Menolak Toleransi terhadap Korupsi
A
A
A
Ribut Lupiyanto
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
LANGKAH pemerintah dalam hal keberpihakan pemberantasan korupsi patut disayangkan. Hal ini terkait permintaan pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menunda pengumuman tersangka korupsi yang berasal dari para calon kepala daerah. Manuver ini kontraproduktif dan layak disebut sikap toleran terhadap korupsi.
KPK sebelumnya agresif melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada kepala daerah yang kembali bertarung pada Pilkada 2018. Selain itu KPK juga berniat mengumumkan beberapa calon kepala daerah lain sebagai tersangka korupsi.
Dinamika ini memang dilematis antara penegakan hukum dan kepentingan politik. Hukum hrus ditegakkan tanpa intervensi, sedangkan politik membutuhkan kepastian hukum bukan sandera. Titik temu keduanya sebenarnya ada pada kejernihan berpikir dan integritas semua pihak. Jalan keluar mesti ditemukan segera. Output-nya adalah menjamin demokrasi yang berkualitas dengan tetap berorientasi kepada pemberantasan korupsi.
Politik Uang
Setiap musim tahun politik selalu dihantui hadirnya politik uang. Apa pun yang terjadi politik uang mesti dihadang demi meminimalisasi korupsi lima tahun mendatang. Di sinilah peran kaum perempuan yang memiliki suara signifikan dinanti untuk lantang menghadang politik uang.
Politik uang menjadi bibit korupsi yang menjadi penyakit kronis Indonesia. Korupsi sudah kompleks dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Transparency Internasional (TI) merilis bahwa Indeks Persepsi Korupsi tahun 2017 nilainya 37. Nilai tersebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-96. Indeks persepsi korupsi Indonesia dari 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, tapi peringkatnya turun. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90.
Pemilu kerap dijalani dengan logika bisnis. Uang kampanye adalah modal yang mesti kembali bahkan menjadi laba selama masa jabatan. Politik uang yang tidak logis jika ditilik dalam kalkulasi gaji sangat rentan menimbulkan malapraktik politik seperti korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya. Politik uang juga menjadi mitos yang masih diyakini peserta pemilu menjadi kunci kemenangan dan sulit dihindari.
Produk logis dari politik uang adalah korupsi dan korupsi kerap terjadi di tahun politik demi modal politik uang. Fenomena ini terus berputar membentuk lingkaran setan. Alhasil korupsi politik bertengger di jajaran atas kasus korupsi di negeri ini.
Sepanjang tahun 2017 terdapat 43 perkara yang ditangani KPK, 20 perkara di antaranya melibatkan anggota DPR atau DPRD dan 12 bupati atau wali kota dan wakilnya.
Jelang Pilkada 2018, KPK sudah melakukan tangkap tangan terhadap enam kepala daerah yang juga akan bertarung dalam kontestasi demokrasi. Mereka antara lain Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Ngada NTT Marianus Sae, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, Bupati Jombang Nyono Suharli, dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Terakhir KPK menangkap Wali Kota Malang M Anton.
Akar penyakit korupsi di bidang politik menurut Larmour (dalam Djabbar, 2013) antara lain penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion), serta persekongkolan negara dan bisnis (business and state relation).
JPPR (2014) mengingatkan, ada dua modus operandi umum praktik politik uang. Pertama, modus politik uang dapat dilakukan antara peserta pemilu atau tim sukses dan pemilih. Modus ini paling lazim terjadi. Publik kadang tidak berdaya menerima, tidak sadar sebagai politik uang, menerima demi kepentingan publik, dan sebagian kecil pro aktif meminta karena desakan ekonomi.
Kedua, antara kandidat atau tim sukses dengan penyelenggara, mulai KPPS hingga KPU. Modus di antara kandidat dan penyelenggara berjalan dua arah. Hal ini dikarenakan upah penyelenggara yang dianggap rendah dan iming-iming peserta yang menggiurkan. Imbalan politik uang biasanya adalah manipulasi suara dalam rekapitulasi.
Hantu politik uang semakin merajalela dengan kehadiran calo suara. Calo suara mengklaim dapat menjamin pemenangan kursi di berbagai tingkat bagi caleg dan parpol. Calo meminta jatah upah tinggi selain biaya untuk membeli suara. Sejauh ini belum ada kepastian seberapa persen dan seberapa besar sampai ke pemilik suara.
Alternatif Solusi
Penundaan pengumuman jika memang sudah memiliki bukti kuat jelas akan menjadi pintu masuk adanya kasus korupsi baru. Hal ini mengingat adanya kebutuhan biaya politik pilkada. Namun KPK mestinya juga menjamin bahwa data-data sebelum pengumuman resmi tidak akan bocor bahkan kepada pemerintah sekalipun. Tujuannya agar tidak menyandera daftar calon tersangka yang ternyata tidak jadi ditersangkakan.
Pilkada dengan peserta tersangka korupsi akan menimbulkan masalah demokrasi. Parpol dan pendukung akan dirugikan karena peluang menang menjadi akan tipis. Adapun jika menang akan menimbulkan masalah baru setelah jadi. Proses pergantian nantinya akan memanaskan dinamika politik kembali.
Jalan tengahnya adalah tepat menurut KPK, yaitu pemerintah diimbau menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang merevisi UU Pemilu. Poin yang direvisi adalah calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka harus digantikan oleh pengusungnya. Tentu syarat dan ketentuan berlaku sama seperti sebelumnya dalam hal kualifikasi.
Hanya masalah waktu mesti dicermati agar tidak mengganggu tahapan jadwal pilkada. Sejalan dengan upaya mengikis politik uang selama pilkada mesti tetap dijalankan. Politik uang tidak jarang dikaburkan dengan biaya politik. Biaya politik tidak dapat dimungkiri banyak dibutuhkan peserta pemilu.
Biaya ini mestinya ditujukan untuk aktivitas politik yang direstui regulasi. Adapun batasan politik uang adalah menjanjikan sesuatu agar pemilih tidak menggunakan atau menggunakan hak pilihnya. Tindak politik uang semakin sistematis, berjaringan rapi, dan bervariasi bentuknya. Kondisi menuntut kedewasaan dan kejujuran peserta pemilu, ketegasan penyelenggara, dan kecerdasan publik untuk bisa memilahnya.
Politik uang tidak bisa terjadi jika bertepuk sebelah tangan. Ada pemberi dan harus ada penerima. Fakta ini menuntut keterpaduan penghadangan dari semua lini dan komponen.
Pertama dari sisi peserta pemilu. Caleg dan parpol mesti menunjukkan kejujuran dan kedewasaan berpolitik. Politik uang perlu disadari hanyalah mitos politik.
Kedua dari sisi penyelenggara pemilu. KPU mestinya mengeluarkan regulasi rinci terkait bentuk-bentuk kampanye yang tergolong politik uang. Selama ini definisi politik uang terlalu umum dan sering kabur dalam menilai kasus. Sosialisasi penting dilakukan masif bekerja sama dengan pemerintah daerah dan jajarannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga mesti tegas dan adil dalam menegakkan aturan terkait politik uang.
Toleransi dan kegamangan menindak akan semakin menyuburkan politik uang. Hal yang paling mengkhawatirkan jika terjadi perselingkuhan politik. Peserta pemilu berpotensi menyogok penyelenggara agar tidak ditindak segala tindakannya yang rentan melanggar aturan. Mekanisme pelaporan juga perlu dipermudah dan disosialisasikan ke publik. Bawaslu mestinya peka mencermati modifikasi modus politik uang yang semakin dikemas kreatif.
Ketiga, dari sisi publik. Publik mesti cerdas memilah dan memilih antara politik uang yang haram dengan biaya politik yang halal. Kesadaran awal penting ditumbuhkan bahwa politik uang merupakan bibit penyakit korupsi. Amplop yang bernilai tidak seberapa hanya akan dinikmati sesaat, tetapi uang rakyat dengan nilai berlipat akan berpotensi digarong selama menjabat. Publik membutuhkan pendidikan politik yang mencerahkan. Publik juga dapat didorong menjadi pengawas yang siap proaktif melaporkan jika terjadi tindak politik uang.
Keempat dari sisi masyarakat sipil seperti LSM, akademisi. Komponen ini ditunggu perannya dalam melakukan pendidikan politik. Informasi akurat dan rinci dibutuhkan publik. Gerakan sosial juga penting digalang dalam rangka menghadang politik uang. Politik uang mesti gencar dikampanyekan sebagai kejahatan politik dan musuh bersama bangsa.
Sebagaimana hantu, politik uang diyakini ada dan menjadi rahasia umum, tetapi susah melacak dan menangkapnya. Langkah terpenting adalah bagaimana bisa mencegah sejak dini. Pendekatan spiritualitas dan moralitas penting ditempuh secara implementatif untuk pencegahan. Penegakan hukum juga penting untuk memberikan efek jera. Transparansi finansial mesti dituntut secara terbuka kepada peserta pemilu. Semua langkah menuntut operasionalisasi yang penuh totalitas, keterpaduan, dan sistematis.
Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)
LANGKAH pemerintah dalam hal keberpihakan pemberantasan korupsi patut disayangkan. Hal ini terkait permintaan pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar menunda pengumuman tersangka korupsi yang berasal dari para calon kepala daerah. Manuver ini kontraproduktif dan layak disebut sikap toleran terhadap korupsi.
KPK sebelumnya agresif melakukan operasi tangkap tangan (OTT) kepada kepala daerah yang kembali bertarung pada Pilkada 2018. Selain itu KPK juga berniat mengumumkan beberapa calon kepala daerah lain sebagai tersangka korupsi.
Dinamika ini memang dilematis antara penegakan hukum dan kepentingan politik. Hukum hrus ditegakkan tanpa intervensi, sedangkan politik membutuhkan kepastian hukum bukan sandera. Titik temu keduanya sebenarnya ada pada kejernihan berpikir dan integritas semua pihak. Jalan keluar mesti ditemukan segera. Output-nya adalah menjamin demokrasi yang berkualitas dengan tetap berorientasi kepada pemberantasan korupsi.
Politik Uang
Setiap musim tahun politik selalu dihantui hadirnya politik uang. Apa pun yang terjadi politik uang mesti dihadang demi meminimalisasi korupsi lima tahun mendatang. Di sinilah peran kaum perempuan yang memiliki suara signifikan dinanti untuk lantang menghadang politik uang.
Politik uang menjadi bibit korupsi yang menjadi penyakit kronis Indonesia. Korupsi sudah kompleks dan melewati batas-batas nalar kemanusiaan (hyper corruptus). Transparency Internasional (TI) merilis bahwa Indeks Persepsi Korupsi tahun 2017 nilainya 37. Nilai tersebut menempatkan Indonesia di peringkat ke-96. Indeks persepsi korupsi Indonesia dari 2016 ke 2017 sama, yaitu 37, tapi peringkatnya turun. Pada 2016, Indonesia berada di peringkat ke-90.
Pemilu kerap dijalani dengan logika bisnis. Uang kampanye adalah modal yang mesti kembali bahkan menjadi laba selama masa jabatan. Politik uang yang tidak logis jika ditilik dalam kalkulasi gaji sangat rentan menimbulkan malapraktik politik seperti korupsi, gratifikasi, dan sejenisnya. Politik uang juga menjadi mitos yang masih diyakini peserta pemilu menjadi kunci kemenangan dan sulit dihindari.
Produk logis dari politik uang adalah korupsi dan korupsi kerap terjadi di tahun politik demi modal politik uang. Fenomena ini terus berputar membentuk lingkaran setan. Alhasil korupsi politik bertengger di jajaran atas kasus korupsi di negeri ini.
Sepanjang tahun 2017 terdapat 43 perkara yang ditangani KPK, 20 perkara di antaranya melibatkan anggota DPR atau DPRD dan 12 bupati atau wali kota dan wakilnya.
Jelang Pilkada 2018, KPK sudah melakukan tangkap tangan terhadap enam kepala daerah yang juga akan bertarung dalam kontestasi demokrasi. Mereka antara lain Bupati Subang Imas Aryumningsih, Bupati Ngada NTT Marianus Sae, Bupati Nganjuk Taufiqurrahman, Bupati Halmahera Timur Rudi Irawan, Bupati Jombang Nyono Suharli, dan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari. Terakhir KPK menangkap Wali Kota Malang M Anton.
Akar penyakit korupsi di bidang politik menurut Larmour (dalam Djabbar, 2013) antara lain penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power), peminggiran suara rakyat (duplicitous exclusion), serta persekongkolan negara dan bisnis (business and state relation).
JPPR (2014) mengingatkan, ada dua modus operandi umum praktik politik uang. Pertama, modus politik uang dapat dilakukan antara peserta pemilu atau tim sukses dan pemilih. Modus ini paling lazim terjadi. Publik kadang tidak berdaya menerima, tidak sadar sebagai politik uang, menerima demi kepentingan publik, dan sebagian kecil pro aktif meminta karena desakan ekonomi.
Kedua, antara kandidat atau tim sukses dengan penyelenggara, mulai KPPS hingga KPU. Modus di antara kandidat dan penyelenggara berjalan dua arah. Hal ini dikarenakan upah penyelenggara yang dianggap rendah dan iming-iming peserta yang menggiurkan. Imbalan politik uang biasanya adalah manipulasi suara dalam rekapitulasi.
Hantu politik uang semakin merajalela dengan kehadiran calo suara. Calo suara mengklaim dapat menjamin pemenangan kursi di berbagai tingkat bagi caleg dan parpol. Calo meminta jatah upah tinggi selain biaya untuk membeli suara. Sejauh ini belum ada kepastian seberapa persen dan seberapa besar sampai ke pemilik suara.
Alternatif Solusi
Penundaan pengumuman jika memang sudah memiliki bukti kuat jelas akan menjadi pintu masuk adanya kasus korupsi baru. Hal ini mengingat adanya kebutuhan biaya politik pilkada. Namun KPK mestinya juga menjamin bahwa data-data sebelum pengumuman resmi tidak akan bocor bahkan kepada pemerintah sekalipun. Tujuannya agar tidak menyandera daftar calon tersangka yang ternyata tidak jadi ditersangkakan.
Pilkada dengan peserta tersangka korupsi akan menimbulkan masalah demokrasi. Parpol dan pendukung akan dirugikan karena peluang menang menjadi akan tipis. Adapun jika menang akan menimbulkan masalah baru setelah jadi. Proses pergantian nantinya akan memanaskan dinamika politik kembali.
Jalan tengahnya adalah tepat menurut KPK, yaitu pemerintah diimbau menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) yang merevisi UU Pemilu. Poin yang direvisi adalah calon kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka harus digantikan oleh pengusungnya. Tentu syarat dan ketentuan berlaku sama seperti sebelumnya dalam hal kualifikasi.
Hanya masalah waktu mesti dicermati agar tidak mengganggu tahapan jadwal pilkada. Sejalan dengan upaya mengikis politik uang selama pilkada mesti tetap dijalankan. Politik uang tidak jarang dikaburkan dengan biaya politik. Biaya politik tidak dapat dimungkiri banyak dibutuhkan peserta pemilu.
Biaya ini mestinya ditujukan untuk aktivitas politik yang direstui regulasi. Adapun batasan politik uang adalah menjanjikan sesuatu agar pemilih tidak menggunakan atau menggunakan hak pilihnya. Tindak politik uang semakin sistematis, berjaringan rapi, dan bervariasi bentuknya. Kondisi menuntut kedewasaan dan kejujuran peserta pemilu, ketegasan penyelenggara, dan kecerdasan publik untuk bisa memilahnya.
Politik uang tidak bisa terjadi jika bertepuk sebelah tangan. Ada pemberi dan harus ada penerima. Fakta ini menuntut keterpaduan penghadangan dari semua lini dan komponen.
Pertama dari sisi peserta pemilu. Caleg dan parpol mesti menunjukkan kejujuran dan kedewasaan berpolitik. Politik uang perlu disadari hanyalah mitos politik.
Kedua dari sisi penyelenggara pemilu. KPU mestinya mengeluarkan regulasi rinci terkait bentuk-bentuk kampanye yang tergolong politik uang. Selama ini definisi politik uang terlalu umum dan sering kabur dalam menilai kasus. Sosialisasi penting dilakukan masif bekerja sama dengan pemerintah daerah dan jajarannya. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) juga mesti tegas dan adil dalam menegakkan aturan terkait politik uang.
Toleransi dan kegamangan menindak akan semakin menyuburkan politik uang. Hal yang paling mengkhawatirkan jika terjadi perselingkuhan politik. Peserta pemilu berpotensi menyogok penyelenggara agar tidak ditindak segala tindakannya yang rentan melanggar aturan. Mekanisme pelaporan juga perlu dipermudah dan disosialisasikan ke publik. Bawaslu mestinya peka mencermati modifikasi modus politik uang yang semakin dikemas kreatif.
Ketiga, dari sisi publik. Publik mesti cerdas memilah dan memilih antara politik uang yang haram dengan biaya politik yang halal. Kesadaran awal penting ditumbuhkan bahwa politik uang merupakan bibit penyakit korupsi. Amplop yang bernilai tidak seberapa hanya akan dinikmati sesaat, tetapi uang rakyat dengan nilai berlipat akan berpotensi digarong selama menjabat. Publik membutuhkan pendidikan politik yang mencerahkan. Publik juga dapat didorong menjadi pengawas yang siap proaktif melaporkan jika terjadi tindak politik uang.
Keempat dari sisi masyarakat sipil seperti LSM, akademisi. Komponen ini ditunggu perannya dalam melakukan pendidikan politik. Informasi akurat dan rinci dibutuhkan publik. Gerakan sosial juga penting digalang dalam rangka menghadang politik uang. Politik uang mesti gencar dikampanyekan sebagai kejahatan politik dan musuh bersama bangsa.
Sebagaimana hantu, politik uang diyakini ada dan menjadi rahasia umum, tetapi susah melacak dan menangkapnya. Langkah terpenting adalah bagaimana bisa mencegah sejak dini. Pendekatan spiritualitas dan moralitas penting ditempuh secara implementatif untuk pencegahan. Penegakan hukum juga penting untuk memberikan efek jera. Transparansi finansial mesti dituntut secara terbuka kepada peserta pemilu. Semua langkah menuntut operasionalisasi yang penuh totalitas, keterpaduan, dan sistematis.
(maf)