Demokrasi Jangan Tabrak Nomokrasi
A
A
A
Moh Mahfud MD
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
“Apa dasarnya, orang yang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, kok, harus ditunda sampai selesai pilkada?”
ITULAH pertanyaan yang disodorkan beberapa orang Indonesia dalam kunjungan saya ke Taipei, Taiwan, sejak Jumat (16/3/2018) pekan lalu. Memang, permintaan Menko Polhukam Wiranto yang kemudian diluruskan menjadi “imbauan” kepada penegak hukum (terutama Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) agar menunda penetapan calon kepala daerah (cakada) untuk disidik (dijadikan tersangka) mengagetkan. Bukan hanya bagi kita yang tinggal di Indonesia, tetapi juga bagi WNI yang ada di mancanegara.
Itu bisa dilihat dari reaksi keras yang langsung menggema di mana-mana. Perbincangan di kampus-kampus dan di kedai-kedai banyak mengupas hal tersebut sebagai hal yang serius. Televisi-televisi membedahnya melalui dialog interaktif, media konvensional maupun online terus mendiskusikannya sampai sekarang.
Masa, sih, penersangkaan atas terjadinya pelanggaran hukum, tepatnya dugaan dilakukannya korupsi, oleh seorang cakada yang sedang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) harus ditunda sampai selesainya pilkada? Dalam pandangan hukum, secara prinsip, hal itu sangat tidak dibolehkan.
Saduran adagiumnya, “kebenaran, hukum, dan keadilan harus secepatnya ditegakkan meskipun besok pagi langit akan runtuh”. Apalagi hanya karena pilkada yang pemungutan suaranya masih akan berlangsung pada 27 Juni 2018, hampir empat bulan lagi, itu.
Harus diingat bahwa Indonesia memang merupakan negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) dan pilkada adalah salah satu cara untuk melaksanakan demokrasi tersebut. Tapi harus diingat pula bahwa Indonesia adalah negara nomokrasi (berkedaulatan hukum) yang meniscayakan hukum mengawal dan meluruskan secara seketika pelaksanaan demokrasi dan penyelenggaraan negara pada umumnya.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat”(demokrasi), tetapi dalam satu tarikan napas frasa itu langsung disambung dengan frasa “dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (nomokrasi). Bahkan posisi hukum yang seperti itu dikuatkan lagi di dalam Pasal 1 aya t (3) yang menegaskan, “Indonesia adalah negara hukum” yang berarti negara menomorsatukan supremasi hukum. Jadi prinsip demokrasi dan nomokrasi harus ditegakkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang, keduanya sama penting.
Ada adagium, “demokrasi tanpa hukum bisa liar dan menimbulkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta sewenang-wenang”. Makna dari adagium itu, demokrasi harus senantiasa dikawal oleh hukum agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan kekacauan atau anarkistis karena semuanya bisa bertindak sendiri-sendiri berdasar kekuatannya.
Namun hukum pun harus dibuat secara demokratis agar dapat menampung dan mencerminkan aspirasi masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia pada umumnya dan hak-hak warga negara pada khususnya. Dalam hubungan antara demokrasi dan hukum yang seperti itulah, dari perspektif politik hukum, didalilkan bahwa hukum dibuat secara demokratis melalui proses-proses politik, tetapi kemudian politik harus tunduk pada hukum, politik tidak boleh mengintervensi hukum.
Berdasar konsep dasar yang seperti itu, di dalam struktur ketatanegaraan kita dibentuk lembaga-lembaga demokrasi dan lembaga-lembaga nomokrasi. Lembaga demokrasi seperti DPR dan Presiden bertugas, antara lain, menampung aspirasi rakyat untuk membentuk hukum, sedangkan lembaga nomokrasi, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), mengawal penegakan hukum itu terhadap siapa pun, termasuk terhadap pemerintah sekalipun.
Jika ada kontes politik untuk melaksanakan demokrasi yang kemudian ternyata melanggar hukum (misalnya kecurangan yang signifikan), nomokrasi harus beraksi untuk meluruskannya. Nomokrasi harus ditegakkan tanpa harus menunggu selesainya satu agenda politik.
Kita memahami permintaan Menko Polhukam itu bertujuan baik, yakni agar pilkada yang memang rawan konflik tidak menjadi kisruh karena ada cakada yang sedang bertarung dijadikan tersangka. Di dalam hukum memang ada asas oportunitas (kemanfaatan) yang memungkinkan hukum tidak dilaksanakan demi kemanfaatan umum. Gustav Radburg, misalnya, menyebut adanya tiga asas yang juga jadi tujuan hukum, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Untuk tujuan kemanfaatan, hukum tidak harus ditegakkan secara apa adanya jika tidak bermanfaat, apalagi sampai membahayakan kelangsungan negara. Tapi dalam konteks yang dikemukakan Menko Polhukam itu, masalahnya mana yang lebih bermanfaat antara menjadikan tersangka atau menundanya sampai selesai pilkada bagi cakada yang sudah memenuhi syarat untuk dipersangkakan?
Public common sense (akal sehat publik) lebih cenderung mengatakan bahwa justru akan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara ini jika cakada yang memenuhi syarat hukum untuk ditersangkakan segera dijadikan tersangka. Itulah sebabnya banyak yang memprotes dan mempertanyakan pernyataan Menko Polhukam itu.
Untungnya Pak Wiranto segera meluruskan bahwa apa yang disampaikannya itu bukanlah intervensi, melainkan sekadar imbauan. “Kalau imbauan itu tidak mau diikuti, ya, tidak apa-apa,” kata Pak Wiranto.
Nah, tinggallah kini KPK merasa rikuh atau tidak untuk tidak mengikuti imbauan seperti itu. Supremasi hukum itu menghendaki ketegasan penindakan, tidak boleh dipengaruhi oleh kerikuhan atau dipengaruhi politik, dan harus ditegakkan meskipun bumi dan langit sedang bergemuruh. Pokoknya demokrasi tidak boleh menabrak nomokrasi dan keduanya harus bersinergi membangun NKRI.
Ketua Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN)
Ketua MK (2008-2013)
“Apa dasarnya, orang yang sudah memenuhi syarat untuk dijadikan tersangka, kok, harus ditunda sampai selesai pilkada?”
ITULAH pertanyaan yang disodorkan beberapa orang Indonesia dalam kunjungan saya ke Taipei, Taiwan, sejak Jumat (16/3/2018) pekan lalu. Memang, permintaan Menko Polhukam Wiranto yang kemudian diluruskan menjadi “imbauan” kepada penegak hukum (terutama Komisi Pemberantasan Korupsi/KPK) agar menunda penetapan calon kepala daerah (cakada) untuk disidik (dijadikan tersangka) mengagetkan. Bukan hanya bagi kita yang tinggal di Indonesia, tetapi juga bagi WNI yang ada di mancanegara.
Itu bisa dilihat dari reaksi keras yang langsung menggema di mana-mana. Perbincangan di kampus-kampus dan di kedai-kedai banyak mengupas hal tersebut sebagai hal yang serius. Televisi-televisi membedahnya melalui dialog interaktif, media konvensional maupun online terus mendiskusikannya sampai sekarang.
Masa, sih, penersangkaan atas terjadinya pelanggaran hukum, tepatnya dugaan dilakukannya korupsi, oleh seorang cakada yang sedang berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) harus ditunda sampai selesainya pilkada? Dalam pandangan hukum, secara prinsip, hal itu sangat tidak dibolehkan.
Saduran adagiumnya, “kebenaran, hukum, dan keadilan harus secepatnya ditegakkan meskipun besok pagi langit akan runtuh”. Apalagi hanya karena pilkada yang pemungutan suaranya masih akan berlangsung pada 27 Juni 2018, hampir empat bulan lagi, itu.
Harus diingat bahwa Indonesia memang merupakan negara demokrasi (berkedaulatan rakyat) dan pilkada adalah salah satu cara untuk melaksanakan demokrasi tersebut. Tapi harus diingat pula bahwa Indonesia adalah negara nomokrasi (berkedaulatan hukum) yang meniscayakan hukum mengawal dan meluruskan secara seketika pelaksanaan demokrasi dan penyelenggaraan negara pada umumnya.
Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 menegaskan bahwa “kedaulatan berada di tangan rakyat”(demokrasi), tetapi dalam satu tarikan napas frasa itu langsung disambung dengan frasa “dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar” (nomokrasi). Bahkan posisi hukum yang seperti itu dikuatkan lagi di dalam Pasal 1 aya t (3) yang menegaskan, “Indonesia adalah negara hukum” yang berarti negara menomorsatukan supremasi hukum. Jadi prinsip demokrasi dan nomokrasi harus ditegakkan seperti dua sisi dari sekeping mata uang, keduanya sama penting.
Ada adagium, “demokrasi tanpa hukum bisa liar dan menimbulkan anarki, sedangkan hukum tanpa demokrasi bisa zalim serta sewenang-wenang”. Makna dari adagium itu, demokrasi harus senantiasa dikawal oleh hukum agar berjalan tertib dan tidak menimbulkan kekacauan atau anarkistis karena semuanya bisa bertindak sendiri-sendiri berdasar kekuatannya.
Namun hukum pun harus dibuat secara demokratis agar dapat menampung dan mencerminkan aspirasi masyarakat dalam memberikan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia pada umumnya dan hak-hak warga negara pada khususnya. Dalam hubungan antara demokrasi dan hukum yang seperti itulah, dari perspektif politik hukum, didalilkan bahwa hukum dibuat secara demokratis melalui proses-proses politik, tetapi kemudian politik harus tunduk pada hukum, politik tidak boleh mengintervensi hukum.
Berdasar konsep dasar yang seperti itu, di dalam struktur ketatanegaraan kita dibentuk lembaga-lembaga demokrasi dan lembaga-lembaga nomokrasi. Lembaga demokrasi seperti DPR dan Presiden bertugas, antara lain, menampung aspirasi rakyat untuk membentuk hukum, sedangkan lembaga nomokrasi, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), mengawal penegakan hukum itu terhadap siapa pun, termasuk terhadap pemerintah sekalipun.
Jika ada kontes politik untuk melaksanakan demokrasi yang kemudian ternyata melanggar hukum (misalnya kecurangan yang signifikan), nomokrasi harus beraksi untuk meluruskannya. Nomokrasi harus ditegakkan tanpa harus menunggu selesainya satu agenda politik.
Kita memahami permintaan Menko Polhukam itu bertujuan baik, yakni agar pilkada yang memang rawan konflik tidak menjadi kisruh karena ada cakada yang sedang bertarung dijadikan tersangka. Di dalam hukum memang ada asas oportunitas (kemanfaatan) yang memungkinkan hukum tidak dilaksanakan demi kemanfaatan umum. Gustav Radburg, misalnya, menyebut adanya tiga asas yang juga jadi tujuan hukum, yakni kepastian, keadilan, dan kemanfaatan.
Untuk tujuan kemanfaatan, hukum tidak harus ditegakkan secara apa adanya jika tidak bermanfaat, apalagi sampai membahayakan kelangsungan negara. Tapi dalam konteks yang dikemukakan Menko Polhukam itu, masalahnya mana yang lebih bermanfaat antara menjadikan tersangka atau menundanya sampai selesai pilkada bagi cakada yang sudah memenuhi syarat untuk dipersangkakan?
Public common sense (akal sehat publik) lebih cenderung mengatakan bahwa justru akan lebih bermanfaat bagi bangsa dan negara ini jika cakada yang memenuhi syarat hukum untuk ditersangkakan segera dijadikan tersangka. Itulah sebabnya banyak yang memprotes dan mempertanyakan pernyataan Menko Polhukam itu.
Untungnya Pak Wiranto segera meluruskan bahwa apa yang disampaikannya itu bukanlah intervensi, melainkan sekadar imbauan. “Kalau imbauan itu tidak mau diikuti, ya, tidak apa-apa,” kata Pak Wiranto.
Nah, tinggallah kini KPK merasa rikuh atau tidak untuk tidak mengikuti imbauan seperti itu. Supremasi hukum itu menghendaki ketegasan penindakan, tidak boleh dipengaruhi oleh kerikuhan atau dipengaruhi politik, dan harus ditegakkan meskipun bumi dan langit sedang bergemuruh. Pokoknya demokrasi tidak boleh menabrak nomokrasi dan keduanya harus bersinergi membangun NKRI.
(poe)