kebijakan yang masih kurang efektif, kemampuan pelaku usaha, serta mahalnya pasokan bahan baku menjadi aspek yang menghambat penyediaan rumah.
Dari sisi permintaan, faktor pembiayaan yang terbatas menjadi kendala utama. Pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR merupakan upaya yang membutuhkan penanganan banyak pihak dari hulu sampai hilir. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan terhadap dana bantuan perumahan dari pemerintah. Hal ini penting dalam rangka memastikan penerima bantuan pembiayaan perumahan yang tepat sasaran.
Hingga tahun ini, kebutuhan hunian rumah tinggal bagi masyarakat, khususnya yang tinggal di perkotaan, masih cukup tinggi. Salah satu contohnya di DKI Jakarta. Dari 1 juta kebutuhan rumah baru masyarakat per tahun, 300.000 atau 30% dibutuhkan oleh warga Ibu kota. Jumlah itu tidak termasuk kebutuhan hunian di daerah penyangga seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi.
Kekurangan pasokan (backlog) perumahan yang layak bagi masyarakat harus diperhatikan serius. Harga tanah yang mahal di kawasan perkotaan bisa diantisipasi dengan membangun hunian vertikal seperti rusunami dan anami.
Yang tak kalah penting, dalam penyediaan hunian tersebut harus memperhatikan banyak aspek. Selain sosial dan lingkungan, juga aspek ekonomis, misalnya hunian yang dibangun memudahkan masyarakat sampai ke tempat kerja. Juga dekat dengan fasilitas kesehatan dan pendidikan.
Penduduk Indonesia hingga beberapa dekade mendatang didominasi penduduk usia produktif, sehingga kebutuhan terhadap rumah akan terus meningkat. Hanya, kecenderungan penduduk produktif dan golongan menengah saat ini adalah mengundurkan pembelian rumah karena kendala uang muka. Ini juga harus dicarikan solusinya baik oleh perbankan, swasta (pengembang), maupun pemerintah.
Data pemerintah menyebutkan Indonesia mengalami kekurangan pasokan hingga 13 juta unit rumah. Kondisi tersebut merupakan tantangan bagi pemerintahan Presiden Joko Widodo, karena masyarakat khususnya yang tinggal di perkotaan masih banyak yang menempati rumah di kawasan yang kurang layak.
Pertumbuhan populasi Indonesia yang tinggal di perkotaan mencapai 52% dan berpotensi naik mendekati 68% dalam tahun-tahun mendatang. Pertumbuhan populasi di kota-kota Indonesia mencapai 4,1%. Angka ini termasuk yang tertinggi dibandingkan China dan India yang masing-masing 3,8% dan 3,1%.
Hal ini yang harus diantisipasi dengan kebijakan yang strategis sehingga mampu memenuhi kebutuhan rumah secara nasional. Hunian yang layak ini sangat penting disediakan pemerintah karena juga terkait dengan kesehatan masyarakat. Dalam jangka panjang, ketersediaan perumahan akan sangat berpengaruh pada kemajuan bangsa.
Saat ini kebutuhan rumah mencapai 1 juta unit per tahun. Dari jumlah tersebut, sektor swasta hanya mampu memenuhi 40%, sementara pemerintah baru bisa menyediakan sebanyak 20%. Adapun sisanya berasal dari swadaya masyarakat.
Daya beli yang lemah untuk memiliki rumah juga perlu diperhatikan pemerintah. Dari catatan pemerintah, 40% masyarakat teratas Indonesia mampu membeli rumah tanpa bantuan pemerintah. Sebanyak 40% mampu membeli rumah dengan subsidi pemerintah, dan 20% sisanya tidak bisa membeli tanpa ada bantuan pemerintah.
Oleh karena itu, pemerintah perlu mengalokasikan anggaran perumahan di APBN secara proporsional. Tujuannya tentu saja untuk mendukung masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) bisa memiliki rumah.
Tingginya kebutuhan perumahan tidak berbanding lurus dengan ketersediaan rumah. Untuk itu perlu dilakukan langkah strategis untuk mengakomodasi tantangan tersebut melalui kolaborasi dan sinergi masing-masing pihak terkait baik dari pemerintah maupun swasta. Faktor penyebab kekurangan pasokan rumah ini beragam. Keterbatasan lahan, kebijakan yang masih kurang efektif, kemampuan pelaku usaha, serta mahalnya pasokan bahan baku menjadi aspek yang menghambat penyediaan rumah.
Dari sisi permintaan, faktor pembiayaan yang terbatas menjadi kendala utama. Pemenuhan kebutuhan perumahan bagi MBR merupakan upaya yang membutuhkan penanganan banyak pihak dari hulu sampai hilir. Selain itu, perlu juga dilakukan pengawasan terhadap dana bantuan perumahan dari pemerintah. Hal ini penting dalam rangka memastikan penerima bantuan pembiayaan perumahan yang tepat sasaran.
(maf)