Keamanan Data Pribadi
A
A
A
FACEBOOK menjadi salah satu topik utama pembicaraan sepanjang hari kemarin. Media online dan linimasa media sosial ramai membahas masalah yang sedang mendera perusahaan milik Mark Zuckerberg ini. Persoalan berawal dari terkuaknya skandal pencurian data sekitar 50 juta pengguna Facebook di Amerika Serikat (AS). Data pribadi tersebut digunakan untuk kepentingan politik saat Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika Serikat pada 2016. Data pribadi warga AS ini diangkut oleh perusahaan Cambridge Analytica untuk kepentingan memenangkan kampanye Donald Trump yang akhirnya terpilih sebagai presiden.
Bagaimana data pengguna Facebook sampai bocor dan digunakan untuk kepentingan kampanye pilpres? Setelah ditelisik, terungkap bahwa seorang konsultan pemenangan Trump pernah memiliki perjanjian dengan Facebook terkait data pribadi pengguna. Kerja sama tersebut awalnya untuk tujuan akademis. Namun, ternyata itu tidak berhenti pada kepentingan akademis semata. Data 50 juta pengguna Facebook di Negeri Paman Sam itu rupanya juga dipakai untuk tujuan politik. Dari data pribadi tersebut, profil psikologis warga AS dipetakan, mana yang merupakan pendukung Trump, yang menolak Trump, dan yang masih ragu-ragu. Setelah profil psikologis pengguna diperoleh, diproduksilah iklan yang diyakini bisa memengaruhi pilihan politik warga AS.
Terungkapnya kasus pencurian data ini hampir pasti membuat pemilik Facebook kelimpungan. Kemarin saham Facebook anjlok sehingga Mark disebutkan kehilangan USD9,1 miliar atau sekitar Rp123 triliun hanya dalam tempo 48 jam. Selain itu, otoritas Amerika dan Eropa juga akan menyelidiki Facebook atas terbongkarnya skandal ini. Parlemen Uni Eropa bahkan tidak tinggal diam dan akan memanggil Mark untuk hadir di sidang Parlemen Uni Eropa di Brussles, Belgia. Tidak cukup dengan itu, kemarin muncul seruan menghapus (delete) akun Facebook yang disuarakan pengguna media sosial.
Lantas, apa pelajaran bagi Indonesia dari kasus Facebook ini? Menarik mencermati kasus pencurian data ini karena berlangsung di negara yang sangat menghargai privasi dan karenanya memiliki regulasi yang tegas soal perlindungan data pribadi warganya. Tapi, toh, AS ternyata tetap kebobolan juga. Pertanyaan berikutnya, jika di AS saja data pribadi dalam jumlah masif bisa disalahgunakan, bagaimana dengan negeri ini? Kita tahu Indonesia sampai hari ini tidak memiliki undang-undang yang menjamin keamanan data pribadi warganya.
Akibat rapuhnya keamanan data pribadi ini, masyarakat akhirnya harus mengalami banyak peristiwa tidak mengenakkan, bahkan tak jarang berujung kerugian misalnya jadi korban penipuan. Sebagian pengguna kartu kredit sering menerima telepon dari petugas telemarketing bank lain yang juga menawarkan kartu kredit meski bukan nasabah bank bersangkutan. Mengapa nomor telepon orang yang sesungguhnya privasi bisa dengan mudah diedarkan tanpa ada sanksi apa pun bagi pelakunya?
Tahun ini pemerintah menerapkan kebijakan registrasi nomor kartu seluler. Langkah ini disambut antusias pengguna telepon seluler karena tujuannya untuk mencegah praktik kejahatan. Saat ini operator seluler mencatat nomor pelanggan yang teregistrasi mencapai 304,86 juta. Terlepas dari berbagai masalah yang menyertai antara lain isu kebocoran data nomor induk kependudukan (NIK), namun upaya pemerintah ini tetap perlu diapresiasi karena bagian dari upaya melindungi warga.
Tapi, belajar dari kasus Facebook, perlu upaya lebih untuk melindungi data pribadi penduduk Indonesia. Maka itu, penyalahgunaan data di AS ini kian mempertegas betapa pentingnya pemerintah atau DPR mengebut penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. RUU ini mendesak diselesaikan untuk kemudian dibahas dan disahkan. Tiadanya payung hukum soal perlindungan data akan membuat pemerintah sulit meminta pertanggungjawaban Facebook atau media sosial lain jika sewaktu-waktu kasus serupa terjadi di negara kita. Desakan harus terus dilakukan. Meski tahun ini RUU Perlindungan Data Pribadi tidak masuk dalam Prolegnas 2018, namun diharapkan selambatnya tahun depan RUU ini bisa disahkan menjadi UU.
Bagaimana data pengguna Facebook sampai bocor dan digunakan untuk kepentingan kampanye pilpres? Setelah ditelisik, terungkap bahwa seorang konsultan pemenangan Trump pernah memiliki perjanjian dengan Facebook terkait data pribadi pengguna. Kerja sama tersebut awalnya untuk tujuan akademis. Namun, ternyata itu tidak berhenti pada kepentingan akademis semata. Data 50 juta pengguna Facebook di Negeri Paman Sam itu rupanya juga dipakai untuk tujuan politik. Dari data pribadi tersebut, profil psikologis warga AS dipetakan, mana yang merupakan pendukung Trump, yang menolak Trump, dan yang masih ragu-ragu. Setelah profil psikologis pengguna diperoleh, diproduksilah iklan yang diyakini bisa memengaruhi pilihan politik warga AS.
Terungkapnya kasus pencurian data ini hampir pasti membuat pemilik Facebook kelimpungan. Kemarin saham Facebook anjlok sehingga Mark disebutkan kehilangan USD9,1 miliar atau sekitar Rp123 triliun hanya dalam tempo 48 jam. Selain itu, otoritas Amerika dan Eropa juga akan menyelidiki Facebook atas terbongkarnya skandal ini. Parlemen Uni Eropa bahkan tidak tinggal diam dan akan memanggil Mark untuk hadir di sidang Parlemen Uni Eropa di Brussles, Belgia. Tidak cukup dengan itu, kemarin muncul seruan menghapus (delete) akun Facebook yang disuarakan pengguna media sosial.
Lantas, apa pelajaran bagi Indonesia dari kasus Facebook ini? Menarik mencermati kasus pencurian data ini karena berlangsung di negara yang sangat menghargai privasi dan karenanya memiliki regulasi yang tegas soal perlindungan data pribadi warganya. Tapi, toh, AS ternyata tetap kebobolan juga. Pertanyaan berikutnya, jika di AS saja data pribadi dalam jumlah masif bisa disalahgunakan, bagaimana dengan negeri ini? Kita tahu Indonesia sampai hari ini tidak memiliki undang-undang yang menjamin keamanan data pribadi warganya.
Akibat rapuhnya keamanan data pribadi ini, masyarakat akhirnya harus mengalami banyak peristiwa tidak mengenakkan, bahkan tak jarang berujung kerugian misalnya jadi korban penipuan. Sebagian pengguna kartu kredit sering menerima telepon dari petugas telemarketing bank lain yang juga menawarkan kartu kredit meski bukan nasabah bank bersangkutan. Mengapa nomor telepon orang yang sesungguhnya privasi bisa dengan mudah diedarkan tanpa ada sanksi apa pun bagi pelakunya?
Tahun ini pemerintah menerapkan kebijakan registrasi nomor kartu seluler. Langkah ini disambut antusias pengguna telepon seluler karena tujuannya untuk mencegah praktik kejahatan. Saat ini operator seluler mencatat nomor pelanggan yang teregistrasi mencapai 304,86 juta. Terlepas dari berbagai masalah yang menyertai antara lain isu kebocoran data nomor induk kependudukan (NIK), namun upaya pemerintah ini tetap perlu diapresiasi karena bagian dari upaya melindungi warga.
Tapi, belajar dari kasus Facebook, perlu upaya lebih untuk melindungi data pribadi penduduk Indonesia. Maka itu, penyalahgunaan data di AS ini kian mempertegas betapa pentingnya pemerintah atau DPR mengebut penyusunan Rancangan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. RUU ini mendesak diselesaikan untuk kemudian dibahas dan disahkan. Tiadanya payung hukum soal perlindungan data akan membuat pemerintah sulit meminta pertanggungjawaban Facebook atau media sosial lain jika sewaktu-waktu kasus serupa terjadi di negara kita. Desakan harus terus dilakukan. Meski tahun ini RUU Perlindungan Data Pribadi tidak masuk dalam Prolegnas 2018, namun diharapkan selambatnya tahun depan RUU ini bisa disahkan menjadi UU.
(pur)