Pemilu dan Ujian Keutuhan NKRI
A
A
A
Busman Edyar Kandidat Doktor Pascasarjana Universitas Islam Negeri Jakarta
Dalam dua tahun ini rakyat Indonesia akan menggelar hajatan pesta demokrasi. Tahun 2018, misalnya, rakyat di 171 daerah akan memilih calon pemimpin daerah melalui pilkada serentak. Sementara pada 2019 seluruh rakyat Indonesia akan memilih wakil mereka di DPR/DPD/ DPRD sekaligus presiden melalui pemilu serentak. Layaknya pesta, tentulah rakyat kembali akan menyambutnya dengan sukacita. Ekspektasi rakyat adalah pesta demokrasi ini berimbas pada kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Namun, di balik optimisme di atas, menyeruak kekhawatiran akan pecahnya persatuan bangsa. Belakangan ini kita menghadapi persoalan-persoalan serius menyangkut kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Mulai dari munculnya aksi kekerasan masif karena kesalahan dalam menafsirkan demokrasi, euforia kultural karena ketidaktepatan memaknai otonomi, menjamurnya narkoba tiada henti, sampai tersebarnya hoaks yang kesemuanya dapat merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekiranya kita tidak hati-hati dalam menyikapinya maka sangat mungkin Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Francis Fukuyama dengan the end of history.
Saat ini usia kemerdekaan Indonesia memasuki 73 tahun. Kalau menurut Gardono (1999), saat memasuki usia lebih dari setengah abad, suatu negara akan memasuki masa kritis dan rentan dengan disintegrasi. Dari 10 kasus disintegrasi, 5 di antaranya menimpa negara yang berumur antara 50-100 tahun (Yugoslavia, Cekoslovakia, Uni Soviet, Denmark, dan Swedia), 3 kasus menimpa negara dengan umur 0-50 tahun (Malaysia, Pakistan, dan Senegal), dan sisanya 2 kasus menimpa negara dengan umur di atas 100 tahun (Inggris/Irlandia dan Ethiopia/ Eritria). Bahkan, pada umur ini muncul generasi kedua yang akan mengevaluasi dan mempertanyakan kesepakatan sosial yang sudah dibangun sebelumnya oleh para pelaku revolusi. Amerika Serikat sendiri pernah mengalaminya ketika berusia di antara 50-100 tahun (1863), tapi mereka dapat mempertahankan integrasi.
Hilangnya Sensitivitas
Munculnya disintegrasi suatu bangsa biasanya dipicu oleh memudarnya rasa kebersamaan anak bangsa. Rasa ini pudar ketika apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan seperti keadilan, kemakmuran, masyarakat yang cerdas dan sejahtera, tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Artinya, hanya sekelompok tertentu yang menikmati hasil kemerdekaan, sementara kelompok masyarakat yang lain hanya menjadi penonton. Kita lihat betapa banyaknya anomali hukum, sosial, dan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat. Ketika negara kita terjerat utang sampai ribuan triliun, kita tetap menyaksikan berseliwerannya mobil-mobil keluaran terbaru di jalanan.
Atau, ketika sebagian masyarakat kita hidup di bawah standar, sulit sekolah karena tidak ada biaya, tak mendapat layanan berobat karena tidak punya uang muka, di saat yang sama elite politik dan pejabat justru semakin banyak yang tertangkap tangan karena penyelewengan jabatan. Hilangnya sensitivitas publik dari pejabat dan elite politik kemudian ditambah oleh perasaan terpinggirkan di tengah masyarakat, lama-kelamaan menimbulkan perasaan sebagai out sider yang berujung pada keputusasaan dalam menggapai tujuan hidup bersama. Latar belakang inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya gerakan separatis yang berujung pada disintegrasi bangsa.
Maurice Duverger dalam Sosiologie Politishe (1979) menyatakan bahwa kontinuitas histori sebuah negara-bangsa ditentukan oleh derajat “solidaritas psikologis” (psychological solidarity ) sebagai conditio sine qua non yang sifatnya transhistorik. Kalau ikatan psikologis antarmasyarakat di negeri ini tidak terbangun secara benar, ancaman disintegrasi tetap akan membayang. Ibarat sebuah kelompok sosial terkecil, bergabungnya individu-individu biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti: 1) adanya kesamaan (similarity ), 2) merasa senasib (common fate), 3) adanya kedekatan baik secara fisik atau psikologis (proximity), 4) merasa mendapatkan ancaman dari musuh yang sama (shared threat), 5) motif lain yang bersifat utilitarian seperti keuntungan bersama, pencapaian tujuan bersama, dan lain-lain (Hamdi Muluk : 1999).
Selagi individu-individu yang bergabung dalam kelompok tersebut memiliki dan meyakini kelima faktor di atas maka akan solidlah kelompok itu. Sebaliknya, bila kelima hal tersebut sudah mulai hilang atau pudar, akan semakin rapuhlah kelompok itu. Persis seperti yang dikatakan Arthur M Schlesinger Jr dalam Disuniting of America: Reflections on A Multicultural Society (1992) bahwa banyak negara di dunia pecah karena mereka gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada orang-orang dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat (meyakini) diri mereka sebagai bagian dari negara yang sama. Bubarnya negara sosialis Uni Soviet dan Yugoslavia atau pecahnya Ceko dan Slovakia serta berpisahnya Pakistan dan Bangladesh dari India merupakan bukti konkret hilangnya keyakinan untuk tetap bersama.
Demikian halnya dengan Indonesia. Negara ini lahir sebagai kesepakatan bersama para pendiri bangsa yang sama-sama merasakan pahitnya dijajah Belanda dan Jepang. Perasaan sama-sama menderita selama dijajah ini telah menyatukan tekad bangsa Indonesia untuk menumpas penjajahan. Bahkan, estimasi berlebihan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook pada 1942 yang menyebutkan Indonesia baru bisa merdeka setelah seratus tahun kemudian (sekitar 2042), tidaklah menyurutkan tekad para pendiri republik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara sepihak. Itulah sebabnya, mengapa dalam teks proklamasi disebutkan pemindahan kekuasaan (bukan penyerahan kekuasaan) dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebab, kemerdekaan adalah usaha dan keyakinan bangsa Indonesia, bukan pemberian dari bangsa penjajah sebagaimana dialami negara-negara yang baru merdeka ketika itu.
Pentingnya Keadilan
Dengan latar belakang seperti ini sudah seharusnya kita mempertahankan kesepakatan sosial para pendiri negara, yakni sepakat untuk mencapai kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bersama. Kemerdekaan yang direbut dengan mempertaruhkan nyawa, jelas bukanlah tujuan utama kita. Demikian juga dengan rangkaian pilkada dan pileg/pilpres, jelas bukanlah tujuan kita. Karena kemerdekaan, pilkada ataupun pileg/pilpres hanyalah sarana mencapai tujuan bernegara, yakni masyarakat yang adil dan sejahtera. Untaian kata adil terpampang jelas dalam teks Pembukaan UUD 1945. Bahkan, kata dasar adil tak kurang dari lima kali disebutkan dalam mukadimah itu. Hal ini berarti keindonesiaan harus dibangun di atas keadilan, sebab rasa ketidakadilan dan hidup tidak sejahtera rentan keretakan. Sejarah separatisme di Indonesia menunjukkan ketidakadilan distribusi hasil pembangunan memicu keinginan memisahkan diri dari NKRI.
Karena itulah, keadilan harus betul-betul dirasakan bersama secara proporsional oleh setiap warga negara. Tidak boleh terjadi kelompok masyarakat yang makmur di atas kemelaratan kelompok lain. Semoga rangkaian pilkada dan pemilu (pileg ataupun pilpres) kali ini mampu jadi jembatan untuk solusi persoalan bangsa ini. Wallahu a’lam bi alshawab.
Dalam dua tahun ini rakyat Indonesia akan menggelar hajatan pesta demokrasi. Tahun 2018, misalnya, rakyat di 171 daerah akan memilih calon pemimpin daerah melalui pilkada serentak. Sementara pada 2019 seluruh rakyat Indonesia akan memilih wakil mereka di DPR/DPD/ DPRD sekaligus presiden melalui pemilu serentak. Layaknya pesta, tentulah rakyat kembali akan menyambutnya dengan sukacita. Ekspektasi rakyat adalah pesta demokrasi ini berimbas pada kehidupan mereka ke arah yang lebih baik.
Namun, di balik optimisme di atas, menyeruak kekhawatiran akan pecahnya persatuan bangsa. Belakangan ini kita menghadapi persoalan-persoalan serius menyangkut kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara. Mulai dari munculnya aksi kekerasan masif karena kesalahan dalam menafsirkan demokrasi, euforia kultural karena ketidaktepatan memaknai otonomi, menjamurnya narkoba tiada henti, sampai tersebarnya hoaks yang kesemuanya dapat merusak keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Sekiranya kita tidak hati-hati dalam menyikapinya maka sangat mungkin Indonesia mengalami apa yang disebut oleh Francis Fukuyama dengan the end of history.
Saat ini usia kemerdekaan Indonesia memasuki 73 tahun. Kalau menurut Gardono (1999), saat memasuki usia lebih dari setengah abad, suatu negara akan memasuki masa kritis dan rentan dengan disintegrasi. Dari 10 kasus disintegrasi, 5 di antaranya menimpa negara yang berumur antara 50-100 tahun (Yugoslavia, Cekoslovakia, Uni Soviet, Denmark, dan Swedia), 3 kasus menimpa negara dengan umur 0-50 tahun (Malaysia, Pakistan, dan Senegal), dan sisanya 2 kasus menimpa negara dengan umur di atas 100 tahun (Inggris/Irlandia dan Ethiopia/ Eritria). Bahkan, pada umur ini muncul generasi kedua yang akan mengevaluasi dan mempertanyakan kesepakatan sosial yang sudah dibangun sebelumnya oleh para pelaku revolusi. Amerika Serikat sendiri pernah mengalaminya ketika berusia di antara 50-100 tahun (1863), tapi mereka dapat mempertahankan integrasi.
Hilangnya Sensitivitas
Munculnya disintegrasi suatu bangsa biasanya dipicu oleh memudarnya rasa kebersamaan anak bangsa. Rasa ini pudar ketika apa yang menjadi cita-cita kemerdekaan seperti keadilan, kemakmuran, masyarakat yang cerdas dan sejahtera, tidak dapat dirasakan oleh seluruh rakyat. Artinya, hanya sekelompok tertentu yang menikmati hasil kemerdekaan, sementara kelompok masyarakat yang lain hanya menjadi penonton. Kita lihat betapa banyaknya anomali hukum, sosial, dan ekonomi yang terjadi di tengah masyarakat. Ketika negara kita terjerat utang sampai ribuan triliun, kita tetap menyaksikan berseliwerannya mobil-mobil keluaran terbaru di jalanan.
Atau, ketika sebagian masyarakat kita hidup di bawah standar, sulit sekolah karena tidak ada biaya, tak mendapat layanan berobat karena tidak punya uang muka, di saat yang sama elite politik dan pejabat justru semakin banyak yang tertangkap tangan karena penyelewengan jabatan. Hilangnya sensitivitas publik dari pejabat dan elite politik kemudian ditambah oleh perasaan terpinggirkan di tengah masyarakat, lama-kelamaan menimbulkan perasaan sebagai out sider yang berujung pada keputusasaan dalam menggapai tujuan hidup bersama. Latar belakang inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya gerakan separatis yang berujung pada disintegrasi bangsa.
Maurice Duverger dalam Sosiologie Politishe (1979) menyatakan bahwa kontinuitas histori sebuah negara-bangsa ditentukan oleh derajat “solidaritas psikologis” (psychological solidarity ) sebagai conditio sine qua non yang sifatnya transhistorik. Kalau ikatan psikologis antarmasyarakat di negeri ini tidak terbangun secara benar, ancaman disintegrasi tetap akan membayang. Ibarat sebuah kelompok sosial terkecil, bergabungnya individu-individu biasanya dilatarbelakangi oleh beberapa hal seperti: 1) adanya kesamaan (similarity ), 2) merasa senasib (common fate), 3) adanya kedekatan baik secara fisik atau psikologis (proximity), 4) merasa mendapatkan ancaman dari musuh yang sama (shared threat), 5) motif lain yang bersifat utilitarian seperti keuntungan bersama, pencapaian tujuan bersama, dan lain-lain (Hamdi Muluk : 1999).
Selagi individu-individu yang bergabung dalam kelompok tersebut memiliki dan meyakini kelima faktor di atas maka akan solidlah kelompok itu. Sebaliknya, bila kelima hal tersebut sudah mulai hilang atau pudar, akan semakin rapuhlah kelompok itu. Persis seperti yang dikatakan Arthur M Schlesinger Jr dalam Disuniting of America: Reflections on A Multicultural Society (1992) bahwa banyak negara di dunia pecah karena mereka gagal memberikan alasan-alasan yang kuat kepada orang-orang dari berbagai latar belakang etnis untuk melihat (meyakini) diri mereka sebagai bagian dari negara yang sama. Bubarnya negara sosialis Uni Soviet dan Yugoslavia atau pecahnya Ceko dan Slovakia serta berpisahnya Pakistan dan Bangladesh dari India merupakan bukti konkret hilangnya keyakinan untuk tetap bersama.
Demikian halnya dengan Indonesia. Negara ini lahir sebagai kesepakatan bersama para pendiri bangsa yang sama-sama merasakan pahitnya dijajah Belanda dan Jepang. Perasaan sama-sama menderita selama dijajah ini telah menyatukan tekad bangsa Indonesia untuk menumpas penjajahan. Bahkan, estimasi berlebihan Gubernur Jenderal Hindia Belanda Van Mook pada 1942 yang menyebutkan Indonesia baru bisa merdeka setelah seratus tahun kemudian (sekitar 2042), tidaklah menyurutkan tekad para pendiri republik untuk memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secara sepihak. Itulah sebabnya, mengapa dalam teks proklamasi disebutkan pemindahan kekuasaan (bukan penyerahan kekuasaan) dalam tempo sesingkat-singkatnya. Sebab, kemerdekaan adalah usaha dan keyakinan bangsa Indonesia, bukan pemberian dari bangsa penjajah sebagaimana dialami negara-negara yang baru merdeka ketika itu.
Pentingnya Keadilan
Dengan latar belakang seperti ini sudah seharusnya kita mempertahankan kesepakatan sosial para pendiri negara, yakni sepakat untuk mencapai kesejahteraan, keadilan, dan kemakmuran bersama. Kemerdekaan yang direbut dengan mempertaruhkan nyawa, jelas bukanlah tujuan utama kita. Demikian juga dengan rangkaian pilkada dan pileg/pilpres, jelas bukanlah tujuan kita. Karena kemerdekaan, pilkada ataupun pileg/pilpres hanyalah sarana mencapai tujuan bernegara, yakni masyarakat yang adil dan sejahtera. Untaian kata adil terpampang jelas dalam teks Pembukaan UUD 1945. Bahkan, kata dasar adil tak kurang dari lima kali disebutkan dalam mukadimah itu. Hal ini berarti keindonesiaan harus dibangun di atas keadilan, sebab rasa ketidakadilan dan hidup tidak sejahtera rentan keretakan. Sejarah separatisme di Indonesia menunjukkan ketidakadilan distribusi hasil pembangunan memicu keinginan memisahkan diri dari NKRI.
Karena itulah, keadilan harus betul-betul dirasakan bersama secara proporsional oleh setiap warga negara. Tidak boleh terjadi kelompok masyarakat yang makmur di atas kemelaratan kelompok lain. Semoga rangkaian pilkada dan pemilu (pileg ataupun pilpres) kali ini mampu jadi jembatan untuk solusi persoalan bangsa ini. Wallahu a’lam bi alshawab.
(pur)