Indonesia Terapkan Triple Win Atasi Persoalan Migran
A
A
A
JAKARTA - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Bambang Soesatyo menegaskan parlemen Indonesia sangat menjunjung tinggi pentingnya Konvensi Internasional tentang Perlindungan Buruh Migran. Indonesia telah menerapkan kebijakan triple win dalam menyelesaikan persoalan migran.
Bambang Soesatyo mengaku prihatin melihat permasalahan migrasi dan pengungsi masih menjadi persoalan serius negara-negara di dunia. Menurut politisi yang kerap disapa Bamsoet ini, banyak negara di dunia yang belum mampu menyelesaikan masalah tersebut sendiri.
Bamsoet memaparkan, laporan Migrasi Internasional pada 2017 lalu menyebutkan setidaknya terdapat 258 juta migran di seluruh dunia. Angka tersebut meningkat dari tahun 2000 sebanyak 173 juta migran.
"Sudah puluhan tahun migrasi dalam skala besar, terutama yang disebabkan oleh konflik bersenjata dan kekerasan, menjadi tantangan yang masih terus dihadapi oleh berbagai negara di dunia,” terang Bamsoet dalam siaran pers yang diterima SINDOnews saat berpidato pada acara Inter Parliementary Union (IPU), di Jenewa, Swiss, pada Minggu (25/3/2018).
Bamsoet menuturkan, masalah tersebut harus mendapat perhatian serius bagi parlemen anggota IPU untuk bersama dicarikan jalan keluar terbaik. Di hadapan sebanyak 1.539 anggota delegasi dari 146 negara yang hadir, Bamsoet menerangkan Indonesia meski bukan bagian dari negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, namun telah mengadopsinya melalui Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Undang-Undang ini bertujuan untuk memperkuat penempatan dan perlindungan pekerja migran serta menyediakan landasan hukum yang lebih kuat bagi institusi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
“Di samping itu, Indonesia menerapkan pendekatan triple win dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait migrasi. Pendekatan tersebut tidak hanya mengutamakan kepentingan negara pengirim, tetapi juga negara penerima dan migran," ujarnya.
Mantan Ketua Komisi III ini menggambarkan bukti komitmen Indonesia, di mana atas dasar pertimbangan kemanusiaan pemerintah Indonesia telah menampung sebanyak 14.000 pengungsi dan pencari suaka. "Hal ini mencerminkan komitmen dan kepedulian Indonesia terhadap isu migrasi dan pengungsi. Sebagai negara transit kami juga bekerja sama dengan UNHCR dan IOM dalam hal penyediaan fasilitas penampungan bagi pengungsi yang sedang menunggu proses pemulangan atau penempatan kembali di negara ketiga," ungkap Bamsoet.
Di kancah internasional lanjut Bamsoet, Indonesia telah menunjukan komitmennya terhadap permasalahan pengungsi, khususnya terkait isu Rohingya di Myanmar. Kekerasan terhadap kaum Rohingya dalam segala bentuk dan manifestasinya, merupakan ancaman serius bagi keamanan dan perdamaian global.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Indonesia ujar Bamsoet telah tampil sebagai pionir dalam melakukan langkah-langkah diplomasi yang dibutuhkan untuk membuka akses bagi bantuan kemanusiaan dan transparansi dalam penanganan pengungsi Rohingya. Lembaga bantuan Indonesia juga membangun fasilitas kesehatan, pendidikan dan penampungan sementara bagi pengungsi Rohingya.
"Ini merupakan realisasi konkrit dari kunjungan yang dilakukan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo pada awal 2018 dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir 2017 ke Cox’s Bazaar. Selain Rohingya, Indonesia juga sangat prihatin dengan konflik-konflik yang sampai saat ini belum terselesaikan, seperti di Palestina, Suriah, dan Afghanistan," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Bamsoet mengajak parlemen anggota IPU untuk membangun komunikasi intensif dan bekerja sama dalam memberikan perlindungan bagi migran reguler dan ireguler. Salah satunya melalui perumusan kebijakan nasional yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan, serta mempertimbangkan kepentingan semua pihak.
"Kami menyadari bahwa mewujudkan hak asasi manusia bagi semua migran merupakan tanggung jawab yang timbul dari kewajiban internasional kita. Karena itulah, kita harus mendukung Global Compact for Migration dan Global Compact for Refugees, yang saat ini telah memasuki putaran kedua pembahasan," ucapnya.
Dirinya optimis Global Compact for Migration (GCM) dan Global Compact for Refugees (GCR) mampu menyelesaikan isu-isu pengungsi dan migrasi. Tak hanya itu, kedua instrumen tersebut diharapkan dapat pula mendorong tercapainya target-target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sehingga setiap individu dapat memetik manfaat dari agenda pembangunan global dan tidak ada seorang pun yang tertinggal.
"Kami percaya bahwa IPU memiliki kapasitas yang memadai dalam mendorong lahirnya instrumen internasional seperti GCM dan GCR yang dapat lebih mengakomodir kepentingan negara pengirim, negara penerima dan juga migran secara proporsional dan seimbang. Kami juga berharap agar Sidang-Sidang IPU tidak hanya menghasilkan resolusi, tetapi memberi dampak langsung pada perdamaian dan kesejahteraan masyarakat,” Bamsoet mengemukakan.
“Karena, itulah tugas utama kita sebagai wakil rakyat. Bukan hanya resolusi yang kita butuhkan, tetapi evaluasi dan kerja nyata," imbuhnya.
Bambang Soesatyo mengaku prihatin melihat permasalahan migrasi dan pengungsi masih menjadi persoalan serius negara-negara di dunia. Menurut politisi yang kerap disapa Bamsoet ini, banyak negara di dunia yang belum mampu menyelesaikan masalah tersebut sendiri.
Bamsoet memaparkan, laporan Migrasi Internasional pada 2017 lalu menyebutkan setidaknya terdapat 258 juta migran di seluruh dunia. Angka tersebut meningkat dari tahun 2000 sebanyak 173 juta migran.
"Sudah puluhan tahun migrasi dalam skala besar, terutama yang disebabkan oleh konflik bersenjata dan kekerasan, menjadi tantangan yang masih terus dihadapi oleh berbagai negara di dunia,” terang Bamsoet dalam siaran pers yang diterima SINDOnews saat berpidato pada acara Inter Parliementary Union (IPU), di Jenewa, Swiss, pada Minggu (25/3/2018).
Bamsoet menuturkan, masalah tersebut harus mendapat perhatian serius bagi parlemen anggota IPU untuk bersama dicarikan jalan keluar terbaik. Di hadapan sebanyak 1.539 anggota delegasi dari 146 negara yang hadir, Bamsoet menerangkan Indonesia meski bukan bagian dari negara yang menandatangani Konvensi Pengungsi 1951, namun telah mengadopsinya melalui Undang-Undang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia.
Undang-Undang ini bertujuan untuk memperkuat penempatan dan perlindungan pekerja migran serta menyediakan landasan hukum yang lebih kuat bagi institusi pemerintah dan pemangku kepentingan terkait lainnya.
“Di samping itu, Indonesia menerapkan pendekatan triple win dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan terkait migrasi. Pendekatan tersebut tidak hanya mengutamakan kepentingan negara pengirim, tetapi juga negara penerima dan migran," ujarnya.
Mantan Ketua Komisi III ini menggambarkan bukti komitmen Indonesia, di mana atas dasar pertimbangan kemanusiaan pemerintah Indonesia telah menampung sebanyak 14.000 pengungsi dan pencari suaka. "Hal ini mencerminkan komitmen dan kepedulian Indonesia terhadap isu migrasi dan pengungsi. Sebagai negara transit kami juga bekerja sama dengan UNHCR dan IOM dalam hal penyediaan fasilitas penampungan bagi pengungsi yang sedang menunggu proses pemulangan atau penempatan kembali di negara ketiga," ungkap Bamsoet.
Di kancah internasional lanjut Bamsoet, Indonesia telah menunjukan komitmennya terhadap permasalahan pengungsi, khususnya terkait isu Rohingya di Myanmar. Kekerasan terhadap kaum Rohingya dalam segala bentuk dan manifestasinya, merupakan ancaman serius bagi keamanan dan perdamaian global.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Indonesia ujar Bamsoet telah tampil sebagai pionir dalam melakukan langkah-langkah diplomasi yang dibutuhkan untuk membuka akses bagi bantuan kemanusiaan dan transparansi dalam penanganan pengungsi Rohingya. Lembaga bantuan Indonesia juga membangun fasilitas kesehatan, pendidikan dan penampungan sementara bagi pengungsi Rohingya.
"Ini merupakan realisasi konkrit dari kunjungan yang dilakukan oleh Presiden Indonesia Joko Widodo pada awal 2018 dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir 2017 ke Cox’s Bazaar. Selain Rohingya, Indonesia juga sangat prihatin dengan konflik-konflik yang sampai saat ini belum terselesaikan, seperti di Palestina, Suriah, dan Afghanistan," tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama Bamsoet mengajak parlemen anggota IPU untuk membangun komunikasi intensif dan bekerja sama dalam memberikan perlindungan bagi migran reguler dan ireguler. Salah satunya melalui perumusan kebijakan nasional yang komprehensif dan sesuai dengan kebutuhan di lapangan, serta mempertimbangkan kepentingan semua pihak.
"Kami menyadari bahwa mewujudkan hak asasi manusia bagi semua migran merupakan tanggung jawab yang timbul dari kewajiban internasional kita. Karena itulah, kita harus mendukung Global Compact for Migration dan Global Compact for Refugees, yang saat ini telah memasuki putaran kedua pembahasan," ucapnya.
Dirinya optimis Global Compact for Migration (GCM) dan Global Compact for Refugees (GCR) mampu menyelesaikan isu-isu pengungsi dan migrasi. Tak hanya itu, kedua instrumen tersebut diharapkan dapat pula mendorong tercapainya target-target Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Sehingga setiap individu dapat memetik manfaat dari agenda pembangunan global dan tidak ada seorang pun yang tertinggal.
"Kami percaya bahwa IPU memiliki kapasitas yang memadai dalam mendorong lahirnya instrumen internasional seperti GCM dan GCR yang dapat lebih mengakomodir kepentingan negara pengirim, negara penerima dan juga migran secara proporsional dan seimbang. Kami juga berharap agar Sidang-Sidang IPU tidak hanya menghasilkan resolusi, tetapi memberi dampak langsung pada perdamaian dan kesejahteraan masyarakat,” Bamsoet mengemukakan.
“Karena, itulah tugas utama kita sebagai wakil rakyat. Bukan hanya resolusi yang kita butuhkan, tetapi evaluasi dan kerja nyata," imbuhnya.
(whb)