Ketukan Palu Hakim Artidjo untuk Ahok
A
A
A
Muhammad Yahdi Salampessy
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
MAHKAMAH Agung (MA) selaku lembaga peradilan tertinggi melalui ketukan palu hakim Artidjo Alkostar telah memutus menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Palu hakim Artidjo tersebut mengakhiri upaya hukum Ahok dalam memperjuangkan nasibnya sebagai terpidana dalam kasus penodaan agama.
Semua alasan PK yang diajukan Ahok ditolak oleh majelis hakim yang diketuai oleh Artidjo dengan anggota hakim Salman Luthan dan Sumardiatmo. Putusan Artidjo dan dua hakim lainnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara1537/ Pid.B/2016/PN JKT. UTR tanggal 4 Mei 2017 lalu yang menyatakan bahwa Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama.
Vonis Buni Yani
Jika ditelaah, terdapat beberapa alasan yang menjadi dasar pertimbangan Ahok dalam mengajukan PK. Di antaranya Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan vonis penjara kepada Buni Yani dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebagaimana kita ketahui, kasus penodaan agama Ahok berawal dari video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Buni Yani dinilai oleh majelis hakim telah terbukti bersalah melakukan ujaran kebencian dengan cara mengunggah dan menyunting isi video pidato Ahok tersebut.
Dalam kacamata hukum, PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa (extra - ordinary remedy) yang dapat dimohonkan oleh seorang terpidana untuk memeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Sebagai upaya hukum extra - ordinary, PK merupakan jalan terakhir sekaligus sebagai hak terpidana guna mendapatkan kebenaran secara materiil atas perkara yang menjeratnya.
Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK dapat diajukan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum apabila ditemukan keadaan baru (novum) atau adanya kekeliruan atau kekhilafan hakim dalam menjatuhkan putusan. Vonis bersalah terhadap Buni Yani inilah novum yang menjadi dasar pengajuan permohonan PK oleh Ahok.
Dengan ditolaknya PK tersebut, tulisan ini akan mengkaji lebih dalam mengenai putusan Buni Yani sebagai dasar pengajuan PK Ahok tersebut. Salah satu alasan utama yang dinilai melemahkan dasar pengajuan PK Ahok adalah bahwa vonis Buni Yani belum inkracht atau memiliki kekuatan hukum tetap. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi atau putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang telah ditentukan oleh KUHAP.
Dengan kata lain, suatu putusan dianggap memiliki kekuatan hukum tetap apabila sudah tidak dilakukan upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Dalam kasus Buni Yani, vonis hakim tersebut belumlah dapat dikatakan telah inkracht mengingat Buni Yani masih mengajukan banding. Karena upaya hukum terhadap vonis tersebut masih berlangsung, tidak tepat untuk dijadikan sebagai novum yang menjadi dasar pengajuan PK bagi Ahok.
Peluang Ahok untuk PK Lagi
Saat ini permohonan PK yang diajukan Ahok melalui kuasa hukumnya telah ditolak oleh MA. Kondisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah putusan MA yang menolak PK Ahok tersebut dapat di-PK-kan kembali? Pertanyaan ini akan mengarahkan kita pada pembicaraan mengenai PK atas PK atau PK berkali-kali. Apakah hal ini memang dimungkinkan dalam hukum positif Indonesia?
Merujuk pada Pasal 268 ayat (3) KUHAP, diatur bahwa permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ikut menegaskan hal itu dengan mengatur bahwa terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan PK.
Namun Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor: 34/PUU-XI/2013 pada 6 Maret 2014 menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak punya kekuatan hukum mengikat. MK berdalih secara historis-filosofis, PK adalah upaya hukum yang lahir untuk melindungi kepentingan terpidana. PK juga bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. MK menegaskan bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan satu kali.
MK berpendapat bahwa bisa saja setelah diajukannya PK dan diputus, ditemukan kembali novum yang substansial yang saat PK sebelumnya belum ditemukan. Pendekatan yang diajukan MK ternyata begitu progresif karena berpedoman pada prinsip bahwa hukum dibentuk untuk menegakan kebenaran dan keadilan. Menurut MK, pengaturan PK dalam KUHAP harus diarahkan bukan untuk membatasi seseorang mendapatkan keadilan hukum. MK sangat sadar tujuan hukum yang sesungguhnya adalah keadilan hukum dan ini sifatnya sangat hakiki.
Membaca putusan MK tersebut, sepertinya masih ada peluang bagi Ahok untuk mengajukan PK kembali. Pasalnya putusan MK memberi ruang kepada terpidana untuk mengajukan PK lebih dari satu kali jika diperoleh novum yang belum dipertimbangkan pada pengadilan sebelumnya.
MA tidak dapat membatasi PK dilakukan lebih dari sekali jika terdapat novum dengan alasan bahwa putusan MK hanya ditujukan kepada KUHAP, sementara pengaturan PK ada juga dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Putusan MK soal PK memiliki sifat erga omnes. Artinya ketika pengaturan PK yang membatasi hanya sekali dibatalkan oleh MK, secara otomatis pembatalan pengaturan tersebut bukan hanya berlaku bagi KUHAP, tetapi juga bagi undang-undang dan aturan lainnya yang mengatur perihal PK.
Tentu hal ini bisa menjadi angin segar bagi Ahok. Bukan tidak mungkin jika di masa mendatang ditemukan novum lain lagi, Ahok masih berkesempatan untuk mengajukan permohonan PK lagi. Dengan kata lain, sepanjang ditemukan novum yang belum terungkap di persidangan, peluang untuk dilakukannya PK masih terbuka lebar. Namun apabila hal ini terjadi, tentu akan menjadi tugas yang berat lagi bagi majelis hakim untuk mengujinya kembali guna menghindari adanya rekayasa novum.
Kita ingat sebuah adagium dalam sistem peradilan yang mengatakan, “Lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.” Hal ini patutnya menjadi prinsip bagi setiap hakim dalam hal terjadi keragu-raguan dalam memutus suatu perkara untuk menghindari terjadinya kriminalisasi dan ketidakadilan bagi siapa pun yang duduk di kursi pesakitan.
Dengan kacamata adagium hukum tersebut jugalah kita hendaknya memandang kasus Ahok ini. Demi tercapainya keadilan substantif, upaya pengajuan PK hendaknya tetap dibuka sesuai dengan ketentuan putusan MK sebagai The Guardian of Constitution.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia
MAHKAMAH Agung (MA) selaku lembaga peradilan tertinggi melalui ketukan palu hakim Artidjo Alkostar telah memutus menolak permohonan peninjauan kembali (PK) yang diajukan mantan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Palu hakim Artidjo tersebut mengakhiri upaya hukum Ahok dalam memperjuangkan nasibnya sebagai terpidana dalam kasus penodaan agama.
Semua alasan PK yang diajukan Ahok ditolak oleh majelis hakim yang diketuai oleh Artidjo dengan anggota hakim Salman Luthan dan Sumardiatmo. Putusan Artidjo dan dua hakim lainnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara1537/ Pid.B/2016/PN JKT. UTR tanggal 4 Mei 2017 lalu yang menyatakan bahwa Ahok terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana penodaan agama.
Vonis Buni Yani
Jika ditelaah, terdapat beberapa alasan yang menjadi dasar pertimbangan Ahok dalam mengajukan PK. Di antaranya Pengadilan Negeri Bandung telah menjatuhkan vonis penjara kepada Buni Yani dalam kasus pelanggaran Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Sebagaimana kita ketahui, kasus penodaan agama Ahok berawal dari video pidato Ahok di Kepulauan Seribu pada 27 September 2016. Buni Yani dinilai oleh majelis hakim telah terbukti bersalah melakukan ujaran kebencian dengan cara mengunggah dan menyunting isi video pidato Ahok tersebut.
Dalam kacamata hukum, PK merupakan sebuah upaya hukum luar biasa (extra - ordinary remedy) yang dapat dimohonkan oleh seorang terpidana untuk memeriksa atau memerintahkan kembali suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, baik di tingkat pertama, banding maupun kasasi. Sebagai upaya hukum extra - ordinary, PK merupakan jalan terakhir sekaligus sebagai hak terpidana guna mendapatkan kebenaran secara materiil atas perkara yang menjeratnya.
Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), PK dapat diajukan terhadap suatu putusan yang telah berkekuatan hukum apabila ditemukan keadaan baru (novum) atau adanya kekeliruan atau kekhilafan hakim dalam menjatuhkan putusan. Vonis bersalah terhadap Buni Yani inilah novum yang menjadi dasar pengajuan permohonan PK oleh Ahok.
Dengan ditolaknya PK tersebut, tulisan ini akan mengkaji lebih dalam mengenai putusan Buni Yani sebagai dasar pengajuan PK Ahok tersebut. Salah satu alasan utama yang dinilai melemahkan dasar pengajuan PK Ahok adalah bahwa vonis Buni Yani belum inkracht atau memiliki kekuatan hukum tetap. Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), yang dimaksud dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap adalah putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi atau putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang telah ditentukan oleh KUHAP.
Dengan kata lain, suatu putusan dianggap memiliki kekuatan hukum tetap apabila sudah tidak dilakukan upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Dalam kasus Buni Yani, vonis hakim tersebut belumlah dapat dikatakan telah inkracht mengingat Buni Yani masih mengajukan banding. Karena upaya hukum terhadap vonis tersebut masih berlangsung, tidak tepat untuk dijadikan sebagai novum yang menjadi dasar pengajuan PK bagi Ahok.
Peluang Ahok untuk PK Lagi
Saat ini permohonan PK yang diajukan Ahok melalui kuasa hukumnya telah ditolak oleh MA. Kondisi ini kemudian menimbulkan pertanyaan, apakah putusan MA yang menolak PK Ahok tersebut dapat di-PK-kan kembali? Pertanyaan ini akan mengarahkan kita pada pembicaraan mengenai PK atas PK atau PK berkali-kali. Apakah hal ini memang dimungkinkan dalam hukum positif Indonesia?
Merujuk pada Pasal 268 ayat (3) KUHAP, diatur bahwa permintaan peninjauan kembali atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ikut menegaskan hal itu dengan mengatur bahwa terhadap putusan PK tidak dapat dilakukan PK.
Namun Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor: 34/PUU-XI/2013 pada 6 Maret 2014 menyatakan bahwa Pasal 268 ayat (3) KUHAP tidak punya kekuatan hukum mengikat. MK berdalih secara historis-filosofis, PK adalah upaya hukum yang lahir untuk melindungi kepentingan terpidana. PK juga bertujuan untuk menemukan keadilan dan kebenaran materiil. MK menegaskan bahwa keadilan tidak dapat dibatasi oleh waktu atau ketentuan formalitas yang membatasi upaya hukum luar biasa (PK) hanya dapat diajukan satu kali.
MK berpendapat bahwa bisa saja setelah diajukannya PK dan diputus, ditemukan kembali novum yang substansial yang saat PK sebelumnya belum ditemukan. Pendekatan yang diajukan MK ternyata begitu progresif karena berpedoman pada prinsip bahwa hukum dibentuk untuk menegakan kebenaran dan keadilan. Menurut MK, pengaturan PK dalam KUHAP harus diarahkan bukan untuk membatasi seseorang mendapatkan keadilan hukum. MK sangat sadar tujuan hukum yang sesungguhnya adalah keadilan hukum dan ini sifatnya sangat hakiki.
Membaca putusan MK tersebut, sepertinya masih ada peluang bagi Ahok untuk mengajukan PK kembali. Pasalnya putusan MK memberi ruang kepada terpidana untuk mengajukan PK lebih dari satu kali jika diperoleh novum yang belum dipertimbangkan pada pengadilan sebelumnya.
MA tidak dapat membatasi PK dilakukan lebih dari sekali jika terdapat novum dengan alasan bahwa putusan MK hanya ditujukan kepada KUHAP, sementara pengaturan PK ada juga dalam UU Kekuasaan Kehakiman. Putusan MK soal PK memiliki sifat erga omnes. Artinya ketika pengaturan PK yang membatasi hanya sekali dibatalkan oleh MK, secara otomatis pembatalan pengaturan tersebut bukan hanya berlaku bagi KUHAP, tetapi juga bagi undang-undang dan aturan lainnya yang mengatur perihal PK.
Tentu hal ini bisa menjadi angin segar bagi Ahok. Bukan tidak mungkin jika di masa mendatang ditemukan novum lain lagi, Ahok masih berkesempatan untuk mengajukan permohonan PK lagi. Dengan kata lain, sepanjang ditemukan novum yang belum terungkap di persidangan, peluang untuk dilakukannya PK masih terbuka lebar. Namun apabila hal ini terjadi, tentu akan menjadi tugas yang berat lagi bagi majelis hakim untuk mengujinya kembali guna menghindari adanya rekayasa novum.
Kita ingat sebuah adagium dalam sistem peradilan yang mengatakan, “Lebih baik membebaskan 1.000 orang yang bersalah daripada menghukum 1 orang yang tidak bersalah.” Hal ini patutnya menjadi prinsip bagi setiap hakim dalam hal terjadi keragu-raguan dalam memutus suatu perkara untuk menghindari terjadinya kriminalisasi dan ketidakadilan bagi siapa pun yang duduk di kursi pesakitan.
Dengan kacamata adagium hukum tersebut jugalah kita hendaknya memandang kasus Ahok ini. Demi tercapainya keadilan substantif, upaya pengajuan PK hendaknya tetap dibuka sesuai dengan ketentuan putusan MK sebagai The Guardian of Constitution.
(pur)